Seperti dikupas sekilas sebelumnya, Manikmaya adalah menantu Suryawarman. Ia menikah dengan Tirtakancana, putri Raja Tarumanagara tersebut. Setelah menikah, ia diberi hadiah berupa daerah bernama Kendan, di sekitar Nagreg, antara Sumedang-Bandung. Di Kendan, Manikmaya diangkat menjadi rajaresi dan dibekali pasukan. Oleh Suryawarman, ia diangkat menjadi raja bawahan Tarumanagara.
Dari Tirtakancana, Manikmaya memeroleh keturunan; salah satu putranya bernama Rajaputera Suralimansakti. Berkat kecakapan ilmu beladirinya, di usia 20 tahun Suraliman dinobatkan menjadi senapati Kendan. Tidak lama setelah itu, pangkatnya dinaikkan menjadi Panglima Balatentara (Baladika) Tarumanagara.
Manikmaya memerintah Kendan selama 32 tahun, antara 536 hingga 568 M. Setelah wafat, Suraliman naik takhta, menggantikan ayahnya. Pengangkatan Suraliman berlangsung pada tanggal 12 bagian gelap bulan Asuji 490 Saka (5 Oktober 568 M). Suraliman menikah dengan putri Raja Bakulapura (Kutai) bernama Dewi Mutyasari. Pernikahan ini bertujuan untuk merekatkan persahabatan kedua negara. Dari Mutyasari, Suraliman memiliki seorang anak lelaki bernama Kandiawan dan seorang anak perempuan bernama Kandiawati.
Kandiawan disebut juga Sang Layuwatang atau Rajaresi Dewaraja. Adapun Kandiawati menikah dengan seorang pedang kaya asal Sumatra, dan ikut bersama sang suami ke Sumatra. Kandiawan menggantikan Suraliman menjadi raja Kendan pada 597 M. Saat itu Kandiawan merupakan penguasa di wilayah Medang Jati (Medang Gana). Maka dari itu, Kandiawan diberi gelar Rahiyangta ri Medang Jati.
Langkah pertama yang diambil oleh Kandiawan setelah menjadi raja adalah memindahkan ibu kota dari Kendan ke Medang Jati. Lokasi Medang Jati diperkirakan berada di sekitar daerah Cangkuang, Garut. Dugaan ini berdasarkan atas fakta bahwa Kandiawan merupakan pemeluk Hindu-Wisnu, dan di daerah Cangkuang terdapat sebuah candi bercorak Hindu-Wisnu, Candi Cangkuang. Temuan situs purbakala di daerah Bojong Menje, Cicalengka, Kabupaten Bandung, pun ditafsirkan berkaitan dengan sejarah Kendan.
Kandiawan memiliki lima orang anak laki-laki. Mereka adalah Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah, Sandang Greba, dan Wretikandayun. Masing-masing menguasai daerah Kulikuli, Surawulan, Peles Awi (Paleswari), Rawung Langit, dan Menir. Ada kemungkinan, daerah-daerah tersebut terletak di antara Bandung - Garut. Kandiawan memerintah dalam kurun waktu 15 tahun (597-612 M). Setelah lengser, Kandiawan melanjutkan hidupnya sebagai pertapa di Layuwatang, Kuningan.
Berikut adalah raja-raja yang pernah memerintah di Kendan.
1. Manikmaya (536-568 M).
2. Suraliman (568-597).
3. Kandiawan atau Sang Layuwatang atau Rajaresi Dewaraja (597-612 M).
Wretikandayun, anak bungsunya yang menjabat rajaresi di Menir, ditunjuk untuk menjadi raja Kendan. Ia dinobatkan menjadi penguasa Kendan pada usia 21 tahun (612 M). Wretikandayun memindahkan ibukota Kerajaan dari Menir ke kawasan baru, Galuh. Galuh ini diapit oleh dua sungai: Citanduy dan Cimuntur; kini berada di Desa Karang Kamulyan, Cijeungjing, Ciamis. Galuh sendiri berarti “permata” atau “batu mulia”, yang secara kiasan berarti bisa bermakna “gadis”.
