Pages

Jumat, 09 September 2011

Kerajaan Aru

Kerajaan Aru atau Haru merupakan sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatera Utara sekarang. Nama kerajaan ini disebutkan dalam Pararaton (1336) dalam teks Jawa Pertengahan (terkenal dengan Sumpah Palapa) yang berbunyi sebagai berikut “Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa” Bila dialih-bahasakan mempunyai arti : “Beliau, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa .
Sebaliknya tidak tercatat lagi dalam Kakawin Nagarakretagama (1365) sebagai negara bawahan sebagaimana tertulis dalam pupuh 13 paragraf 1 dan 2.
Sementara itu dalam Suma Oriental  disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan yang kuat Penguasa Terbesar di Sumatera yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing. Dalam laporannya, Tomé Pires juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Melaka pada masa itu.
Dalam Sulalatus Salatin Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai. Peninggalan arkeologi yang dihubungkan dengan Kerajaan Haru telah ditemukan di Kota Cina dan Kota Rantang.

Lokasi Kerajaan Haru

Terdapat perdebatan tentang lokasi tepatnya dari pusat Kerajaan Haru. Winstedt meletakkannya di wilayah Deli yang berdiri kemudian, namun ada pula yang berpendapat Haru berpusat di muara Sungai Panai. Groeneveldt menegaskan lokasi Kerajaan Aru berada kira-kira di muara Sungai Barumun (Padang Lawas) dan Gilles menyatakan di dekat Belawan. Sementara ada juga yang menyatakan lokasi Kerajaan Aru berada di muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat).

Dalam Hsingcha Shenglan (1426) disebutkan lokasi Kerajaan Aru berseberangan dengan Pulau Sembilan (wilayah pantai Negeri Perak, Malaysia), dan dapat ditempuh dengan perahu selama 3 hari 3 malam dari Melaka dengan kondisi angin yang baik.
Sementara menurut Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) Buku 325 disebutkan bahwa lokasi Kerajaan Aru dekat dengan Kerajaan Melaka, dan dengan kondisi angin yang baik dapat dicapai selama 3 hari.
Menurut Ma Huan dalam Ying Yai Sheng Lan (1416) di Kerajaan Aru terdapat sebuah muara sungai yang dikenal dengan “fresh water estuary”.

A.H. Gilles sebagaimana dikutip J.V.G. Mills menyatakan “fresh water estuary” adalah muara Sungai Deli. Oleh karena itu Gilles menegaskan bahwa lokasi Aru berada di sekitar Belawan (3o 47` U 98o 41` T) wilayah Deli Pantai Timur Sumatera. Di sebelah selatan, Aru berbatasan dengan Bukit Barisan, di sebelah utara dengan Laut, di sebelah barat bertetangga dengan Sumentala (Samudera Pasai) dan di sebelah timur berbatasan dengan tanah datar.  Untuk sampai ke Kerajaan Aru, dibutuhkan pelayaran dari Melaka selama 4 hari 4 malam dengan kondisi angin yang baik.

Semua sumber China itu mengarahkan bahwa lokasi Kerajaan Aru itu berada di daerah Sumatera Utara, karena sebelah barat Aru disebutkan adalah Samudera Pasai. Samudera Pasai sudah jelas terbukti berdasarkan bukti arekologi berupa makam Sultan Malik Al-Saleh posisinya berada di daerah antara Sungai Jambu Air (Krueng Jambu Aye) dengan Sungai Pasai (Krueng Pase) di Aceh Utara.

Namun, lokasi pusat Kerajaan Aru yang disebutkan dalam sumber China itu memang belum dapat dikenali pasti karena, bukti-bukti pendukung lainnya, khususnya bekas istana, makam-makam diraja Aru dsb. belum ditemukan. Dua lokasi tempat ditemukannya sisa-sisa keramik China, nisan, dan lain-lainnya sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini belum dapat dijadikan bukti yang kuat.

Hasil-hasil penggalian di kota China (Labuhan Deli) dan Kota Rantang sementara hanya membuktikan bahwa wilayah itu merupakan wilayah ekonomi yang penting sebagai tempat aktifitas perdagangan dengan para pedagang asing dari China, Siam dan lain-lain.

Ada beberapa pendapat tentang lokasi Kerajaan Aru. Groeneveldt (1960:95) menegaskan lokasi Kerajaan Aru berada kira-kira di muara Sungai Barumun (Padang Lawas) dan Gilles menyatakan di dekat Belawan. Sementara ada juga yang menyatakan lokasi Kerajaan Aru berada di muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat). Pendapat terakhir ini tampaknya sesuai dengan keterangan geografi dari salah satu sumber China di atas, yakni berhadapan dengan Pulau Sembilan di Pantai Perak Malaysia.

Memang apabila ditarik garis lurus dari Pulau Sembilan menyeberangi Selat Melaka akan bertemu dengan Teluk Haru yang terletak di Muara Sungai Wampu. Tetapi hingga hari ini didaerah itu belum ada ditemukan bukti-bukti arkeologis yang dapat mendukung pernyataan tersebut.

Sesuai dengan sistem transportasi zaman dahulu yang masih bertumpu kepada jalur sungai, dapat kita pastikan bahwa bandar-bandar perdagangan yang sering berfungsi sebagai pusat sebuah kekuasaan politik (kerajaan) pastilah berada di sekitar muara sungai.

Dalam konteks ini, maka di sepanjang pantai Sumatera Timur, ada beberapa sungai besar yang bermuara ke Selat Melaka. Misalnya Sungai Barumun, Sungai Wampu, Sungai Deli, dan Sungai Bedera. Dua sungai yang disebut terakhir ini bermuara ke Belawan dan sekitarnya (Hamparan Perak). Jika demikian tampaknya pendapat Gilles lebih masuk akal, apalagi dihubungkaitkan dengan beberapa temuan-temuan arkeologis di Kota Rantang dan Labuhan Deli.

