sekarang. Nama kerajaan ini disebutkan dalam
.
) sebagai negara bawahan sebagaimana tertulis dalam pupuh 13 paragraf 1 dan 2.
yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang
ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing. Dalam laporannya,
juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru yang
mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui
pada masa itu.
. Peninggalan
.
Terdapat perdebatan tentang lokasi tepatnya dari pusat Kerajaan Haru.
yang berdiri kemudian, namun ada pula yang berpendapat Haru berpusat di
muara Sungai Panai. Groeneveldt menegaskan lokasi Kerajaan Aru berada
kira-kira di muara Sungai Barumun (Padang Lawas) dan Gilles menyatakan
di dekat Belawan. Sementara ada juga yang menyatakan lokasi Kerajaan Aru
berada di muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat).
Dalam Hsingcha Shenglan (1426)
disebutkan lokasi Kerajaan Aru berseberangan dengan Pulau Sembilan
(wilayah pantai Negeri Perak, Malaysia), dan dapat ditempuh dengan
perahu selama 3 hari 3 malam dari Melaka dengan kondisi angin yang baik.
Sementara menurut Sejarah Dinasti Ming
(1368-1643) Buku 325 disebutkan bahwa lokasi Kerajaan Aru dekat dengan
Kerajaan Melaka, dan dengan kondisi angin yang baik dapat dicapai selama
3 hari.
Menurut Ma Huan dalam Ying Yai Sheng Lan
(1416) di Kerajaan Aru terdapat sebuah muara sungai yang dikenal dengan
“fresh water estuary”.
A.H. Gilles sebagaimana dikutip J.V.G.
Mills menyatakan “fresh water estuary” adalah muara Sungai Deli. Oleh
karena itu Gilles menegaskan bahwa lokasi Aru berada di sekitar Belawan
(3o 47` U 98o 41` T) wilayah Deli Pantai Timur Sumatera. Di sebelah
selatan, Aru berbatasan dengan Bukit Barisan, di sebelah utara dengan
Laut, di sebelah barat bertetangga dengan Sumentala (Samudera Pasai) dan
di sebelah timur berbatasan dengan tanah datar. Untuk sampai ke
Kerajaan Aru, dibutuhkan pelayaran dari Melaka selama 4 hari 4 malam
dengan kondisi angin yang baik.
Semua sumber China itu
mengarahkan bahwa lokasi Kerajaan Aru itu berada di daerah Sumatera
Utara, karena sebelah barat Aru disebutkan adalah Samudera Pasai.
Samudera Pasai sudah jelas terbukti berdasarkan bukti arekologi berupa
makam Sultan Malik Al-Saleh posisinya berada di daerah antara Sungai
Jambu Air (Krueng Jambu Aye) dengan Sungai Pasai (Krueng Pase) di Aceh
Utara.
Namun, lokasi pusat Kerajaan Aru yang disebutkan dalam
sumber China itu memang belum dapat dikenali pasti karena, bukti-bukti
pendukung lainnya, khususnya bekas istana, makam-makam diraja Aru dsb.
belum ditemukan. Dua lokasi tempat ditemukannya sisa-sisa keramik China,
nisan, dan lain-lainnya sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini
belum dapat dijadikan bukti yang kuat.
Hasil-hasil penggalian di
kota China (Labuhan Deli) dan Kota Rantang sementara hanya membuktikan
bahwa wilayah itu merupakan wilayah ekonomi yang penting sebagai tempat
aktifitas perdagangan dengan para pedagang asing dari China, Siam dan
lain-lain.
Ada beberapa pendapat tentang lokasi Kerajaan Aru.
Groeneveldt (1960:95) menegaskan lokasi Kerajaan Aru berada kira-kira di
muara Sungai Barumun (Padang Lawas) dan Gilles menyatakan di dekat
Belawan. Sementara ada juga yang menyatakan lokasi Kerajaan Aru berada
di muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat). Pendapat terakhir ini
tampaknya sesuai dengan keterangan geografi dari salah satu sumber China
di atas, yakni berhadapan dengan Pulau Sembilan di Pantai Perak
Malaysia.
Memang apabila ditarik garis lurus dari Pulau Sembilan
menyeberangi Selat Melaka akan bertemu dengan Teluk Haru yang terletak
di Muara Sungai Wampu. Tetapi hingga hari ini didaerah itu belum ada
ditemukan bukti-bukti arkeologis yang dapat mendukung pernyataan
tersebut.
Sesuai dengan sistem transportasi zaman dahulu yang
masih bertumpu kepada jalur sungai, dapat kita pastikan bahwa
bandar-bandar perdagangan yang sering berfungsi sebagai pusat sebuah
kekuasaan politik (kerajaan) pastilah berada di sekitar muara sungai.
Dalam
konteks ini, maka di sepanjang pantai Sumatera Timur, ada beberapa
sungai besar yang bermuara ke Selat Melaka. Misalnya Sungai Barumun,
Sungai Wampu, Sungai Deli, dan Sungai Bedera. Dua sungai yang disebut
terakhir ini bermuara ke Belawan dan sekitarnya (Hamparan Perak). Jika
demikian tampaknya pendapat Gilles lebih masuk akal, apalagi
dihubungkaitkan dengan beberapa temuan-temuan arkeologis di Kota Rantang
dan Labuhan Deli.
Tiga buah sungai yang disebutkan terakhir itu
juga merupakan jalur lalulintas penting sepanjang sejarah, setidaknya
sebelum penjajah Belanda membangun jalan raya pada awal abad ke-20, bagi
orang-orang Karo untuk berniaga, sekaligus bermigrasi ke pesisir pantai
Sumatera Timur/Selat Melaka.
Dalam sejarah Melayu, ada
disebutkan tentang nama-nama pembesar Aru yang erat kaitannya dengan
nama-nama/marga orang Karo, seperti Serbanyaman Raja Purba dan Raja
Kembat dan nama Aru atau Haru juga dapat dikaitkan dengan Karo. Jika
informasi ini dikaitkan, maka pusat Kerajaan Aru memang berada di
muara-muara sungai tersebut. Namun, secara pasti belum dapat ditetapkan,
apakah di sekitar Muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat) atau di
sekitar Belawan.