Ketika Wretikandayun memerintah Galuh, yang menjadi raja Tarumanagara adalah Kretawarman. Saat itu wilayah Kendan atau Galuh termasuk daerah kekuasaan Tarumanagara. Namun, tatkala Tarumanagara telah berubah menjadi Kerajaan Sunda pada masa Tarusbawa, Kerajaan Kendan pun memerdekakan diri dari Tarumanagara/Sunda. Wretikandayun yang telah berusia lanjut, 78 tahun, menilai bahwa Galuh harus memisahkan diri dari Tarumanagara/Sunda.
Untuk itu, Wretikandayun mengirim utusan ke ibu kota Kerajaan Sunda. Utusan Galuh memberikan surat dari Wretikandayun kepada Tarusbawa yang menyatakan bahwa Galuh hendak menjadi kerajaan yang merdeka. Raja Tarusbawa ternyata cukup bijak: lebih memilih perdamaian dan urusan dalam negeri daripada mempertahankan wilayah yang ingin membebaskan diri. Oleh Wretikandayun, Galuh pun dijadikan kerajaan yang merdeka.
PENDIRI KERAJAAN KENDAN
Kendan didirikan oleh Sang Manikmaya, ia berasal dari keluarga Calankayana, India yang menetap di Kendan sebagai resi. Karena memiliki agama yang sama dengan raja Tarumanagara dan penyembah Wisnu, Manikmaya kemudian dinikahkan dengan Dewi Tirtakancana, putri Suryawarman, raja Tarumanagara.
Istilah atau sebutan Manikmaya dalam kehidupan masyarakat sunda
sangat familir dan dikenal dari nama tokoh dewa didalam cerita
Mahabarata. Sehingga banyak runtutan Kisah yang menghubungkan sejarah
para leluhurnya dengan tokoh pewayangan.
Sebelum Sang Manikmaya tiba di Kendan, dipastikan daerah tersebut
sudah ada kehidupan, sebagaimana ditemukannya gerabah yang diketahui
berumur pada era sebelum tarikh masehi. Hal ini menjadi sangat masuk
akal mengingat perkenalan Sang Manikmaya, pendiri Kendan dengan penguasa
Tarumanara terjadi setelah ia berada di Kendan, dalam kapasitasnya
sebagai resi.
Sang Manikmaya berkuasa di Kendan sejak 458 Saka (536 M) sampai
dengan 490 Saka (568 M). Pada waktu itu Kendan masih mendapat proteksi
dari Tarumanagara, karena dianggap wilayah Tarumanagara. Pendirian
Kendan jika diurut kesejarahannya, bermula sebagai hadiah dari
Suryawarman, raja Tarumanagara kepada Sang Resi. Pada saat Kendan
didirikan, Tarumanagara ikut menyebarkan keberadaan Sang Manikmaya
keseluruh negara daerah yang ada diwilayah tersebut. Hal ini bertujuan
agar diketahui bawahannya.
Pembentukan Kendan hampir sama halnya dengan kisah Tarumanagara,
semula berada di Wilayah Salakanagara, kemudian pendiri Tarumanagara,
Sang Rajadirajaguru (Jayasingawarman) menikahi Minawati Iswati Tunggal
Pertiwi, putri Dewawarman VIII. Dalam proses selanjutnya, disebut-sebut
bahwa Salakanagara menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara, namun masih
belum dapat diketahui, namun memang Tarumanagara pada akhirnya maju
lebih pesat dibandibandingkan Salakanagara.
Mungkin juga jika Aki Tirem pada waktu itu jabatannya seorang raja,
jalan cerita Salakanagara pun akan sama dengan cerita Tarumanagara dan
Kendan. Karena Dewawarman I menikahi Dewi Pohaci, putri Aki Tirem,
kemudian menjadi Raja dan Rajaresi di Wilayah yang ia terima sebagai
hadiah dari raja yang sekaligus memproteksinya dari gangguan luar.
Suatu hal yang sulit dipahami jika pada periode selanjutnya Kendan
melepaskan diri dari Tarumanagara. Karena Kendan tidak mungkin menjadi
kerajaan yang utuh jika Suryawarman tidak menghadiahi Sang Manikmaya
suatu daerah (Kendan) lengkap dengan rakyat dan tentaranya.
Pemberian hadiah ini bukan hanya sekedar warisan mertua kepada
menantunya, melainkan suatu bentuk hadiah dari seorang sahabat kepada
orang yang dianggap berjasa menyebarkan agama di Tarumanagara.
Suryawarman juga menganggap Sang Manikmaya adalah Brahmana ulung dan
berjasa terhadap agama.