Tiga buah sungai yang disebutkan terakhir itu juga merupakan jalur lalulintas penting sepanjang sejarah, setidaknya sebelum penjajah Belanda membangun jalan raya pada awal abad ke-20, bagi orang-orang Karo untuk berniaga, sekaligus bermigrasi ke pesisir pantai Sumatera Timur/Selat Melaka.

Dalam sejarah Melayu, ada disebutkan tentang nama-nama pembesar Aru yang erat kaitannya dengan nama-nama/marga orang Karo, seperti Serbanyaman Raja Purba dan Raja Kembat dan nama Aru atau Haru juga dapat dikaitkan dengan Karo. Jika informasi ini dikaitkan, maka pusat Kerajaan Aru memang berada di muara-muara sungai tersebut. Namun, secara pasti belum dapat ditetapkan, apakah di sekitar Muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat) atau di sekitar Belawan.

Dalam Atlas Sejarah karya Muhammad Yamin, pada sekitar abad ke-15 M wilayah Kerajaan Aru meliputi seluruh Pesisir Timur Sumatera dari Tamiang sampai ke Rokan dan bahkan sampai ke Mandailing dan Barus. Jika begitu yang boleh kita pastikan adalah wilayah Kerajaan Aru berada di sebagian Pantai Timur Sumatera yang sekarang menjadi wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Konon istana kerajaan Haru terdapat disekitar Belawan (Muara Sungai Deli) atau di Muara Sungai Barumun di Padang Lawas,  namun informasi tersebut masih perlu dikaji lebih teliti dengan memerlukan banyak bukti.

Sejarah

Dalam perjalanan Marco Polo di tahun 1292 Kerajaan Aru tidak disebutkan, diindikasikan adanya 8 (delapan) kerajaan di Pulau Sumatera yang seluruh penduduknya penyembah berhala. Kunjungan ini bertepatan dengan pembentukan negara-negara pelabuhan Islam pertama. Beberapa kerajaan yang disebutkan Ferlec (Perlak), Fansur (Barus),Basman (Peusangan)-di daerah Bireuen sekarang- , Samudera (kemudian dikenal Pasai) dan Dagroian (Pidie). Tiga kerajaan lainnya tidak disebutkan.. Sumber lain menambahkan Lambri (Lamuri) dan Battas (Batak).
Haru pertama kali muncul dalam kronik Cina masa Dinasti Yuan, yang menyebutkan Kublai Khan menuntut tunduknya penguasa Haru pada Cina pada 1282, yang ditanggapi dengan pengiriman upeti oleh saudara penguasa Haru pada 1295.
Islam masuk ke kerajaan Haru paling tidak pada abad ke-13. Kemungkinan Haru lebih dulu memeluk agama Islam daripada Pasai, seperti yang disebutkan Sulalatus Salatin dan dikonfirmasi oleh Tome Pires. Sementara peduduknya masih belum semua memeluk Islam, sebagaimana dalam catatan d'Albuquerque (Afonso de Albuquerque) (Commentarios, 1511, BabXVIII) dinyatakan bahwa penguasa kerajaan-kerajaan kecil di Sumatera bagian Utara dan Sultan Malaka biasa memiliki orang kanibal sebagai algojo dari sebuah negeri yang bernama Aru. Juga dalam catatan Mendes Pinto (1539), dinyatakan adanya masyarakat 'Aaru' di pesisir Timur Laut Sumatera dan mengunjungi rajanya yang muslim, sekitar dua puluh tahun sebelumnya, Duarte Barbosa sudah mencatat tentang kerajaan Aru yang ketika itu dikuasai oleh orang-orang kanibal penganut paganisme. Namun tidak ditemukan pernyataan kanibalisme dalam sumber-sumber Tionghoa zaman itu.
Terdapat indikasi bahwa penduduk asli Haru berasal dari suku Karo, seperti nama-nama pembesar Haru dalam Sulalatus Salatin yang mengandung nama dan marga Karo.
Pada abad ke-15 Sejarah Dinasti Ming menyebutkan bahwa "Su-lu-tang Husin", penguasa Haru, mengirimkan upeti pada Cina tahun 1411. Setahun kemudian Haru dikunjungi oleh armada Laksamana Cheng Ho. Pada 1431 Cheng Ho kembali mengirimkan hadiah pada raja Haru, namun saat itu Haru tidak lagi membayar upeti pada Cina. Pada masa ini Haru menjadi saingan Kesultanan Malaka sebagai kekuatan maritim di Selat Malaka. Konflik kedua kerajaan ini dideskripsikan baik oleh Tome Pires dalam Suma Oriental maupun dalam Sejarah Melayu.
Pada abad ke-16 Haru merupakan salah satu kekuatan penting di Selat Malaka, selain Pasai, Portugal yang pada 1511 menguasai Malaka, serta bekas Kesultanan Malaka yang memindahkan ibukotanya ke Bintan. Haru menjalin hubungan baik dengan Portugal, dan dengan bantuan mereka Haru menyerbu Pasai pada 1526 dan membantai ribuan penduduknya. Hubungan Haru dengan Bintan lebih baik daripada sebelumnya, dan Sultan Mahmud Syah menikahkan putrinya dengan raja Haru, Sultan Husain. Setelah Portugal mengusir Sultan Mahmud Syah dari Bintan pada 1526 Haru menjadi salah satu negara terkuat di Selat Malaka. Namun ambisi Haru dihempang oleh munculnya Aceh yang mulai menanjak. Catatan Portugal menyebutkan dua serangan Aceh pada 1539, dan sekitar masa itu raja Haru Sultan Ali Boncar  terbunuh oleh pasukan Aceh. Istrinya, ratu Haru, kemudian meminta bantuan baik pada Portugal di Malaka maupun pada Johor (yang merupakan penerus Kesultanan Malaka dan Bintan). Armada Johor menghancurkan armada Aceh di Haru pada 1540.
Aceh kembali menaklukkan Haru pada 1564. Sekali lagi Haru berkat bantuan Johor berhasil mendapatkan kemerdekaannya, seperti yang dicatat oleh Hikayat Aceh dan sumber-sumber Eropa. Namun pada abad akhir ke-16 kerajaan ini hanyalah menjadi bidak dalam perebutan pengaruh antara Aceh dan Johor.
Kemerdekaan Haru baru benar-benar berakhir pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dari Aceh, yang naik tahta pada 1607. Dalam surat Iskandar Muda kepada Best bertanggal tahun 1613 dikatakan, bahwa Raja Aru telah ditangkap; 70 ekor gajah dan sejumlah besar persenjataan yang diangkut melalui laut untuk melakukan peperangan-peperangan di Aru. Dalam masa ini sebutan Haru atau Aru juga digantikan dengan nama Deli.
Wilayah Haru kemudian mendapatkan kemerdekaannya dari Aceh pada 1669, dengan nama Kesultanan Deli. Hingga terjadi sebuah pertentangan dalam pergantian kekuasaan pada tahun 1720 menyebabkan pecahnya Deli dan dibentuknya Kesultanan Serdang di tahun 1723.