Dalam Atlas Sejarah karya Muhammad Yamin, pada
sekitar abad ke-15 M wilayah Kerajaan Aru meliputi seluruh Pesisir Timur
Sumatera dari Tamiang sampai ke Rokan dan bahkan sampai ke Mandailing
dan Barus. Jika begitu yang boleh kita pastikan adalah wilayah Kerajaan
Aru berada di sebagian Pantai Timur Sumatera yang sekarang menjadi
wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Konon istana kerajaan Haru terdapat
disekitar Belawan (Muara Sungai Deli) atau di Muara Sungai Barumun di
Padang Lawas, namun informasi tersebut masih perlu dikaji lebih teliti
dengan memerlukan banyak bukti.
Sejarah
Dalam perjalanan
Marco Polo
di tahun 1292 Kerajaan Aru tidak disebutkan, diindikasikan adanya 8
(delapan) kerajaan di Pulau Sumatera yang seluruh penduduknya penyembah
berhala. Kunjungan ini bertepatan dengan pembentukan negara-negara
pelabuhan Islam pertama. Beberapa kerajaan yang disebutkan Ferlec (
Perlak), Fansur (
Barus),Basman (
Peusangan)-di daerah
Bireuen sekarang- ,
Samudera (kemudian dikenal
Pasai) dan Dagroian (
Pidie). Tiga kerajaan lainnya tidak disebutkan.. Sumber lain menambahkan Lambri (
Lamuri) dan Battas (
Batak).
Haru pertama kali muncul dalam kronik Cina masa
Dinasti Yuan,
yang menyebutkan Kublai Khan menuntut tunduknya penguasa Haru pada Cina
pada 1282, yang ditanggapi dengan pengiriman upeti oleh saudara
penguasa Haru pada 1295.
Islam masuk ke kerajaan Haru paling tidak pada abad ke-13. Kemungkinan Haru lebih dulu memeluk agama
Islam daripada
Pasai, seperti yang disebutkan Sulalatus Salatin dan dikonfirmasi oleh Tome Pires
. Sementara peduduknya masih belum semua memeluk Islam, sebagaimana dalam catatan d'Albuquerque (
Afonso de Albuquerque) (
Commentarios,
1511, BabXVIII) dinyatakan bahwa penguasa kerajaan-kerajaan kecil di
Sumatera bagian Utara dan Sultan Malaka biasa memiliki orang kanibal
sebagai algojo dari sebuah negeri yang bernama Aru.
Juga dalam catatan
Mendes Pinto
(1539), dinyatakan adanya masyarakat 'Aaru' di pesisir Timur Laut
Sumatera dan mengunjungi rajanya yang muslim, sekitar dua puluh tahun
sebelumnya,
Duarte Barbosa sudah mencatat tentang kerajaan Aru yang ketika itu dikuasai oleh orang-orang kanibal penganut
paganisme. Namun tidak ditemukan pernyataan kanibalisme dalam sumber-sumber Tionghoa zaman itu.
Terdapat indikasi bahwa penduduk asli Haru berasal dari suku Karo,
seperti nama-nama pembesar Haru dalam Sulalatus Salatin yang mengandung
nama dan marga
Karo.
Pada abad ke-15
Sejarah Dinasti Ming menyebutkan bahwa
"Su-lu-tang Husin", penguasa Haru, mengirimkan upeti pada Cina tahun
1411. Setahun kemudian Haru dikunjungi oleh armada Laksamana
Cheng Ho.
Pada 1431 Cheng Ho kembali mengirimkan hadiah pada raja Haru, namun
saat itu Haru tidak lagi membayar upeti pada Cina. Pada masa ini Haru
menjadi saingan
Kesultanan Malaka sebagai kekuatan maritim di Selat Malaka. Konflik kedua kerajaan ini dideskripsikan baik oleh Tome Pires dalam
Suma Oriental maupun dalam
Sejarah Melayu.
Pada abad ke-16 Haru merupakan salah satu kekuatan penting di Selat Malaka, selain Pasai,
Portugal yang pada
1511 menguasai Malaka, serta bekas Kesultanan Malaka yang memindahkan ibukotanya ke
Bintan.
Haru menjalin hubungan baik dengan Portugal, dan dengan bantuan mereka
Haru menyerbu Pasai pada 1526 dan membantai ribuan penduduknya. Hubungan
Haru dengan Bintan lebih baik daripada sebelumnya, dan
Sultan Mahmud Syah
menikahkan putrinya dengan raja Haru, Sultan Husain. Setelah Portugal
mengusir Sultan Mahmud Syah dari Bintan pada 1526 Haru menjadi salah
satu negara terkuat di Selat Malaka. Namun ambisi Haru dihempang oleh
munculnya
Aceh yang mulai menanjak
. Catatan Portugal menyebutkan dua serangan Aceh pada 1539, dan sekitar masa itu raja Haru
Sultan Ali Boncar terbunuh oleh pasukan Aceh. Istrinya, ratu Haru, kemudian meminta bantuan baik pada Portugal di Malaka maupun pada
Johor (yang merupakan penerus Kesultanan Malaka dan Bintan). Armada Johor menghancurkan armada Aceh di Haru pada 1540.
Aceh kembali menaklukkan Haru pada 1564. Sekali lagi Haru berkat
bantuan Johor berhasil mendapatkan kemerdekaannya, seperti yang dicatat
oleh
Hikayat Aceh dan sumber-sumber Eropa. Namun pada abad akhir
ke-16 kerajaan ini hanyalah menjadi bidak dalam perebutan pengaruh
antara Aceh dan Johor.