Para penerus Manikmaya
Setelah Sang Manikmaya meninggal, ia digantikan Sang Suralim,
putranya pada tahun 490 Saka (568 M). Sang Suralim, lebih mahir
berperang dan banyak waktunya diabdikan sebagai Senapati dan Panglima
Tarumanagara, sehingga ia bergelar Baladhika ning widyabala. Sang
Suralim berkuasa selama 29 tahun. Kemudian digantikan Sang Kandiawan,
putranya.
Lain halnya dengan ayahnya, Sang Kandiawan lebih dikenal karena
hidupnya minandita, ia bergelar Rajaresi Dewaraja. Sebelum menggantikan
ayahnya ia menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana,
sehingga ia bergelar Rahyangta ri Medang Jati. Namun sebagai
raja Kendan ia tidak berkedudukan di Kendan, melainkan tetap di Medang
Jati, mengingat di Kendan sudah dianggap terpengaruh oleh Siwaisme,
sedangkan ia penyembah Wisnu, sehingga ia pun bergelar Batara Wisnu di
Medang Jati.
Sang Kandiawan mempunyai lima orang putra, dan menjadikannya sebagai
penguasa daerah yang berada diwilayah Kendan, yakni Mangukuhan di
kuli-kuli ; Karungkalah di Surawulan ; Katungmaralah di Peles Awi ;
Sandangreba di Rawunglangit ; dan Wretikandayun didaerah Menir.
Berbeda dengan kisah tersebut, didalam Naskah Carita Parahyangan, kelima
anak Sang Kandiawan dibedakan karena profesinya, bukan karena diberikan
daerah kekuasaan, yakni Mangukuhan menjadi peladang ; Karungkalah
menjadi pemburu (panggerek) ; Katungmaralah menjadi penyadap ;
Sandangreba menjadi pedagang ; sedangkan Wretikandayun menggantikan Sang
Kandiawan menjadi penguasa Kendan. Menurut salah satu versi, pemberian
nama profesi tersebut bukan yang sebenarnya, namun sebagai simbol.
Sang Kandiawan menduduki tahta Kendan selama 15 tahun, sejak tahun 597
Saka (612 M), kemudian ia mengundurkan diri untuk bertapa di Layuwatang
(Kuningan), kemudian ia digantikan Wretikandayun, putra bungsunya.
Pertimbangan Sang Kandiawan menyerahkan kekuasaan Kendan kepada
Wretikandayun tentunya membuahkan pertanyaan besar, karena ia bukan anak
pertama, dalam tradisi raja-raja dahulu dianggap pihak yang paling
berhak mewarisi tahta ayahnya. Pewarisan demikian sebenarnya tidak bias
“digebyah uyah”, mengingat setiap orang ataupun komunitas memiliki ciri
khas yang mandiri dan berbeda dengan yang lainnya.
Bisa saja pemilihan Wretikandayun berdasarkan pada tradisi Kendan karena
ia lebih minandita dibandingkan dengan saudara-sudaranya lainnya yang
lebih banyak memprioritaskan urusan yang bersifat keduniaan, atau
kepanditaannya tersebut pada masa itu dianggap sebagai suatu bentuk
keahlian yang cocok untuk memimpin Kendan. Alasan ini dapat juga
ditenggarai dari sejarah keberadaan Kendan, yakni suatu wilayah Karesian
yang dihadiahkan Suryawarman, raja Tarumanagara kepada Sangresi
Manikmaya. Namun untuk sekedar alasan, mungkin jawabannya dapat
diketahui dari Carita Parahyangan, tentang lomba menombak Kebowulan.
Kisah penguasa Kendan pasca Wretikandayun sengaja tidak diuraikan
lebih lanjut, mengigat masa tersebut Kendan sudah malih rupa menjadi
Galuh dan sudah tidak berada lagi diposisinya semula. Selain hal
tersebut, dalam perkembangannya Galuh memiliki jalan sejarah yang khas
dan hingar bingar dari perpaduan masalah politik kekuasaan dan pentaatan
terhadap keyakinan raja-rajanya.
Tradisi penurunan tahta kepada anak bungsu bukan sesuatu yang
dilarang didalam tradisi Kendan, karena Wretikandayun didalam episode
Galuh mewariskan tahtanya kepada Amara (Mandiminyak), putra bungsunya.