Nama Kerajaan Haru pertama kali muncul dalam kronik Cina masa Dinasti Yuan, yang menyebutkan Kublai Khan menuntut tunduknya penguasa Haru pada Cina pada 1282, yang ditanggapi dengan pengiriman upeti oleh saudara penguasa Haru pada 1295. Nagarakretagama menyebut Haru sebagai salah satu negara bawahan Majapahit
Kerajaan Aru telah terwujud pada abad ke-13, sebagaimana beberapa utusannya telah sampai ke Tiongkok, yaitu pertama di tahun 1282 dan 1290 pada zaman pemerintahan Kubilai Khan (T.L. Sinar, 1976 dan McKinnon dalam Kompas, 24 April 2008). Ketika itu telah muncul Kerajaan Singosari di Jawa yang berusaha mendominasi wilayah perdagangan di sekitar Selat Malaka (Asia Tenggara).

Singosari berusaha menghempang kuasa Kaisar Kubilai Khan dengan melakukan ekspedisi Pamalayu tahun 1292 untuk membangun aliansi melawan Kaisar China. Negeri-negeri Melayu dipaksa tunduk dibawah kuasa Singosari, seperti Melayu (Jambi) dan  Aru/Haru. Sementara dengan Champa, Singosari berhasil membangun aliansi melalui perkawinan politik. Pada abad ke-14, sebagaimana disebutkan dalam Negara Kertagama karangan Prapanca bahwa Harw (Aru) kemudian menjadi daerah vasal (bawahan) Kerajaan Majapahit, termasuk juga Rokan, Kampar, Siak, Tamiang, Perlak, Pasai, Kandis dan Madahaling.

Memasuki abad ke-15 Haru tampaknya mulai muncul menjadi kerajaan terbesar di Sumatera dan ingin menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Melaka. Munculnya utusan-utusan dari Kerajaan Aru pada 1419, 1421, 1423, dan 1431 di istana Kaisar China dan kunjungan Laksamana Cheng Ho yang muslim itu membuktikan pernyataan itu. Aru menjadi bandar perdagangan yang penting di mata kaisar China.

Kaisar China membalas pemberian raja Aru dengan memberikan hadiah berupa kain sutera, mata uang (siling) dan juga uang kertas. Mengikut pendapat Selamat Mulyana, (1981:18) bahwa negeri-negeri di Asia Tenggara yang mengirim utusan ke China dipandang sebagai negeri merdeka. Hanya negeri yang merdeka saja yang berhak mengirim utusan ke negeri China untuk menyampaikan upeti atau persembahan/surat kepada Kaisar China.

Oleh karena itu dapat dipastikan Kerajaan Aru pada abad ke-15 adalah negeri yang merdeka dan berusaha pula untuk mendominasi perdagangan di sekitar Selat Melaka. Oleh karena itu, Haru berusaha menguasai Pasai dan menyerang Melaka berkali-kali, sebagaimana telah disebut dalam Sejarah Melayu.

Menurut Sejarah Melayu (cerita ke-13), kebesaran Kerajaan Haru sebanding dengan Melaka dan Pasai, sehingga masing-masing menyebut dirinya “adinda”. Semua utusan dari Aru yang datang ke Melaka harus disambut dengan upacara kebesaran kerajaan. Utusan Aru yang datang ke Istana China terakhir tahun 1431. Setelah itu tidak ada lagi utusan Raja Aru yang dikirim untuk membawa persembahan kepada Kaisar China. Hal ini dapat dipahami karena Aru pada pertengahan abad ke-15 sudah ditundukkan Melaka dibawah Sultan Mansyur Shah melaui perkawinan politik.

Kekuatan Aru juga dilirik oleh Portugis untuk dijadikan sekutu melawan Melaka.  Akan tetapi hubungan Aru dengan Melaka tetap harmonis. Pada saat Sultan Melaka (Sultan Mahmud Shah) diserang oleh Portugis dan mengungsi di Bintan, Sultan Haru datang membantu Melaka.

Sultan Haru (Sultan Husin) dinikahkan dengan putri sultan Mahmud Shah pada tahun 1520 M. Banyak orang dari Johor dan Bintan mengiringi putri Sultan Melaka itu ke Aru. Memasuki abad ke16 M, Kerajaan Aru menjadi medan pertempuran antara Portugis (penguasa Melaka) dan Aceh. Pasukan Aceh yang pada tahun 1524 berhasil mengusir Portugis dari Pidi dan Pasai kemudian menguber sisa-sisa pasukan Portugis yang lari ke Aru. Kerajaan Aru diserang Aceh sebanyak dua kali yakni pada bulan Januari dan November 1539.