Kemerdekaan Haru baru benar-benar berakhir pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda dari Aceh, yang naik tahta pada
1607. Dalam surat Iskandar Muda kepada
Best bertanggal tahun
1613
dikatakan, bahwa Raja Aru telah ditangkap; 70 ekor gajah dan sejumlah
besar persenjataan yang diangkut melalui laut untuk melakukan
peperangan-peperangan di Aru. Dalam masa ini sebutan Haru atau Aru juga digantikan dengan nama
Deli.
Wilayah Haru kemudian mendapatkan kemerdekaannya dari Aceh pada 1669, dengan nama
Kesultanan Deli. Hingga terjadi sebuah pertentangan dalam pergantian kekuasaan pada tahun 1720 menyebabkan pecahnya Deli dan dibentuknya
Kesultanan Serdang di tahun 1723.
Nama Kerajaan Haru pertama kali muncul
dalam kronik Cina masa Dinasti Yuan, yang menyebutkan Kublai Khan
menuntut tunduknya penguasa Haru pada Cina pada 1282, yang ditanggapi
dengan pengiriman upeti oleh saudara penguasa Haru pada 1295.
Nagarakretagama menyebut Haru sebagai salah satu negara bawahan
Majapahit
Kerajaan Aru telah terwujud pada abad
ke-13, sebagaimana beberapa utusannya telah sampai ke Tiongkok, yaitu
pertama di tahun 1282 dan 1290 pada zaman pemerintahan Kubilai Khan
(T.L. Sinar, 1976 dan McKinnon dalam Kompas, 24 April 2008). Ketika itu
telah muncul Kerajaan Singosari di Jawa yang berusaha mendominasi
wilayah perdagangan di sekitar Selat Malaka (Asia Tenggara).
Singosari
berusaha menghempang kuasa Kaisar Kubilai Khan dengan melakukan
ekspedisi Pamalayu tahun 1292 untuk membangun aliansi melawan Kaisar
China. Negeri-negeri Melayu dipaksa tunduk dibawah kuasa Singosari,
seperti Melayu (Jambi) dan Aru/Haru. Sementara dengan Champa, Singosari
berhasil membangun aliansi melalui perkawinan politik. Pada abad ke-14,
sebagaimana disebutkan dalam Negara Kertagama karangan Prapanca bahwa
Harw (Aru) kemudian menjadi daerah vasal (bawahan) Kerajaan Majapahit,
termasuk juga Rokan, Kampar, Siak, Tamiang, Perlak, Pasai, Kandis dan
Madahaling.
Memasuki abad ke-15 Haru tampaknya mulai muncul
menjadi kerajaan terbesar di Sumatera dan ingin menguasai lalu lintas
perdagangan di Selat Melaka. Munculnya utusan-utusan dari Kerajaan Aru
pada 1419, 1421, 1423, dan 1431 di istana Kaisar China dan kunjungan
Laksamana Cheng Ho yang muslim itu membuktikan pernyataan itu. Aru
menjadi bandar perdagangan yang penting di mata kaisar China.
Kaisar
China membalas pemberian raja Aru dengan memberikan hadiah berupa kain
sutera, mata uang (siling) dan juga uang kertas. Mengikut pendapat
Selamat Mulyana, (1981:18) bahwa negeri-negeri di Asia Tenggara yang
mengirim utusan ke China dipandang sebagai negeri merdeka. Hanya negeri
yang merdeka saja yang berhak mengirim utusan ke negeri China untuk
menyampaikan upeti atau persembahan/surat kepada Kaisar China.
Oleh
karena itu dapat dipastikan Kerajaan Aru pada abad ke-15 adalah negeri
yang merdeka dan berusaha pula untuk mendominasi perdagangan di sekitar
Selat Melaka. Oleh karena itu, Haru berusaha menguasai Pasai dan
menyerang Melaka berkali-kali, sebagaimana telah disebut dalam Sejarah
Melayu.
Menurut Sejarah Melayu (cerita ke-13), kebesaran
Kerajaan Haru sebanding dengan Melaka dan Pasai, sehingga masing-masing
menyebut dirinya “adinda”. Semua utusan dari Aru yang datang ke Melaka
harus disambut dengan upacara kebesaran kerajaan. Utusan Aru yang datang
ke Istana China terakhir tahun 1431. Setelah itu tidak ada lagi utusan
Raja Aru yang dikirim untuk membawa persembahan kepada Kaisar China. Hal
ini dapat dipahami karena Aru pada pertengahan abad ke-15 sudah
ditundukkan Melaka dibawah Sultan Mansyur Shah melaui perkawinan
politik.
Kekuatan Aru juga dilirik oleh Portugis untuk dijadikan
sekutu melawan Melaka. Akan tetapi hubungan Aru dengan Melaka tetap
harmonis. Pada saat Sultan Melaka (Sultan Mahmud Shah) diserang oleh
Portugis dan mengungsi di Bintan, Sultan Haru datang membantu Melaka.
Sultan
Haru (Sultan Husin) dinikahkan dengan putri sultan Mahmud Shah pada
tahun 1520 M. Banyak orang dari Johor dan Bintan mengiringi putri Sultan
Melaka itu ke Aru. Memasuki abad ke16 M, Kerajaan Aru menjadi medan
pertempuran antara Portugis (penguasa Melaka) dan Aceh. Pasukan Aceh
yang pada tahun 1524 berhasil mengusir Portugis dari Pidi dan Pasai
kemudian menguber sisa-sisa pasukan Portugis yang lari ke Aru. Kerajaan
Aru diserang Aceh sebanyak dua kali yakni pada bulan Januari dan
November 1539.
Aru berhasil dikuasai Aceh dan Sultan Abdullah
ditempatkan sebagai Wakil Kerajaan Aceh di Aru. Ratu Aru melarikan diri
ke Melaka untuk meminta perlindungan kepada Gubernur Portugis, Pero de
Faria. (M.Said, 2007: 164).
Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Raja Haru dan penduduknya telah memeluk agama Islam, sebagaimana disebutkan dalam
Yingyai Shenglan (1416), karya Ma Huan yang ikut mendampingi Laksamana Cheng Ho dalam pengembaraannya . Dalam
Hikayat Raja-raja Pasai dan
Sejarah Melayu disebutkan kerajaan tersebut diislamkan oleh Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja
Samudera Pasai pada pertengahan abad ke-13.
Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa adat istiadat seperti
perkawinan, adat penguburan jenazah, bahasa, pertukangan, dan hasil bumi
Haru sama dengan
Melaka,
Samudera dan
Jawa.
Mata pencaharian penduduknya adalah menangkap ikan di pantai dan
bercocok tanam. Tetapi karena tanah negeri itu tidak begitu sesuai untuk
penanaman padi, maka sebagian besar penduduknya berkebun menanam
kelapa, pisang dan mencari hasil hutan seperti kemenyan. Mereka juga
berternak unggas, bebek, kambing. Sebagian penduduknya juga sudah
mengonsumsi susu. Apabila pergi ke hutan mereka membawa panah beracun
untuk perlindungan diri. Wanita dan laki-laki menutupi sebagian tubuh
mereka dengan kain, sementara bagian atas terbuka. Hasil-hasil bumi
dibarter dengan barang-barang dari pedagang asing seperti keramik, kain
sutera, manik-manik dan lain-lain. (Groeneveldt, 1960: 94-96)
.
Peninggalan arkeologi di Kota Cina menunjukkan wilayah Haru memiliki hubungan dagang dengan Cina dan India. .Namun dalam catatan Ma Huan, tidak seperti Pasai atau Malaka, pada abad ke-15 Haru bukanlah pusat perdagangan yang besar.
.
Agaknya kerajaan ini kalah bersaing dengan Malaka dan Pasai dalam
menarik minat pedagang yang pada masa sebelumnya aktif mengunjungi Kota
Cina. Raja-raja Haru kemudian mengalihkan perhatian mereka ke
perompakan.
Haru memakai adat
Melayu, dan dalam
Sulalatus Salatin
para pembesarnya menggunakan gelar-gelar Melayu seperti "Raja Pahlawan"
dan "Sri Indera". Namun adopsi terhadap adat Melayu ini mungkin tidak
sepenuhnya, dan unsur-unsur adat non-Melayu (Batak/Karo) masih ada.
Raja Aru dan penduduknya telah memeluk agama Islam, sebagaimana
disebutkan dalam Yingyai Shenglan (1416). Dalam Hikayat Raja-raja Pasai
dan dalam Sejarah Melayu, kerajaan tersebut diislamkan oleh Nakhoda
Ismail dan Fakir Muhammad.
Keduanya merupakan pendakwah dari
Madinah dan Malabar, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja Samudera
Pasai pada pertengahan abad ke-13. Oleh karena itu, dapat dipastikan
agama Islam telah sampai ke Aru paling tidak sejak abad ke-13.
Kesimpulan itu diperoleh berdasarkan data arkeologis berupa batu nisan
Sultan Malikus Saleh di Geudong, Lhok Seumawe yang bertarikh 1270-1297,
dan kunjungan Marcopolo ke Samudera Pasai tahun 1293. Kedua sumber itu
sudah valid dan kredibel.
Sumber-sumber China menyebutkan bahwa
adat istiadat seperti perkawinan, adat penguburan mayat, bahasa,
pertukangan, dan hasil bumi Kerajaan Aru sama dengan Kerajaan Melaka,
Samudera dan Jawa. Mata pencaharian penduduknya adalah menangkap ikan di
pantai dan bercocok tanam. Tetapi karena tanah negeri itu tidak begitu
sesuai untuk penanaman padi, maka sebagian besar penduduknya berkebun
menanam kelapa, pisang dan mencari hasil hutan seperti kemenyan. Mereka
juga berternak unggas, bebek, kambing.
Sebagian penduduknya juga
sudah mengkonsumsi susu (maksudnya mungkin susu kambing). Apabila pergi
ke hutan mereka membawa panah beracun untuk perlindungan diri. Wanita
dan laki-laki menutupi sebagian tubuh mereka dengan kain, sementara
bagian atas terbuka. Hasil-hasil bumi negeri itu mereka barter dengan
barang-barang dari pedagang asing seperti keramik, kain sutera,
manik-manik dan lain-lain. (Groeneveldt, 1960: 94-96).
Dengan
bukti-bukti itu secara tertulis, jelas Kerajaan Aru memang pernah wujud
di Pantai Timur Sumatera paling tidak sejak abad ke 13 hingga awal abad
ke-16.
Daftar raja-raja
- Sultan Husin (...-...)
- Sultan Mansur Shah (1456-1477)
- Sultan Ali Boncar (...-...)
Berkaitan dengan penguasa Aru, tidak dapat dipisahkan dengan peran lembaga
Raja Berempat, yang menurut Peret (2010) telah ada sebelum pengaruh Aceh.
Raja Urung di pesisir ini meliputi
Urung Sunggal.
Urung XII Kuta,
Urung Sukapiring dan
Urung Senembah, yang masing-masing berkaitan dengan Raja Urung di dataran tinggi (
Karo), yakni
Urung Telu Kuru merga Karo-Karo), Urung XII Kuta (merga Karo-Karo), Urung Sukapiring (merga Karo-Karo) dan
Urung VII Kuta (merga Barus).
Dalam kesempatan berikut, Raja Berempat ini berperan dalam penentuan
calon pengganti Sultan di Deli/Serdang, dengan menempakan Datuk Sunggal
sebagai Ulun Janji.
PENGUASA KERAJAAN ARU
Dalam Sejarah Melayu karya Tun Sri
Lanang (1612) disebutkan bahwa Kerajaan Aru pada periode 1477-1488
dipimpin oleh Maharaja Diraja, putra Sultan Sujak “…yang turun daripada
Batu Hilir di kota Hulu, Batu Hulu di kota Hilir”. Aru menyerang Pasai
karena Raja Pasai menghina utusan Raja Aru yang ingin menjalin hubungan
diplomatik dengan Kerajaan Pasai.