Namun memang timbul peristiwa Purbasora dan Sanjaya generasi pasca
Wretikandayun. Peristiwa inipun tidak berhenti hanya pada satu generasi,
karena jika ditelaah berbuntut pada peristiwa Manarah, yang dikenal
dalam sejarah lisan sebagai Ciung Wanara.
Penyerahan tahta kepada anak bungsu raja terjadi pula pasca Manarah,
yakni dalam peristiwa Manistri, atau dikenal dalam cerita Lutung
Kasarung. Manarah menyerahkan kekuasaannya kepada Purbasari, sedang
Purbasari masih memiliki kakak perempuan lainnya, antara lain
Purbalarang. Ceritapun berbuntut pada kisah rebutan kekuasaan. Berkat
bantuan Sang Lutung (Manistri) akhirnya Purbasari dapat memperoleh
kekuasaannya.
Kisah para penguasa Kendan didalam carita Parahyangan, disebut sebagai berikut :
· Ndéh nihan Carita Parahiyangan. / Sang Resi Guru
mangyuga Rajaputra. / Rajaputra miseuweukeun Sang Kandiawan lawan
Sang Kandiawati, sida sapilanceukan. Ngangaranan manéh Rahiyangta
Déwaraja. Basa lumaku ngarajaresi ngangaranan manéh Rahiyangta ri
Medangjati, inya Sang Layuwatang, nya nu nyieun Sanghiyang Watang
Ageung. /Basana angkat sabumi jadi manik sakurungan, nu miseuweukeun
pancaputra; Sang Apatiyan Sang Kusika, Sang Garga Sang Mestri, Sang
Purusa, Sang Putanjala inya Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, Sang
Katung maralah , Sang Sandanggreba, Sang Wretikandayun. /Hana paksi
Si Uwur-uwur, paksi Si Naragati, nyayang di titrayatra Bagawat Resi
Makandria . Dihakan anakna ku salakina. Diseuseul ku éwéna . /
Carék éwéna, “Papa urang, lamun urang teu dianak, jeueung Bagawat Resi
Makandria. / Ditapa sotéh papa, ja hanteu dianak.” / Carék Bagawat Resi
Makandria, “Dianak ku waya, ja éwé ogé hanteu.” / Ti inya carék Bagawat
Resi Makandria, “Aing dék leumpang ka Sang Resi Guru, ka Kéndan.” /
Datang siya ka Kéndan. / Carék Sang Resi Guru, “Na naha siya Bagawat
Resi Makandria, mana siya datang ka dinih?” / “Pun samapun , aya béja
kami pun, kami ménta pirabieun pun. Kéna kami kapupulihan ku Paksi Si
Uwur-uwur, paksi Si Naragati, papa baruk urang hanteu di na anak.” /
Carék Sang Resi Guru, “Leumpang siya ti heula ka batur siya deui,
anaking Pwah Aksari Jabung, leumpang husir Bagawat Resi Makandria, na
pideungeuneun satapa, anaking.” / Leumpang Pwah Rababu, datang ka
baturna, teu diaku rabi. Nyeueung inya wedadari geulis, ti inya nyieun
manéh Pwah Manjangandara, na Bagawat Resi Makandria nyieun manéh Rakéyan
Kebowulan, sida pasanggaman. Carék Sang Resi Guru, “Étén anaking,
Pwah Sanghiyang Sri! Leumpang kita ngajadi ka lanceuk siya, ka Pwah
Aksari Jabung.” / Ti inya leumpang Pwah Sanghiyang Sri ngajadi, inya
Pwah Bungatak Mangaléngalé. / Carék Sang Mangukuhan, “Nam adiing
kalih, urang ngaboro leumpang ka tegal.” / Sadatang ka tengah
tegal, kasampak Pwah Manjangandara deung Rakéyan Kebowulan. / Digérékeun
ku sang pancaputra; beunangna samaya, asing nu numbak inya ti
heula, nu ngeunaan inya, piratueun. / Keuna ku tumbak Sang
Wretikandayun, Kebowulan jeung Pwah Manjangandara. / Lumpat ka
patapaanana, datang paéh. Dituturkeun ku Sang Wretikandayun. Pwah
Bungatak Mangaléngalé kasondong nginang deung Pwah Manjangandara;