Aru berhasil dikuasai Aceh dan Sultan Abdullah ditempatkan sebagai Wakil Kerajaan Aceh di Aru. Ratu Aru melarikan diri ke Melaka untuk meminta perlindungan kepada Gubernur Portugis, Pero de Faria. (M.Said, 2007: 164).

Sosial, Ekonomi, dan Budaya

Raja Haru dan penduduknya telah memeluk agama Islam, sebagaimana disebutkan dalam Yingyai Shenglan (1416), karya Ma Huan yang ikut mendampingi Laksamana Cheng Ho dalam pengembaraannya . Dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu disebutkan kerajaan tersebut diislamkan oleh Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja Samudera Pasai pada pertengahan abad ke-13.
Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa adat istiadat seperti perkawinan, adat penguburan jenazah, bahasa, pertukangan, dan hasil bumi Haru sama dengan Melaka, Samudera dan Jawa. Mata pencaharian penduduknya adalah menangkap ikan di pantai dan bercocok tanam. Tetapi karena tanah negeri itu tidak begitu sesuai untuk penanaman padi, maka sebagian besar penduduknya berkebun menanam kelapa, pisang dan mencari hasil hutan seperti kemenyan. Mereka juga berternak unggas, bebek, kambing. Sebagian penduduknya juga sudah mengonsumsi susu. Apabila pergi ke hutan mereka membawa panah beracun untuk perlindungan diri. Wanita dan laki-laki menutupi sebagian tubuh mereka dengan kain, sementara bagian atas terbuka. Hasil-hasil bumi dibarter dengan barang-barang dari pedagang asing seperti keramik, kain sutera, manik-manik dan lain-lain. (Groeneveldt, 1960: 94-96) .
Peninggalan arkeologi di Kota Cina menunjukkan wilayah Haru memiliki hubungan dagang dengan Cina dan India. .Namun dalam catatan Ma Huan, tidak seperti Pasai atau Malaka, pada abad ke-15 Haru bukanlah pusat perdagangan yang besar. . Agaknya kerajaan ini kalah bersaing dengan Malaka dan Pasai dalam menarik minat pedagang yang pada masa sebelumnya aktif mengunjungi Kota Cina. Raja-raja Haru kemudian mengalihkan perhatian mereka ke perompakan.
Haru memakai adat Melayu, dan dalam Sulalatus Salatin para pembesarnya menggunakan gelar-gelar Melayu seperti "Raja Pahlawan" dan "Sri Indera". Namun adopsi terhadap adat Melayu ini mungkin tidak sepenuhnya, dan unsur-unsur adat non-Melayu (Batak/Karo) masih ada.

Raja Aru dan penduduknya telah memeluk agama Islam, sebagaimana disebutkan dalam Yingyai Shenglan (1416). Dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan dalam Sejarah Melayu, kerajaan tersebut diislamkan oleh Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad.

Keduanya merupakan pendakwah dari Madinah dan Malabar, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja Samudera Pasai pada pertengahan abad ke-13. Oleh karena itu, dapat dipastikan agama Islam telah sampai ke Aru paling tidak sejak abad ke-13. Kesimpulan itu diperoleh berdasarkan data arkeologis berupa batu nisan Sultan Malikus Saleh di Geudong, Lhok Seumawe yang bertarikh 1270-1297, dan kunjungan Marcopolo ke Samudera Pasai tahun 1293. Kedua sumber itu sudah valid dan kredibel.

Sumber-sumber China menyebutkan bahwa adat istiadat seperti perkawinan, adat penguburan mayat, bahasa, pertukangan, dan hasil bumi Kerajaan Aru sama dengan Kerajaan Melaka, Samudera dan Jawa. Mata pencaharian penduduknya adalah menangkap ikan di pantai dan bercocok tanam. Tetapi karena tanah negeri itu tidak begitu sesuai untuk penanaman padi, maka sebagian besar penduduknya berkebun menanam kelapa, pisang dan mencari hasil hutan seperti kemenyan. Mereka juga berternak unggas, bebek, kambing.

Sebagian penduduknya juga sudah mengkonsumsi susu (maksudnya mungkin susu kambing). Apabila pergi ke hutan mereka membawa panah beracun untuk perlindungan diri. Wanita dan laki-laki menutupi sebagian tubuh mereka dengan kain, sementara bagian atas terbuka. Hasil-hasil bumi negeri itu mereka barter dengan barang-barang dari pedagang asing seperti keramik, kain sutera, manik-manik dan lain-lain. (Groeneveldt, 1960: 94-96).

Dengan bukti-bukti itu secara tertulis, jelas Kerajaan Aru memang pernah wujud di Pantai Timur Sumatera paling tidak sejak abad ke 13 hingga awal abad ke-16.

Daftar raja-raja

  1. Sultan Husin (...-...)
  2. Sultan Mansur Shah (1456-1477)
  3. Sultan Ali Boncar (...-...)
Berkaitan dengan penguasa Aru, tidak dapat dipisahkan dengan peran lembaga Raja Berempat, yang menurut Peret (2010) telah ada sebelum pengaruh Aceh. Raja Urung di pesisir ini meliputi Urung Sunggal. Urung XII Kuta, Urung Sukapiring dan Urung Senembah, yang masing-masing berkaitan dengan Raja Urung di dataran tinggi (Karo), yakni Urung Telu Kuru merga Karo-Karo), Urung XII Kuta (merga Karo-Karo), Urung Sukapiring (merga Karo-Karo) dan Urung VII Kuta (merga Barus).
Dalam kesempatan berikut, Raja Berempat ini berperan dalam penentuan calon pengganti Sultan di Deli/Serdang, dengan menempakan Datuk Sunggal sebagai Ulun Janji.

PENGUASA KERAJAAN ARU
Dalam Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang (1612) disebutkan bahwa Kerajaan Aru pada periode 1477-1488 dipimpin oleh Maharaja Diraja, putra Sultan Sujak “…yang turun daripada Batu Hilir di kota Hulu, Batu Hulu di kota Hilir”. Aru menyerang Pasai karena Raja Pasai menghina utusan Raja Aru yang ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Kerajaan Pasai.