T.Luckman Sinar (2007)
menjelaskan bahwa Batu Hilir maksudnya adalah Batak Hilir dan Batu Hulu
adalah Batak Hulu. Menurut beliau ada kesalahan tulis antara wau pada
akhir “batu” dengan kaf, sehingga yang tepat adalah “…yang turun
daripada Batak Hilir di kota Hulu, Batak Hulu, di kota Hilir.
Dari
nama-nama pembesar-pembesar Haru yang disebut dalam Sejarah Melayu,
seperti nama Serbayaman Raja Purba, Raja Kembat, merupakan nama yang
mirip dengan nama-nama Karo. Sebagaimana kita ketahui di Deli Hulu ada
daerah bernama Urung Serbayaman, yang merupakan nama salah satu Raja
Urung Melayu di Deli yang berasal dari Suku Karo.
Tetapi nama
tokoh Maharaja Diraja anak Sultan Sujak masih perlu diperbandingkan
dengan sumber lain untuk membuktikan kebenarannya. Sebutan Maharaja
Diraja adalah sebuah gelar bagi seorang raja, bukan nama sebenarnya dan
apakah Maharaja Diraja adalah Raja Aru yang pertama atau apakah itu
gelar dari Sultan Sujak? Kedua pertanyaan ini sukar untuk memastikannya.
Dalam
catatan Dinasti Ming, disebutkan, pada 1419 anak Raja Aru bernama Tuan
A-lasa mengirim utusan ke negeri China untuk membawa upeti.Nama tokoh
inipun sukar mencari pembenarannya karena tidak ada sumber bandingannya
dan apakah padanannya dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Namun
demikian, nama Sulutang Hutsin yang disebutkan dalam catatan Dinasti
Ming dapat dianggap benar karena dapat diperbandingkan dengan Sejarah
Melayu.
Sulutang Hutsin adalah sebutan orang China untuk
mengucapkan nama Sultan Husin. Nama Sultan Husin juga telah
disebut-sebut dalam Sejarah Melayu, yaitu sebagai penguasa Aru sekaligus
menantu Sultan Mahmud Shah (Raja Melaka) yang terakhir 1488-1528.
Disebutkan,
Sultan Husin pernah datang ke Kampar bersama-sama dengan Raja-raja
Melayu lainnya seperti Siak, Inderagiri, Rokan dan Jambi atas undangan
Sultan Mahmud Shah yang ketika itu sudah membangun basis pertahanan di
Kampar karena Melaka sudah dikuasai Portugis untuk membangun aliansi
Melayu melawan Portugis. Berdasarkan keterangan itu dapat dikatakan
bahwa nama Sultan Husin sebagaimana disebut dalam catatan China dan
Sejarah Melayu secara historis dapat dibenarkan.
Dengan demikian
hanya itulah nama-nama yang tercatat sebagai penguasa Aru. Namun nama
itu secara arkeologis hingga hari ini belum dapat dibuktikan, maksudnya
belum ada temuan berupa batu nisan atau mata uang yang memuat nama
tersebut.
Pengantar
Putri Hijau
(Green Princess) adalah ’kisah’ kepahlawanan (folkhero) yang dikenal dan
berkembang luas, paling tidak pada dua kelompok suku yakni Melayu Deli
dan Karo. Sebagai folktale, kisah Putri Hijau pada awalnya merupakan
tradisi lisan (oral) milik bersama masyarakat (communal), berasal dari
satu daerah (local) dan diturunkan secara informal (Toelken, 1979:31).
Kisah ini memiliki sifat oral dan informal sehingga cenderung mengalami
perubahan baik penambahan maupun pengurangan. Oleh karenanya, tidak
mengherankan apabila dikemudian hari terdapat versi cerita yang
berbeda-beda. Wan Syaiffuddin (2003) mengemukakan versi cerita dimaksud
seperti: Syair Puteri Hijau (A. Rahman, 1962); Sejarah Putri Hijau dan
Meriam Puntung (Said Effendi, 1977); Puteri Hijau (Haris M. Nasution,
1984) dan Kisah Puteri Hijau (Burhan AS, 1990)
Adanya
unsur-unsur pseudo-historis, yakni anggapan kejadian dan kekuatan yang
digambarkan luar biasa dalam kisah Putri Hijau cenderung merupakan
tambahan dari kisah yang sebenarnya dengan tujuan euhemerisme yakni
menimbulkan kekaguman para pendengarnya. Sejalan dengan hal ini, seperti
yang diingatkan oleh Baried (1985) bahwa ”kisah’ cenderung menunjukkan
cerita yang benar-benar terjadi. Dengan demikian, kisah Putri Hijau
adalah suatu peristiwa yang benar-benar terjadi (Husny, 1975; Said, 1980
dan Sinar, 1991, Meuraxa, 1973). Dengan begitu, sifat imajinatif-diluar
kelogisan nalar manusia-yang terdapat pada kisah tersebut tidak perlu
ditafsirkan secara mendalam karena sifat itu di buat untuk tujuan
euhemerisme.
Kisah Putri Hijau yang berkembang luas dalam masyarakat
Melayu Deli serta Karo, lebih dikenal sebagai sebuah fiksi daripada
sebuah fakta sejarah. Namun, berdasarkan studi literatur, studi dokumen
dan bukti-bukti sejarah terbaru tiba pada kesimpulan bahwa kisah Putri
Hijau merupakan fakta sejarah atau peristiwa yang benar-benar terjadi.
Hanya saja, dominasi unsur imajinatif dalam kisah tersebut
menyebabkannya semata-mata bukan fakta sejarah.