ku Sang Wretikandayun dibaan pulang ka Galuh, ka Rahiyangta ri
Medangjati. / Lawasniya adeg ratu lima welas tahun, disilihan ku Sang
Wretikandayun di Galuh, mirabi Pwah Bungatak Mangaléngalé./ Na Sang
Mangukuhan nyieun manéh panghuma; Sang Karungkalah nyieun manéh
panggérék, Sang Katungmaralah nyieun manéh panyadap; Sang Sandanggreba
nyieun manéh padagang. Ku Sang Wretikandayun diadegkeun Sang Mangukuhan,
Rahiyangtang Kulikuli; sang Karungkalah diadegkeun Rahiyangtang
Surawulan; Sang Katungmaralah diadegkeun Rahiyangtang Pelesawi;
Sang Sandanggreba diadegkeun Rahiyangtang Rawunglangit./ Sang
Wretikandayun adeg di Galuh. Ti inya lumaku ngarajaresi, ngangaranan
manéh Rahiyangta ri Menir . Basana angkat sabumi jadi manik
sakurungan, inya nunyieunna Purbatisti. / Lawasniya ratu salapan puluh
tahun. / Disilihan ku Rahiyangtang Kulikuli, lawasniya ratu dalapan
puluh tahun. / Disilihan ku Rahiyangtang Sarawulan, lawasniya ratu genep
tahun, katujuhna panteg kana goréng twah. / Disilihan ku Rahiyangtang
Rawunglangit, lawasniya adeg ratu genep puluh tahun.KERAJAAN KENDAN
Sejarah Jawa Barat mencatat Kendan telah eksis sejak tahun 536
sampai dengan 612 M. Kendan berubah nama menjadi Galuh (permata) ketika
masa Wretikandayun, penerus Kendan menyatakan diri melepaskan diri dari
Tarumanagara (Sundapura). Karena Terusbawa merubah Tarumanagara menjadi
Kerajaan Sunda (pura). Sejak tahun 670 M ditatar sunda dianggap ada dua
kerajaan kembar, yakni Sunda Pakuan dan Sunda Galuh.
Naman Kendan seolah tenggelam dalam kebesaran nama Galuh, sangat
jarang diketahui masyarakat tentang wilayah dan kesejarahannya, kecuali
beberapa masyarakat yang berminat mendalami sejarah Sunda. Bagi
sejarawan sunda eksistensi Kendan tidak dapat dilepaskan dari Galuh.
Kendan danggap cikal bakal Galuh. Bahkan sejarawan Sumedang di Musium
Prabu Geusan Oeloen membedakan Galuh Kendan dengan Galuh Kawali.
Letak Kendan
Kendan didalam catatan sejarah Jawa Barat diperkirakan terletak
disuatu daerah diwilayah Kabupaten Bandung, ditepi sebuah bukit
(Kendan), + 500 meter
sebelah timur stasiun kereta api Nagreg. Terdapat daerah hunian yang
bernama Kampung Kendan, Desa Citaman, Kecamatan Cicalengka. Namun
berdasarkan on the spot, letak Kendan berada di sebelah barat stasiun
nagreg dan termasuk Desa Nagreg.
Bukit Kendan yang dimaksud sangat jauh untuk disebutkan memiliki
jejak Sejarah, mengingat perbukitan Kendan saat ini sudah hampir habis
akibat tanahnya dieksploitasi untuk bahan pembuatan bata merah.
Disekitar Nagreg dan Citaman ditemukan pula suatu tempat yang
disebut masyarakat sekitarnya “tempat pamujaan”, Sayang istilah tempat
pamujaan dalam paradigma masyarakat sunda dewasa ini dikonotasikan
negatif, karena sering digunakan “pamujaan”, suatu cara meminta harta
kekayaan kepada mahluk gaib, dan dianggap menyekutukan Tuhan. Sama
dengan istilah pesugihan.
Nama Kendan lebih dikenal dalam dunia arkeologi, identik sebagai
pusat industri perkakakas neolitik pada jaman purbakala. Batu Kendan
sudah lama disebut-sebut dalam dunia kepurbakalaan. Disinyalir daerah
Kendan sudah ramai dihuni penduduk sejak sebelum tarikh masehi.