T.Luckman Sinar (2007) menjelaskan bahwa Batu Hilir maksudnya adalah Batak Hilir dan Batu Hulu adalah Batak Hulu. Menurut beliau ada kesalahan tulis antara wau pada akhir “batu” dengan kaf, sehingga yang tepat adalah “…yang turun daripada Batak Hilir di kota Hulu, Batak Hulu, di kota Hilir.

Dari nama-nama pembesar-pembesar Haru yang disebut dalam Sejarah Melayu, seperti nama Serbayaman Raja Purba, Raja Kembat, merupakan nama yang mirip dengan nama-nama Karo. Sebagaimana kita ketahui di Deli Hulu ada daerah bernama Urung Serbayaman, yang merupakan nama salah satu Raja Urung Melayu di Deli yang berasal dari Suku Karo.

Tetapi nama tokoh Maharaja Diraja anak Sultan Sujak masih perlu diperbandingkan dengan sumber lain untuk membuktikan kebenarannya. Sebutan Maharaja Diraja adalah sebuah gelar bagi seorang raja, bukan nama sebenarnya dan apakah Maharaja Diraja adalah Raja Aru yang pertama atau apakah itu gelar dari Sultan Sujak? Kedua pertanyaan ini sukar untuk memastikannya.

Dalam catatan Dinasti Ming, disebutkan, pada 1419 anak Raja Aru bernama Tuan A-lasa mengirim utusan ke negeri China untuk membawa upeti.Nama tokoh inipun sukar mencari pembenarannya karena tidak ada sumber bandingannya dan apakah padanannya dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Namun demikian, nama Sulutang Hutsin yang disebutkan dalam catatan Dinasti Ming dapat dianggap benar karena dapat diperbandingkan dengan Sejarah Melayu.

Sulutang Hutsin adalah sebutan orang China untuk mengucapkan nama Sultan Husin. Nama Sultan Husin juga telah disebut-sebut dalam Sejarah Melayu, yaitu sebagai penguasa Aru sekaligus menantu Sultan Mahmud Shah (Raja Melaka) yang terakhir 1488-1528.

Disebutkan, Sultan Husin pernah datang ke Kampar bersama-sama dengan Raja-raja Melayu lainnya seperti Siak, Inderagiri, Rokan dan Jambi atas undangan Sultan Mahmud Shah yang ketika itu sudah membangun basis pertahanan di Kampar karena Melaka sudah dikuasai Portugis untuk membangun aliansi Melayu melawan Portugis. Berdasarkan keterangan itu dapat dikatakan bahwa nama Sultan Husin sebagaimana disebut dalam catatan China dan Sejarah Melayu secara historis dapat dibenarkan.

Dengan demikian hanya itulah nama-nama yang tercatat sebagai penguasa Aru. Namun nama itu secara arkeologis hingga hari ini belum dapat dibuktikan, maksudnya belum ada temuan berupa batu nisan atau mata uang yang memuat nama tersebut.

PUTRI HIJAU Ratu Kerajaan Aru Deli Tua

Pengantar

Putri Hijau (Green Princess) adalah ’kisah’ kepahlawanan (folkhero) yang dikenal dan berkembang luas, paling tidak pada dua kelompok suku yakni Melayu Deli dan Karo. Sebagai folktale, kisah Putri Hijau pada awalnya merupakan tradisi lisan (oral) milik bersama masyarakat (communal), berasal dari satu daerah (local) dan diturunkan secara informal (Toelken, 1979:31). Kisah ini memiliki sifat oral dan informal sehingga cenderung mengalami perubahan baik penambahan maupun pengurangan. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila dikemudian hari terdapat versi cerita yang berbeda-beda. Wan Syaiffuddin (2003) mengemukakan versi cerita dimaksud seperti: Syair Puteri Hijau (A. Rahman, 1962); Sejarah Putri Hijau dan Meriam Puntung (Said Effendi, 1977); Puteri Hijau (Haris M. Nasution, 1984) dan Kisah Puteri Hijau (Burhan AS, 1990)

Adanya unsur-unsur pseudo-historis, yakni anggapan kejadian dan kekuatan yang digambarkan luar biasa dalam kisah Putri Hijau cenderung merupakan tambahan dari kisah yang sebenarnya dengan tujuan euhemerisme yakni menimbulkan kekaguman para pendengarnya. Sejalan dengan hal ini, seperti yang diingatkan oleh Baried (1985) bahwa ”kisah’ cenderung menunjukkan cerita yang benar-benar terjadi. Dengan demikian, kisah Putri Hijau adalah suatu peristiwa yang benar-benar terjadi (Husny, 1975; Said, 1980 dan Sinar, 1991, Meuraxa, 1973). Dengan begitu, sifat imajinatif-diluar kelogisan nalar manusia-yang terdapat pada kisah tersebut tidak perlu ditafsirkan secara mendalam karena sifat itu di buat untuk tujuan euhemerisme.
Kisah Putri Hijau yang berkembang luas dalam masyarakat Melayu Deli serta Karo, lebih dikenal sebagai sebuah fiksi daripada sebuah fakta sejarah. Namun, berdasarkan studi literatur, studi dokumen dan bukti-bukti sejarah terbaru tiba pada kesimpulan bahwa kisah Putri Hijau merupakan fakta sejarah atau peristiwa yang benar-benar terjadi. Hanya saja, dominasi unsur imajinatif dalam kisah tersebut menyebabkannya semata-mata bukan fakta sejarah.