Catatan-catatan penting Tentang ARU
Menurut
beberapa pendapat, disebut bahwa Teluk Aru adalah pusat kerajaan ARU
dan belum pernah diteliti sama sekali. Namun, Edmund E. McKinnon
(Arkeolog Inggris) menolak apabila kawasan tersebut dinyatakan belum
pernah diteliti sekaligus juga menolak apabila Teluk Aru disebut sebagai
pusat kerajaan Aru. Teluk Aru telah diteliti pada tahun 1975-1976 dan
hasilnya adalah ”Pulau Kompei”. Diakui bahwa terdapat peninggalan di
wilayah Teluk Aru, tetapi berdasarkan jalur hinterland kurang mendukung
Teluk Aru sebagai satu centrum kerajaan. Seperti diketahui bahwa jalur
dari Karo plateau maupun hinterland menuju pantai timur, dari utara ke
selatan melalui gunung adalah: Buaya, Liang, Negeri, Cingkem yang menuju
ke Sei Serdang maupun ke Sei Deli, Sepuluhdua Kuta, Bekancan, Wampu ke
Bahorok. Maupun jalur sungai diantara Sei Wampu bagian hilir sekitar
Stabat dan Sei Sunggal ke Belawan. Fokusnya diwilayah pantai diantara
Sei Wampu dan Muara Deli (Catatan Anderson tentang pentingnya Muara
Deli).
Penulis Karo mengemukakan bahwa (H)Aru adalah asal kata
”Karo” yang berevolusi. Oleh karena itu, kelompok ini mengklaim bahwa
masyarakat Aru adalah masyarakat yang memiliki clan Karo dan didirikan
oleh clan Kembaren. Walau demikian, penulis Karo seperti Brahmo Putro
(1979) sependapat dan mengakui bahwa centrum kerajaan ini
berpindah-pindah hingga ke Aceh, Deli Tua, Keraksaan (Batak Timur),
Lingga, Mabar, maupun Barumun. Disebutkan bahwa (H)Aru berada di Balur
Lembah Gunung Seulawah di Aceh Besar sekarang yang pada awalnya juga
telah banyak dihuni oleh orang Karo, dan telah ada sebelum kesultanan
Aceh pertama yakni Ali Mukhayat Syah pada tahun 1496-1528. Lebih lanjut
disebut bahwa kerajaan (H)Aru Balur ditaklukkan oleh Sultan Aceh pada
tahun 1511 dalam rencana unifikasi Aceh hingga ke Melaka dan salah
seorang rajanya clan Karo dan keturunan Hindu Tamil menjadi Islam
bersama seluruh rakyatnya dan bertugas sebagai Panglima Sultan Aceh di
wilayah Batak Karo.
Demikian pula penulis Melayu yang
mengemukakan bahwa kerajaan ARU adalah kerajaan Melayu yang sangat besar
pada zamanya, lokasi kerajaanya tidak menetap akibat gempuran musuh
terutama yang datangnya dari Aceh. Hal ini telah banyak dicatat oleh
Lukman Sinar dalam jilid pertama bukunya dengan judul Sari Sedjarah
Serdang (1986). Menurutnya, nama ARU muncul pertama kalinya dalam
catatan resmi Tiongkok pada saat ARU mengirimkan misi ke Tiongkok pada
tahun 1282 pada era kepemimpinan Kublai-Khan. Demikian pula dalam buku
”Sejarah Melayu” yang banyak menyebut tentang kerajaan ARU. Berdasarkan
literatur tersebut, Lukman Sinar dalam penjelasan lebih lanjut
mengemukakan bahwa pusat kerajaan ARU adalah Deli Tua dan telah menganut
Islam.
Barangkali, yang dimaksud oleh tulisan-tulisan tersebut
adalah Kota Rentang karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis serta
carbon dating terhadap temuan keramik, ditemukannya batu kubur (nisan)
yang terbuat dari batu Cadas (Volcanoic tuff) dengan ornamentasi Jawi
dimana nisan sejenis banyak ditemukan di tanah Aceh. Sedangkan
tanda-tanda ARU Deli Tua dinyatakan islam hampir tidak diketemukan
selain sebuah meriam buatan Portugis bertuliskan aksara Arab dan Karo.
Lagi pula, berdasarkan laporan kunjungan admiral Cheng Ho yang
mengunjungi Pasai pada tahun 1405-1407 menyebut bahwa nama raja ARU pada
saat itu dituliskan So-Lo-Tan Hut-Sing (Sultan Husin) dan membayar
upeti ke Tiongkok. Kemudian, dalam ”Sejarah Melayu” juga diceritakan
suatu keadaan bahwa ARU telah berdiri sekurang-kurangnya telah berusia
100 tahun sebelum penyerbuan Iskandar Muda (1607-1636) pada tahun 1612
dan 1619. Dengan demikian, kuat dugaan bahwa centrum ARU yang telah
terpengaruh Islam yang dimaksud pada laporan-laporan penulis Cina dan
”Sejarah Melayu” tersebut adalah Kota Rentang.
Diyakini bahwa
kerajaan ARU adalah kerajaan yang besar dan kuat sehingga dianggap musuh
oleh kerajaan Majapahit. Hal ini dapat dibuktikan dari sumpah Amukti
Palapa sebagaimana yang ditulis dalam kisah Pararaton (1966), yaitu:
Sira Gajah Madapatih amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah
mada: ”Lamun awus kalah nusantara isun amuktia palapa, amun kalah ring
Guran, ring Seran, Tanjung Pura, ring HARU, ring Pahang, Dompo, ring
Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti Palapa”. Hal senada
juga dikemukakan oleh Muh. Yamin dalam bukunya dengan judul ”Gajah Mada:
Pahlawan Persatuan Nusantara ”(2005).
Dari penjelasan diatas
diketahui bahwa berdasarkan periodeisasinya maka kerajaan ARU berdiri
pada awal abad ke-13 yakni pasca runtuhnya kerajaan NAGUR Batak Timur
pada tahun 1285. Pusat kerajaan ARU yang pertama ini adalah Kota Rentang
dan telah terpengaruh Islam yang sesuai dengan bukti-bukti arkeologis
yakni temuan nisan dengan ornamentasi Jawi yang percis sama dengan
temuan di Aceh. Demikian pula temuan berupa stonewares dan earthenwares
ataupun mata uang yang berasal dari abad 13-14 yang banyak ditemukan
dari Kota Rentang. Bukti-bukti ini telah menguatkan dugaan bahwa lokasi
ARU berada di Kota Rentang sebelum jatuh ketangan Aceh. Sebagai dampak
serbuan yang terus menerus maka centrum ARU pindah ke Deli Tua yakni
pada akhir abad ke-14, dan pada permulaan abad ke-15 Sultan Alauddin
Riayat Syah Al Kahar (1537-1568) mulai berkuasa di Aceh.