Pasir batu bukit Kendan sampai saat ini masih di eksploitasi
penduduk setempat, karena mengandung bahan perekat yang sangat cocok
untuk pembuatan gerabah. Haji Atang pemilik bukit itu sekarang,
memanfaatkan bukit kendan untuk dijadikan bahan campuran bata merah.
Konon kabar menurut cerita Pak Anang, keponakan Haji Atang, pada waktu
jaman belanda kakeknya mengeksploitasi tanah Kendan untuk dikirim ke
Belanda dari stasiun Nagreg melalui Pelabuhan Surabaya, bahkan
pembangunan gedung sate dan gedung lainnya di kota Bandung disinyalir
menggunakan bahan dari bukit Kendan. Mungkin keberadaan setasiun Nagreg
pada awalnya tidak dapat dilepaskan dari Daerah Kendan. Stasiun ini
merupakan saksi bisu dari diangkutnya material Kendan kedaerah lain.
Didaerah Kendan pernah ditemukan ditemukan sebuah patung kecil.
Para akhli sejarah menyebutnya patung Dewi Durgi. (saat ini disimpan
dimusium Jakarta). Sedangkan di dalam prasasti Jayabupati disebutkan,
bahwa : kekuatan Durgi dianggap kekuatan Gaib. Dalam cerita Lutung
Kasarung, Nini Dugi dianggap berasal dari Kanekes.
Keberadaan patung Durga ditempat pamujaan menimbulkan spekulasi
dari beberapa akhli sejarah. Pleyte (1909) mensinyalir daerah tersebut
termasuk daerah “Kabuyutan”. Sama dengan daerah Mandala, atau Kabuyutan
yang ada diwilayah Cukang Genteng, dekat Ciwidey Kabupaten Bandung.
Kerajaan Kendan selain dikenal melalui gerabah purbakalanya juga
disebut-sebut di dalam Naskah Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta.
Kedua sumber dianggap duplikasi dari Pararatwan Parahyangan. Sayangnya
Pararatwan Parahyangan saat ini tidak diketahui rimbanya. Namun karena
dijadikan sebagai naskah rujukan maka Pararatwan Parahyangan dipastikan
keberadaannya lebih tua dari Naskah Carita Parahyangan dan Naskah
Wangsakerta.PERUBAHAN KENDAN MENJADI GALUH
Dalam paradigma sejarawan lokal nama Kendan tidak dapat dipisahkan
dari Galuh, namun untuk membedakan rincian kesejarahannya digunakan kata
Galuh Kendan disamping Galuh Kawali, untuk menyebut Galuh sejak
Wretikandayun memisah kan diri dari Sundapura.
Kisah Kendan lebih banyak diriwayatkan dalam Naskah Carita Parahyangan
dan Naskah Wangsakerta, Jika saja dikaji lebih jauh dan teliti, Carita
Parahyangan dapat secara runtut menjelaskan sejarah yang sebelumya
gelap, seperti kisah Sanjaya, yang prasastinya ditemukan di Canggal,
Carita Parahyangan justru dapat menjelaskan muasalnya. Carita
Parahyangan memiliki uraian yang hampir sama dengan Naskah-naskah
Wangsakerta. Konon kabar, kedua naskah ini hampir mirip dengan naskah
Pararatwan Parahyangan yang saat ini tidak diketahui keberadaannya.
Sejarah Sunda lebih hidup dari cerita yang disampaikan secara
lisan, banyak sejarah yang dianggap tabu untuk diceritakan dengan alasan
pamali, teu wasa atau tabu. Mungkin alasan para karuhun bermasud agar
tidak menyinggung perasaan orang lain yang kebetulan terceritakan.
Tetapi hukum dan realitas pemenuhan data kesejarahan resmi seolah-olah
menganggap tidak mau tahu dengan urusan ini, sehingga sering menyatakan
Urang Sunda kurang bersejarah.
Di dalam cerita Parahyangan menguraikan pula kisah Kendan serta
hubungannya dengan Galuh. Carita Parahyangan menjelaskan Sang Resiguru
beranak Rajaputra, Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati.
Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi
rajaresi ia menamakan dirinya Rahyang ta di Medang Jati, yaitu Sang
Layuwatang.Itulah kisah para pendahulu Galuh.
Memisahkan diri dari Tarumanagara
Pemisahan Galuh terjadi sejak jaman Wretikandayun yang berkuasa
pada 534 Saka (612 M) sampai dengan 702 M, pada saat itu di Tarumanagara
sudah mendekati akhir hayatnyam dan malih rupa menjadi kerajaan Sunda
(pura) yang diperintah oleh Terusbawa.
Wretikandayun menggantikan posisi Sang Kandiawan, ayahnya. Kemudian
Wretikandayun memindahkan pusat pemerintahannya kedaerah baru yang
terletak di Karang Kamulyaan Ciamis. Lokasi tersebut berada
ditengah-tengah dua sungai, yakni Citanduy dan Cilumur, yang ia beri
nama Galuh (permata).
Sangat sulit dianalisa tentang alasan Galuh Kendan memisahkan diri,
apakah karena Kendan sudah merasa besar dan memiliki kekuatan yang
seimbang dengan Tarumanagara, atau karena menganggap tidak ada lagi
ikatan emosional antara Tarumanagara yang berubah menjadi Sundapura
dengan Galuh. Namun alasan yang terakhir banyak disebut-sebut sebagai
trigger-nya, sedangkan alasan pertama hanya dijadikan premis pelengkap.
Kondisi Tarumanagara ketika itu memang sedang menurun dan sudah kurang
berwibawa dimata raja-raja daerah, disinyalir terjadi pada masa
Sudawarman, Pertama, pemberian otonomi kepada raja-raja bawahan yang
diberikan oleh leluhurnya tidak dijaga hubungan baik. Mungkin juga
karena ia tidak menguasai persoalan Tarumanagara, Karena sejak kecil
tinggal dan dibesarkan di Kanci, kawasan Palawa.
Kalaupun mampu menyelesaiakan tugas pemerintahannya, hal ini disebabkan
adanya kesetiaan dari pasukan Bhayangkara yang berasal dari
Indraprahasta. Pasukan ini sangat setiap terhadap raja-raja
Tarumanagara, mereka hanya berpikir: bagaimana menyelematkan raja.
Sehingga setiap pemberontakan dapat diselesaikan dengan baik.
Kedua, pada jaman Sudawarman telah muncul kerajaan pesaing Tarumanagara
yang pamornya sedang menaik. Seperti Galuh, ditenggara Jawa Barat,
merupakan daerah bawahan. Selain Galuh terdapat kerajaan Kalingga di
Jawa Tengah yang sudah mulai ada didalam masa keemasannya. Sedangkan di
Sumatera terdapat kerajaan besar, yakni Melayu (termasuk Sriwijaya) dan
Pali.
Kemerosotan pamor Tarumanagara tidak akan berakibat parah jika para
penggantinya dapat bertindak arif dan mampu menikan pamor kerajaan
kembali. Hingga pada setelah wafatnya Maharaja Linggawarman
Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi. Kemudian digantikan menantunya,
yakni Tarusbawa, dengan gelar Maharaja Tarusbawa Darmawaskita
Manungmanggalajaya Sunda sembawa.
Tarusbawa memerintah sejak tahun 591 sampai dengan 645 saka (669 – 723
M), sebelum menjadi penguasa Tarumanagara ia menjadi raja Sundapura,
raja daerah dibawah Tarumanagara.
Tarusbawa sangat menginginkan untuk mengangkat Tarumanagara kembali
kemasa kejayaannya. Ia pun memimpinkan kejayaan Tarumanagara seperti
jaman Purnawarman yang bersemayam di Sundapura. Dengan keinginannya
tersebut ia merubah nama Kerajaan Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda
(Sundapura atau Sundasembawa). Namun tentunya sangat berbeda dengan
Purnawarman, selain ia menguasai strategi peperangan dan pemerintahan,
ia pun dikenal sebagai raja Tarumanagara yang full Power.
Penggantian nama kerajaan yang ia lakukan tidak dipikirkan dampaknya
bagi hubungan dengan raja-raja bawahannya. Karena dengan digantinya nama
Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda berakibat raja-raja daerah merasa
tidak lagi memiliki ikatan kesejarahan, apalagi Tarusbawa bukan anak
Linggawarman, melainkan seorang menantu dan bekas raja Sundapura.
Mengenai penggantian nama Tarumanagara, dimungkinkan sebagai akibat
pindahnya ibukota Tarumanagara ke Sundapura, sehingga iapun mengikuti
nama Ibukotanya, bukan asal kerajaannya. Karena Purnawarman pun dahulu
berkedudukan di Sundapura dengan nama kerajaannya Tarumanagara.