Catatan-catatan penting Tentang ARU
Menurut beberapa pendapat, disebut bahwa Teluk Aru adalah pusat kerajaan ARU dan belum pernah diteliti sama sekali. Namun, Edmund E. McKinnon (Arkeolog Inggris) menolak apabila kawasan tersebut dinyatakan belum pernah diteliti sekaligus juga menolak apabila Teluk Aru disebut sebagai pusat kerajaan Aru. Teluk Aru telah diteliti pada tahun 1975-1976 dan hasilnya adalah ”Pulau Kompei”. Diakui bahwa terdapat peninggalan di wilayah Teluk Aru, tetapi berdasarkan jalur hinterland kurang mendukung Teluk Aru sebagai satu centrum kerajaan. Seperti diketahui bahwa jalur dari Karo plateau maupun hinterland menuju pantai timur, dari utara ke selatan melalui gunung adalah: Buaya, Liang, Negeri, Cingkem yang menuju ke Sei Serdang maupun ke Sei Deli, Sepuluhdua Kuta, Bekancan, Wampu ke Bahorok. Maupun jalur sungai diantara Sei Wampu bagian hilir sekitar Stabat dan Sei Sunggal ke Belawan. Fokusnya diwilayah pantai diantara Sei Wampu dan Muara Deli (Catatan Anderson tentang pentingnya Muara Deli).

Penulis Karo mengemukakan bahwa (H)Aru adalah asal kata ”Karo” yang berevolusi. Oleh karena itu, kelompok ini mengklaim bahwa masyarakat Aru adalah masyarakat yang memiliki clan Karo dan didirikan oleh clan Kembaren. Walau demikian, penulis Karo seperti Brahmo Putro (1979) sependapat dan mengakui bahwa centrum kerajaan ini berpindah-pindah hingga ke Aceh, Deli Tua, Keraksaan (Batak Timur), Lingga, Mabar, maupun Barumun. Disebutkan bahwa (H)Aru berada di Balur Lembah Gunung Seulawah di Aceh Besar sekarang yang pada awalnya juga telah banyak dihuni oleh orang Karo, dan telah ada sebelum kesultanan Aceh pertama yakni Ali Mukhayat Syah pada tahun 1496-1528. Lebih lanjut disebut bahwa kerajaan (H)Aru Balur ditaklukkan oleh Sultan Aceh pada tahun 1511 dalam rencana unifikasi Aceh hingga ke Melaka dan salah seorang rajanya clan Karo dan keturunan Hindu Tamil menjadi Islam bersama seluruh rakyatnya dan bertugas sebagai Panglima Sultan Aceh di wilayah Batak Karo.

Demikian pula penulis Melayu yang mengemukakan bahwa kerajaan ARU adalah kerajaan Melayu yang sangat besar pada zamanya, lokasi kerajaanya tidak menetap akibat gempuran musuh terutama yang datangnya dari Aceh. Hal ini telah banyak dicatat oleh Lukman Sinar dalam jilid pertama bukunya dengan judul Sari Sedjarah Serdang (1986). Menurutnya, nama ARU muncul pertama kalinya dalam catatan resmi Tiongkok pada saat ARU mengirimkan misi ke Tiongkok pada tahun 1282 pada era kepemimpinan Kublai-Khan. Demikian pula dalam buku ”Sejarah Melayu” yang banyak menyebut tentang kerajaan ARU. Berdasarkan literatur tersebut, Lukman Sinar dalam penjelasan lebih lanjut mengemukakan bahwa pusat kerajaan ARU adalah Deli Tua dan telah menganut Islam.
Barangkali, yang dimaksud oleh tulisan-tulisan tersebut adalah Kota Rentang karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis serta carbon dating terhadap temuan keramik, ditemukannya batu kubur (nisan) yang terbuat dari batu Cadas (Volcanoic tuff) dengan ornamentasi Jawi dimana nisan sejenis banyak ditemukan di tanah Aceh. Sedangkan tanda-tanda ARU Deli Tua dinyatakan islam hampir tidak diketemukan selain sebuah meriam buatan Portugis bertuliskan aksara Arab dan Karo. Lagi pula, berdasarkan laporan kunjungan admiral Cheng Ho yang mengunjungi Pasai pada tahun 1405-1407 menyebut bahwa nama raja ARU pada saat itu dituliskan So-Lo-Tan Hut-Sing (Sultan Husin) dan membayar upeti ke Tiongkok. Kemudian, dalam ”Sejarah Melayu” juga diceritakan suatu keadaan bahwa ARU telah berdiri sekurang-kurangnya telah berusia 100 tahun sebelum penyerbuan Iskandar Muda (1607-1636) pada tahun 1612 dan 1619. Dengan demikian, kuat dugaan bahwa centrum ARU yang telah terpengaruh Islam yang dimaksud pada laporan-laporan penulis Cina dan ”Sejarah Melayu” tersebut adalah Kota Rentang.

Diyakini bahwa kerajaan ARU adalah kerajaan yang besar dan kuat sehingga dianggap musuh oleh kerajaan Majapahit. Hal ini dapat dibuktikan dari sumpah Amukti Palapa sebagaimana yang ditulis dalam kisah Pararaton (1966), yaitu: Sira Gajah Madapatih amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah mada: ”Lamun awus kalah nusantara isun amuktia palapa, amun kalah ring Guran, ring Seran, Tanjung Pura, ring HARU, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti Palapa”. Hal senada juga dikemukakan oleh Muh. Yamin dalam bukunya dengan judul ”Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara ”(2005).

Dari penjelasan diatas diketahui bahwa berdasarkan periodeisasinya maka kerajaan ARU berdiri pada awal abad ke-13 yakni pasca runtuhnya kerajaan NAGUR Batak Timur pada tahun 1285. Pusat kerajaan ARU yang pertama ini adalah Kota Rentang dan telah terpengaruh Islam yang sesuai dengan bukti-bukti arkeologis yakni temuan nisan dengan ornamentasi Jawi yang percis sama dengan temuan di Aceh. Demikian pula temuan berupa stonewares dan earthenwares ataupun mata uang yang berasal dari abad 13-14 yang banyak ditemukan dari Kota Rentang. Bukti-bukti ini telah menguatkan dugaan bahwa lokasi ARU berada di Kota Rentang sebelum jatuh ketangan Aceh. Sebagai dampak serbuan yang terus menerus maka centrum ARU pindah ke Deli Tua yakni pada akhir abad ke-14, dan pada permulaan abad ke-15 Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar (1537-1568) mulai berkuasa di Aceh.