Benteng Putri Hijau Deli Tua
Edmund
Edwards McKinnon (2008) menulis ”Aru was attacked by Aceh and the ruler
killed by subterfuge and treachery. His wife fled into the surrounding
forest on the back of an elephant and eventually made her way to Johor,
where she married the ruling Sultan who helped her oust the Acehnese and
regain her kingdom”. Selanjutnya, “a sixteenth century account by the
Portuguese writer Pinto states that Aru was conquered by the Acehnese in
1539 and recounts how the Queen of Aru made her way to Johor and the
events that transpired thereafter”.
Seperti yang dicatat dalam
literature sejarah bahwa laskar Aceh tidak saja menyerang Kerajaan ARU
tetapi juga Portugis dan kerajaan Johor yang merupakan sekutu ARU. Oleh
karena itu, sejak kejatuhan ARU ketangan Aceh, maka centrum kerajaan ARU
yang baru berpusat di Deli Tua (Old Deli) serta dipimpin oleh ratu ARU
yang didukung oleh Portugis dan Kerajaan Johor. Dalam kisah Putri Hijau,
ratu ARU inilah yang disebut sebagai Putri Hijau. Sedangkan nama ’Putri
Hijau’ itu sendiri menurut McKinnon ada dikenal dalam cerita rakyat di
India Selatan.
Bukti-bukti peninggalan ARU Deli Tua adalah
seperti benteng pertahanan (kombinasi alam dan bentukan manusia) yang
masih bisa ditemukan hingga saat ini. Catatan resmi tentang benteng ini
dapat diperoleh dari catatan P.J. Vet dalam bukunya Het Lanschap Deli op
Sumatra (1866-1867) maupun Anderson pada tahun 1823 dimana digambarkan
bahwa di Deli Tua terdapat benteng tua berbatu yang tingginya mencapai
30 kaki dan sesuai untuk pertahanan. Menurut Pinto, penguasa Portugis di
Malaka tahun 1512-1515 bahwa ibukota (H)ARU berada di sungai
‘Panecitan’ (Lau Patani) yang dapat dilalui setelah lima hari pelayaran
dari Malaka. Pinto juga mencatat bahwa raja (H)ARU sedang sibuk
mempersiapkan kubu-kubu dan benteng-benteng dan letak istananya
kira-kira satu kilometer kedalam benteng. (H)ARU mempunyai sebuah meriam
besar, yang dibeli dari seorang pelarian Portugis.
Temuan
lainnya adalah mata uang Aceh (Dirham) yang terbuat dari emas, dimana
masyarakat disekitar benteng masih kerap menemukanya. Temuan ini
sekaligus menjadi bukti bahwa Aceh pernah menyerang ARU Deli Tua dengan
menyogok pengawal kerajaan dengan mata uang emas. Selanjutnya, menurut
Lukman Sinar (1991) di Deli Tua pada tahun 1907 dijumpai guci yang
berisi mata uang Aceh dan kini tersimpan di Museum Raffles Singapura.
Temuan lainnya adalah berupa keramik dan tembikar yang pada umumnya
percis sama dengan temuan di Kota Rentang. Temuan keramik dan tembikar
ini adalah barang bawaan dari Kota Rentang pada saat masyarakatnya
mencari perlindungan dari serangan Aceh.
Hingga saat ini, temuan
berupa uang Aceh, keramik dan tembikar dapat ditemukan disembarang
tempat disekitar lokasi benteng. Akan tetapi, dari bukti-bukti yang ada
itu, tidak diketahui secara jelas apakah ARU Deli Tua telah menganut
Islam. Pendapat yang mengemukakan bahwa ARU Deli Tua adalah Islam
didasarkan pada temuan sebuah meriam bertuliskan Arab dengan bunyi:
’Sanat… alamat Balun Haru’ yang ditemukan oleh kontrolir Cats de Raet
pada tahun 1868 di Deli Tua (Lukman Sinar, 1991). Akan tetapi di tengah
meriam tersebut terdapat tulisan buatan Portugis. Hal ini senada dengan
tulisan Pinto bahwa ARU memiliki sebuah meriam yang besar. Meriam inilah
yang kemudian di sebut dalam kisah Putri Hijau ditembakkan secara terus
menerus hingga puntung dan terbagi dua.
Faktor penyebab serangan
Aceh ke ARU yang berlangsung terus menerus adalah dalam rangka
unifikasi kerajaan dalam genggaman kesultanan Aceh. Lagipula, seperti
yang telah disebutkan diatas bahwa ARU terdahulu ditaklukkan oleh laskar
Aceh yang mengakibatkan berpindahnya ARU ke Deli Tua. Hal ini menjadi
jelas bahwa hubungan diplomatik antara ARU dengan Aceh tidak pernah
harmonis. Dalam kisah Putri Hijau disebut bahwa faktor serangan Aceh ke
Deli Tua adalah akibat penolakan sang Putri untuk dinikahkan dengan
Sultan Aceh.
Mengingat kuatnya benteng pertahanan ARU Deli Tua
yang ditumbuhi bambu, sehingga menyulitkan serangan Aceh. Menurut
catatan Pinto, dua kali serangan Aceh ke Deli Tua mengalami kegagalan.
Pada akhirnya pasukan Aceh melakukan taktik sogok yakni dengan
memberikan uang emas kepada pengawal benteng. Dalam kisah Putri Hijau
disebut bahwa pasukan Aceh menembakkan meriam berpeluru emas, sehingga
pasukan ARU berhamburan untuk mencari emas. Penyogokan pasukan ARU yang
dilakukan oleh pasukan Aceh, menjadi penyebab kehancuran kerajaan ARU
Deli Tua.