Jika diurut sejarah raja-raja Galuh maupun Sunda keduanya masih
keturunan raja Tarumanagara. Dimungkinkan Tarusbawa masih keturunan
Purnawarman, karena ia raja di Sundapura, pada masa Purnawarman menjadi
ibukota Tarumanagara. Namun ada juga spekulasi yang berpendapat,
Tarusbawa dan leluhurnya menjadi raja Sundapura karena adanya pemberian
otonomi kepada raja-raja daerah yang ditaklukan Tarumanagara pasca
Purnawarman. Sedangkan Wretikandayun, raja Galuh adalah cucu dari
Tirtakancana, putri raja Tarumanagara.
Tentang letak Sundapura jika dikaitkan dengan prasasti di Kampung Muara
Cibungbulang dan Prasasti Kebantenan menimbulkan pertanyaan. Karena bisa
ditafsirkan, bahwa perpindahan ibukota Tarumanagara dari Sundapura
telah terjadi sejak masa Suryawarman. Selain itu, posisi letak prasasti
Muara dahulu termasuk berada diwilayah kerajaan Pasir Muara. Bisa saja
Sundapura diduga berada di wilayah Bogor, mengingat kerajaan Pajajaran,
kerajaan yang terkait dduga keras terletak di Bogor, sedangkan
Tarumanagara diduga keras terletak di Bekasi.
Didalam Pustaka Jawadwipa diterangkan mengenai lokasi Sundapura, :
· “telas karuhun wus hana ngaran deca Sunda
tathapi ri sawaka ning tajyua Taruma.
Tekwan ring usana kangken ngaran kitha Sundapura.
Iti ngaran purwaprastawa saking Bratanagari”.
tathapi ri sawaka ning tajyua Taruma.
Tekwan ring usana kangken ngaran kitha Sundapura.
Iti ngaran purwaprastawa saking Bratanagari”.
[dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan
Taruma. Pada masa lalu diberi nama Sundapura. Naman ini berasal dari
negeri Bharata].
Keinginan melepaskan diri dari Sundapura dicetuskan oleh Wretikandayun,
penguasa Galuh bukan seuatu yang muskil untuk dilaksanakan, mengingat
Galuh telah merasa cukup kuat untuk melawan Tarumanagara, karena
memiliki hubungan sangat baik dengan Kalingga, dari cara menikahkan
Mandiminyak, putranya dengan Cucu Ratu Sima. Keinginan tersebut ia
sampaikan melalui surat.
Isi surat dimaksud intinya memenjelaskan, bahwa : Galuh bersama
kerajaan lain yang berada di sebelah Timur Citarum tidak lagi tunduk
kepada Tarumanagara dan tidak lagi mengakui raja Tarumanagara sebagai
ratu. Tetapi hubungan persahabatan tidak perlu terputus, bahkan
diharapkan dapat lebih akrab. Wretikandayun memberikan ultimatum pula,
bahwa Tarumanagara janganlah menyerang Galuh Pakuan, sebab angkatan
perang Galuh tiga kali lipat dari angakatan perang Tarumanagara, dan
memilki senjata yang lengkap. Selain itu Galuh juga memiliki bersahabat
baik dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang siap
memberikan bantuan kepada Galuh kapan saja.
Permintaan untuk memisahkan diri tersebut tidak akan dikabulkan jika jaman Purnawarman. Berdasarkan perhitungan Tarusbawa pasukan Tarumanagara yang ada saat ini dibandingkan pasukan Galuh masih seimbang, sehingga sulit untuk memenangkan peperangan. Tarusbawa juga termasuk raja yang visioner dan cinta damai. Ia memilih mengelola setengah kerajaan dengan baik dibandingkan mengelola seluruh kerajaan dalam keadaan lemah.
Permintaan untuk memisahkan diri tersebut tidak akan dikabulkan jika jaman Purnawarman. Berdasarkan perhitungan Tarusbawa pasukan Tarumanagara yang ada saat ini dibandingkan pasukan Galuh masih seimbang, sehingga sulit untuk memenangkan peperangan. Tarusbawa juga termasuk raja yang visioner dan cinta damai. Ia memilih mengelola setengah kerajaan dengan baik dibandingkan mengelola seluruh kerajaan dalam keadaan lemah.
0 komentar:
Posting Komentar