Benteng Putri Hijau Deli Tua

Edmund Edwards McKinnon (2008) menulis ”Aru was attacked by Aceh and the ruler killed by subterfuge and treachery. His wife fled into the surrounding forest on the back of an elephant and eventually made her way to Johor, where she married the ruling Sultan who helped her oust the Acehnese and regain her kingdom”. Selanjutnya, “a sixteenth century account by the Portuguese writer Pinto states that Aru was conquered by the Acehnese in 1539 and recounts how the Queen of Aru made her way to Johor and the events that transpired thereafter”.

Seperti yang dicatat dalam literature sejarah bahwa laskar Aceh tidak saja menyerang Kerajaan ARU tetapi juga Portugis dan kerajaan Johor yang merupakan sekutu ARU. Oleh karena itu, sejak kejatuhan ARU ketangan Aceh, maka centrum kerajaan ARU yang baru berpusat di Deli Tua (Old Deli) serta dipimpin oleh ratu ARU yang didukung oleh Portugis dan Kerajaan Johor. Dalam kisah Putri Hijau, ratu ARU inilah yang disebut sebagai Putri Hijau. Sedangkan nama ’Putri Hijau’ itu sendiri menurut McKinnon ada dikenal dalam cerita rakyat di India Selatan.

Bukti-bukti peninggalan ARU Deli Tua adalah seperti benteng pertahanan (kombinasi alam dan bentukan manusia) yang masih bisa ditemukan hingga saat ini. Catatan resmi tentang benteng ini dapat diperoleh dari catatan P.J. Vet dalam bukunya Het Lanschap Deli op Sumatra (1866-1867) maupun Anderson pada tahun 1823 dimana digambarkan bahwa di Deli Tua terdapat benteng tua berbatu yang tingginya mencapai 30 kaki dan sesuai untuk pertahanan. Menurut Pinto, penguasa Portugis di Malaka tahun 1512-1515 bahwa ibukota (H)ARU berada di sungai ‘Panecitan’ (Lau Patani) yang dapat dilalui setelah lima hari pelayaran dari Malaka. Pinto juga mencatat bahwa raja (H)ARU sedang sibuk mempersiapkan kubu-kubu dan benteng-benteng dan letak istananya kira-kira satu kilometer kedalam benteng. (H)ARU mempunyai sebuah meriam besar, yang dibeli dari seorang pelarian Portugis.

Temuan lainnya adalah mata uang Aceh (Dirham) yang terbuat dari emas, dimana masyarakat disekitar benteng masih kerap menemukanya. Temuan ini sekaligus menjadi bukti bahwa Aceh pernah menyerang ARU Deli Tua dengan menyogok pengawal kerajaan dengan mata uang emas. Selanjutnya, menurut Lukman Sinar (1991) di Deli Tua pada tahun 1907 dijumpai guci yang berisi mata uang Aceh dan kini tersimpan di Museum Raffles Singapura. Temuan lainnya adalah berupa keramik dan tembikar yang pada umumnya percis sama dengan temuan di Kota Rentang. Temuan keramik dan tembikar ini adalah barang bawaan dari Kota Rentang pada saat masyarakatnya mencari perlindungan dari serangan Aceh.

Hingga saat ini, temuan berupa uang Aceh, keramik dan tembikar dapat ditemukan disembarang tempat disekitar lokasi benteng. Akan tetapi, dari bukti-bukti yang ada itu, tidak diketahui secara jelas apakah ARU Deli Tua telah menganut Islam. Pendapat yang mengemukakan bahwa ARU Deli Tua adalah Islam didasarkan pada temuan sebuah meriam bertuliskan Arab dengan bunyi: ’Sanat… alamat Balun Haru’ yang ditemukan oleh kontrolir Cats de Raet pada tahun 1868 di Deli Tua (Lukman Sinar, 1991). Akan tetapi di tengah meriam tersebut terdapat tulisan buatan Portugis. Hal ini senada dengan tulisan Pinto bahwa ARU memiliki sebuah meriam yang besar. Meriam inilah yang kemudian di sebut dalam kisah Putri Hijau ditembakkan secara terus menerus hingga puntung dan terbagi dua.

Faktor penyebab serangan Aceh ke ARU yang berlangsung terus menerus adalah dalam rangka unifikasi kerajaan dalam genggaman kesultanan Aceh. Lagipula, seperti yang telah disebutkan diatas bahwa ARU terdahulu ditaklukkan oleh laskar Aceh yang mengakibatkan berpindahnya ARU ke Deli Tua. Hal ini menjadi jelas bahwa hubungan diplomatik antara ARU dengan Aceh tidak pernah harmonis. Dalam kisah Putri Hijau disebut bahwa faktor serangan Aceh ke Deli Tua adalah akibat penolakan sang Putri untuk dinikahkan dengan Sultan Aceh.

Mengingat kuatnya benteng pertahanan ARU Deli Tua yang ditumbuhi bambu, sehingga menyulitkan serangan Aceh. Menurut catatan Pinto, dua kali serangan Aceh ke Deli Tua mengalami kegagalan. Pada akhirnya pasukan Aceh melakukan taktik sogok yakni dengan memberikan uang emas kepada pengawal benteng. Dalam kisah Putri Hijau disebut bahwa pasukan Aceh menembakkan meriam berpeluru emas, sehingga pasukan ARU berhamburan untuk mencari emas. Penyogokan pasukan ARU yang dilakukan oleh pasukan Aceh, menjadi penyebab kehancuran kerajaan ARU Deli Tua.

Permaisuri kerajaan dengan laskar yang tersisa mencoba merebut Benteng, tetapi tetap gagal. Akhirnya permaisuri dengan sejumlah pengikutnya berlayar menuju Malaka dan menghadap kepada gubernur Portugis. Tetapi ia tidak disambut dengan baik. Akhirnya permaisuri menjumpai Raja Johor, Sultan Alauddin Riayatsyah II dan bersedia menikahinya apabila ARU dapat diselamatkan dari penguasaan Aceh. Akan tetapi, ARU telah dikuasai oleh Aceh yang dipimpin oleh panglima Gocah Pahlawan. Akhirnya permaisuri raja ARU menikah dengan raja Johor. Gocah Pahlawan diangkat sebagai wali negeri Aceh di reruntuhan kerajaan ARU. Selanjutnya, ARU Deli Tua pada masa pimpinan wali negeri Aceh ini menjadi cikal bakal kesultanan Deli yang berkuasa pada tahun 1632-1653.

Benteng Putri Hijau yang terdapat di Deli Tua-Namu Rambe berdasarkan survei yang dilakukan oleh John Miksic (1979) luasnya adalah 1800 x 200 M2 atau 360 Ha. Letaknya percis diantarai dua lembah (splendid area) yang disebelah baratnya mengalir Lau Patani/Sungai Deli. Temuan penting dari situs ini adalah ditemukannya benteng pertahanan yang terbuat secara alami maupun bentukan manusia. Benteng ini termasuk dalam kategori local genius terutama dalam menghadapi musuh, yakni musuh yang datang menyerang harus terlebih dahulu menyeberangi sungai, kemudian mendaki lereng bukit (benteng alam) dan akhirnya sampai di benteng bentukan manusia. Oleh karenanya, musuh memerlukan energi yang cukup kuat untuk bisa sampai kepusat benteng. Lokasi yang tepat berada diantara dua lembah serta dialiri oleh sungai, menjadi alasan bahwa daerah tersebut sengaja dipilih untuk mengantisipasi serbuan musuh (Military Strategic Sistem), lagi pula pusat kerajaan selalu berada di tepi sungai mengingat pentingnya sungai sebagai jalur transportasi.

Setelah diserang oleh laskar Aceh pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar yang berkuasa tahun 1537-1568, (bukan Iskandar Muda) pada tahun 1564, nama ARU tidak pernah diberitakan lagi. Serangan Aceh yang kedua ini adalah serangan yang terhebat dimana seluruh kerajaan ARU habis dibakar dan yang tersisa hanyalah Benteng yang masih eksis hingga sekarang. Hal ini senada dengan pendapat Mohammad Said (1980) dimana peperangan yang terjadi pada masa sultan Iskandar Muda (1612-1619) tidaklah sehebat pertempuran pada masa Sultan Al-Kahar. Lagi pula, pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, tidak terdapat suatu tulisan bahwa Melayu di pimpin oleh Sultan Perempuan.

Kesimpulan

Kisah Putri Hijau adalah peristiwa yang bersifat historis-faktual yang bercampur dengan imajinasi, terjadi pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar di Aceh dan ARU dipimpin oleh raja perempuan yakni permaisuri Sultan Husin yang gugur akibat serangan Aceh. Centrum kerajaan ARU berada di Deli Tua yang dikelilingi oleh Benteng yang tangguh setinggi 30 kaki dan memiliki sebuah meriam yang dibeli dari pelarian Portugis. Dapat dilayari melalui sungai Panecitan/Lau Patani yang bermuara ke selat Melaka. Pada akhirnya, ARU takluk sebagai dampak praktek sogok (uang emas; Dirham) yang dilakukan oleh pasukan Aceh terhadap pengawal pintu benteng kerajaan ARU. Akibatnya, ARU dapat dikuasai oleh laskar Aceh dan seisi istana musnah dibakar.
Kisah Putri Hijau menggambarkan kekalahan pasukan ARU Deli Tua dari serangan pasukan Aceh dan kekalahan ini tentu saja sangat sukar untuk dapat diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, sebagai kontrawacana kekalahan tersebut, dibentuklah wacana baru dengan mengadopsi peristiwa sebenarnya dengan mencampurnya dengan unsur-unsur imajinasi. Praktek sogok diceritakan kembali dengan tembakan meriam Aceh berpeluru emas, sementara satu-satunya meriam ARU yang ditembakkan secara terus-menerus menjadi panas dan pada akhirnya puntung dan terbagi dua. Selanjutnya, faktor penyebab serangan Aceh ke ARU bukan semata-mata disebabkan oleh rencana unifikasi dan ekspansi kekuasaan tetapi cenderung karena perempuan, yakni kecantikan Sri Ratu ARU yakni permaisuri Sultan Husin yang mati terbunuh sehingga Raja Aceh berniat mempersuntinngya. Pada akhirnya, pasukan Aceh memang menang dalam perang, tetapi mengalami kekalahan karena gagal mempersunting Putri Hijau. Oleh karena itu, kisah Putri Hijau yang hingga kini populer dikalangan masyarakat merupakan kontruksi atas peristiwa sebenarnya dan sengaja dibentuk untuk melawan wacana kekalahan ARU Deli Tua. Makna yang dikedepankan dalam wacana ini adalah bahwa Aceh tetap kalah yakni kegagalan mempersunting permaisuri ARU Deli Tua. Disamping catatan-catatan resmi perjalanan, bukti-bukti otentik sejarah kerajaan ARU Deli Tua adalah benteng yang masih eksis hingga saat ini, temuan mata uang emas Dirham, pecahan keramik dan tembikar yang dengan mudah dapat ditemukan. Oleh karena itu, Putri Hijau bukan mitos tetapi fakta sejarah yang benar-benar terjadi.

0 komentar:

Posting Komentar

"CINTAILAH SEJARAH KARENA KEHIDUPAN YANG ANDA ALAMI SAAT INI BERAWAL DARI SEJARAH"