Permaisuri kerajaan dengan laskar yang tersisa mencoba
merebut Benteng, tetapi tetap gagal. Akhirnya permaisuri dengan sejumlah
pengikutnya berlayar menuju Malaka dan menghadap kepada gubernur
Portugis. Tetapi ia tidak disambut dengan baik. Akhirnya permaisuri
menjumpai Raja Johor, Sultan Alauddin Riayatsyah II dan bersedia
menikahinya apabila ARU dapat diselamatkan dari penguasaan Aceh. Akan
tetapi, ARU telah dikuasai oleh Aceh yang dipimpin oleh panglima Gocah
Pahlawan. Akhirnya permaisuri raja ARU menikah dengan raja Johor. Gocah
Pahlawan diangkat sebagai wali negeri Aceh di reruntuhan kerajaan ARU.
Selanjutnya, ARU Deli Tua pada masa pimpinan wali negeri Aceh ini
menjadi cikal bakal kesultanan Deli yang berkuasa pada tahun 1632-1653.
Benteng
Putri Hijau yang terdapat di Deli Tua-Namu Rambe berdasarkan survei
yang dilakukan oleh John Miksic (1979) luasnya adalah 1800 x 200 M2 atau
360 Ha. Letaknya percis diantarai dua lembah (splendid area) yang
disebelah baratnya mengalir Lau Patani/Sungai Deli. Temuan penting dari
situs ini adalah ditemukannya benteng pertahanan yang terbuat secara
alami maupun bentukan manusia. Benteng ini termasuk dalam kategori local
genius terutama dalam menghadapi musuh, yakni musuh yang datang
menyerang harus terlebih dahulu menyeberangi sungai, kemudian mendaki
lereng bukit (benteng alam) dan akhirnya sampai di benteng bentukan
manusia. Oleh karenanya, musuh memerlukan energi yang cukup kuat untuk
bisa sampai kepusat benteng. Lokasi yang tepat berada diantara dua
lembah serta dialiri oleh sungai, menjadi alasan bahwa daerah tersebut
sengaja dipilih untuk mengantisipasi serbuan musuh (Military Strategic
Sistem), lagi pula pusat kerajaan selalu berada di tepi sungai mengingat
pentingnya sungai sebagai jalur transportasi.
Setelah diserang
oleh laskar Aceh pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar yang
berkuasa tahun 1537-1568, (bukan Iskandar Muda) pada tahun 1564, nama
ARU tidak pernah diberitakan lagi. Serangan Aceh yang kedua ini adalah
serangan yang terhebat dimana seluruh kerajaan ARU habis dibakar dan
yang tersisa hanyalah Benteng yang masih eksis hingga sekarang. Hal ini
senada dengan pendapat Mohammad Said (1980) dimana peperangan yang
terjadi pada masa sultan Iskandar Muda (1612-1619) tidaklah sehebat
pertempuran pada masa Sultan Al-Kahar. Lagi pula, pada masa kepemimpinan
Iskandar Muda, tidak terdapat suatu tulisan bahwa Melayu di pimpin oleh
Sultan Perempuan.
Kesimpulan
Kisah Putri Hijau adalah
peristiwa yang bersifat historis-faktual yang bercampur dengan
imajinasi, terjadi pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Al
Kahar di Aceh dan ARU dipimpin oleh raja perempuan yakni permaisuri
Sultan Husin yang gugur akibat serangan Aceh. Centrum kerajaan ARU
berada di Deli Tua yang dikelilingi oleh Benteng yang tangguh setinggi
30 kaki dan memiliki sebuah meriam yang dibeli dari pelarian Portugis.
Dapat dilayari melalui sungai Panecitan/Lau Patani yang bermuara ke
selat Melaka. Pada akhirnya, ARU takluk sebagai dampak praktek sogok
(uang emas; Dirham) yang dilakukan oleh pasukan Aceh terhadap pengawal
pintu benteng kerajaan ARU. Akibatnya, ARU dapat dikuasai oleh laskar
Aceh dan seisi istana musnah dibakar.
Kisah Putri Hijau menggambarkan
kekalahan pasukan ARU Deli Tua dari serangan pasukan Aceh dan kekalahan
ini tentu saja sangat sukar untuk dapat diterima oleh masyarakat. Oleh
karena itu, sebagai kontrawacana kekalahan tersebut, dibentuklah wacana
baru dengan mengadopsi peristiwa sebenarnya dengan mencampurnya dengan
unsur-unsur imajinasi. Praktek sogok diceritakan kembali dengan tembakan
meriam Aceh berpeluru emas, sementara satu-satunya meriam ARU yang
ditembakkan secara terus-menerus menjadi panas dan pada akhirnya puntung
dan terbagi dua. Selanjutnya, faktor penyebab serangan Aceh ke ARU
bukan semata-mata disebabkan oleh rencana unifikasi dan ekspansi
kekuasaan tetapi cenderung karena perempuan, yakni kecantikan Sri Ratu
ARU yakni permaisuri Sultan Husin yang mati terbunuh sehingga Raja Aceh
berniat mempersuntinngya. Pada akhirnya, pasukan Aceh memang menang
dalam perang, tetapi mengalami kekalahan karena gagal mempersunting
Putri Hijau. Oleh karena itu, kisah Putri Hijau yang hingga kini populer
dikalangan masyarakat merupakan kontruksi atas peristiwa sebenarnya dan
sengaja dibentuk untuk melawan wacana kekalahan ARU Deli Tua. Makna
yang dikedepankan dalam wacana ini adalah bahwa Aceh tetap kalah yakni
kegagalan mempersunting permaisuri ARU Deli Tua. Disamping
catatan-catatan resmi perjalanan, bukti-bukti otentik sejarah kerajaan
ARU Deli Tua adalah benteng yang masih eksis hingga saat ini, temuan
mata uang emas Dirham, pecahan keramik dan tembikar yang dengan mudah
dapat ditemukan. Oleh karena itu, Putri Hijau bukan mitos tetapi fakta
sejarah yang benar-benar terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar