Gerbang Istana
Kerajaan Sambas kuno adalah kerajaan Wijayapura berlokasi sekitar muara sungai Rejang berdiri sekitar abad ke 7 sampai sekitar tahun 1675 di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Indonesia. Kerajaan Sambas merupakan pendahulu kesultanan Sambas, seperti halnya Kerajaan Kutai sebagai pendahulu Kesultanan Kutai. Penguasa Sambas bergelar Ratu atau Panembahan. Panembahan merupakan gelar yang mulai populer sejak 1587 karena digunakan oleh Panembahan Senopati, raja pertama Mataram Islam.
Pada mulanya Sambas (Kerajaan Nek Riuh) menjadi vazal Kerajaan Bakulapura (bawahan Singhasari). Tanjung Dato menjadi perbatasan wilayah mandala Bakulapura/Tanjungpura/Sukadana dengan wilayah mandala Borneo/Brunei/Barune Selanjutnya Sambas (Kerajaan Tan Unggal) merupakan vazal Kerajaan Tanjungpura (penerus Bakulapura) yaitu propinsi Majapahit di Kalimantan.
Sambas terletak di antara jalur pelayaran dari Tiongkok ke Champa
menuju Tuban (pelabuhan Majapahit). Sambas menjalin hubungan dengan
Tiongkok pada tahun 1407 sejak terbentuknya pemukiman Tionghoa Hui Muslim Hanafi didirikan di Sambas. Pemukiman Tionghoa ini dibawah koordinator Kapten Cina di Champa, namun sejak tahun 1436 langsung di bawah gubernur Nan King. Kerajaan Sambas dan kerajaan lainnya di Kalimantan di bawah pengaruh Kesultanan Demak (penerus Majapahit). Tomé Pires
melaporkan bahwa Tanjompure (Tanjungpura/Sukadana) dan Loue (Lawai)
masing-masing kerajaan tersebut dipimpin seorang Patee (Patih).
Patih-patih ini tunduk kepada Patee Unus, penguasa Demak. Kemungkinan besar penguasa Sambas dan Banjarmasin juga telah ditaklukan pada masa pemerintahan Sultan Demak Pati Unus/Pangeran Sabrang Lor/Yat Sun (1518-1521) sebelum menyerbu posisi Portugis di Malaka pada tahun 1521
dimana Pati Unus gugur dalam pertempuran tersebut. Semenjak runtuhnya
Demak, Banjarmasin memungut upeti kepada Sambas, Sukadana dan Batang
Lawai dan menjadikannya vazal Kesultanan Banjar. Terakhir kalinya Sambas mengirim upeti ke Martapura pada masa pemerintahan Sultan Mustainbillah. Pada tanggal 1 Oktober 1609, Pangeran Adipati Saboa Tangan dari Kerajaan Sambas melakukan pakta kerja sama dengan VOC Belanda.
Sebelum berdirinya Kerajaan Sambas di wilayah Sungai Sambas ini
sebelumnya telah berdiri Kerajaan-kerajaan yang menguasai wilayah Sungai
Sambas dan sekitarnya. Berdasarkan data-data yang ada, urutan kerajaan
yang pernah berdiri di wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya sampai
dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia adalah :
- Keraton I disebut Kerajaan Nek Riuh sekitar abad 13 M - 14 M.
- Keraton II disebut Kerajaan Tan Unggal sekitar abad 15 M.
- Keraton III disebut Kerajaan Sambas pada abad 16 M.
- Keraton IV disebut Kesultanan Sambas pada abad 17 M - 20 M.
Secara otentik Kerajaan Sambas telah eksis sejak abad ke 13 M yaitu
sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negara Kertagama karya Prapanca
pada masa Majapahit (1365 M). Kemungkinan besar bahwa Kerajaan Sambas
saat itu Rajanya bernama Nek Riuh. Walaupun secara otentik Kerajaan
Sambas tercatat sejak abad ke-13 M, namun demikian berdasarkan
benda-benda arkelogis (berupa gerabah, patung dari masa hindu)yang
ditemukan selama ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan bahwa
pada sekitar abad ke-6 M atau 7 M di sekitar Sungai Sambas ini diyakini
telah berdiri Kerajaan. Hal ini ditambah lagi dengan melihat posisi
wilayah Sambas yang berhampiran dengan Selat Malaka yang merupakan lalu
lintas dunia sehingga diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M
di wilayah Sungai Sambas ini telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu lebih
kurang bersamaan dengan masa berdirinya Kerajaan Batu Laras di hulu
Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya Kerajaan Tanjungpura.
Panembahan Ratu Sapudak
Panembahan Ratu Sapudak adalah kerajaan hindu Jawa berpusat di hulu
Sungai Sambas yaitu di tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota
Lama". Kerajaan ini dapat disebut juga dengan nama "Panembahan Sambas".
Ratu Sapudak adalah Raja Panembahan ini yang ke-3, Raja Panembahan ini
yang ke-2 adalah Abangnya yang bernama Ratu Timbang Paseban, sedangkan
Raja Panembahan ini yang pertama adalah Ayah dari Ratu Sapudak dan Ratu
Timbang Paseban yang tidak diketahui namanya. Ratu adalah gelaran itu
Raja laki-laki di Panembahan Sambas dan juga di suatu masa di Majapahit.Pada
1 Oktober 1609 saat masa Ratu Sepudak telah mengadakan perjanjian
dagang dengan Samuel Bloemaert dari VOC yang ditanda tangani di kota
Lama
Asal usul Panembahan Sambas ini dimulai ketika satu rombongan besar
Bangsawan Jawa hindu yang melarikan diri dari Pulau Jawa bagian timur
karena diserang dan ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah
pimpinan Sultan Trenggono (Sultan Demak ke-3) pada sekitar tahun 1525 M. Pada tahun 1364 pasukan majapahit telah mendarat di Pangkalan Jawi.kini daerah itu bernama Jawai
Bangsawan Jawa hindu ini diduga kuat adalah Bangsawan Majapahit karena
berdasarkan kajian sejarah Pulau Jawa pada masa itu yang melarikan diri
pada saat penumpasan sisa-sisa hindu oleh pasukan Demak ini yang
melarikan diri adalah sebagian besar Bangsawan Majapahit. Pada saat itu
Bangsawan Majapahit lari dalam 3 kelompok besar yaitu ke Pulau Bali, ke
daerah Gunung Kidul dan yang tidak cocok dengan kerajaan di Pulau Bali
kemudian memutuskan untuk menyeberang lautan ke arah utara, rombongan
inilah yang kemudian sampai di Sungai Sambas.
Pada saat rombongan besar Bangsawan Jawa yang lari secara boyongan
ini (diyakini lebih dari 500 orang) ketika sampai di Sungai Sambas di
wilayah ini di bagian pesisir telah dihuni oleh orang-orang Melayu yang
telah berasimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir.,
Raja Tan Unggal merupakan anak asuh dari Ratu Sapudak yang berhasil
naik tahta dengan menyingkirkan putera dan puteri Ratu Sapudak yakni
Bujang Nadi dan Dare Nandung yang dikuburkan hidup hidup dibukit
Sebedang dengan tuduhan kedua bersaudara itu berniat kawin sesama
saudara, Pada saat itu
di wilayah ini sedang dalam keadaan kekosongan pemerintahan setelah
terjadi kudeta rakyat dengan terbunuhnya Raja Tan Unggal secara tragis
dengan dimasukkan kedalam peti dan petinya dibuang kedalam sungai Sambas dan sejak itu masyarakat Melayu di wilayah
ini tidak mengangkat Raja lagi. Pada masa inilah rombongan besar
Bangsawan Jawa ini sampai di wilayah Sungai Sambas ini sehingga tidak
menimbulkan benturan terhadap rombongan besar Bangsawan Jawa yang tiba
ini.
Setelah lebih dari 10 tahun menetap di hulu Sungai Sambas, rombongan
Bangsawan Jawa ini melihat bahwa kondisi di wilayah Sungai Sambas ini
aman dan kondusif sehingga kemudian Bangsawan Jawa ini mendirikan lagi
sebuah kerajaan yang disebut dengan Panembahan atau dapat disebut dengan
nama "Panembahan Sambas" yang masih beraliran hindu. Yang menjadi Raja
Panembahan Sambas yang pertama tidak diketahui namanya setelah wafat, ia
digantikan anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban. Setelah Ratu
Timbang Paseban wafat, ia digantikan oleh Adindanya yang bergelar Ratu
Sapudak.
Pada masa pemerintahan Ratu Sapudak inilah datang rombongan Sultan
Tengah yang terdiri dari keluarga dan orang-orangnya datang dari
Kesultanan Sukadana dengan menggunakan 40 buah perahu yang lengkap
dengan alat senjata. Rombongan Baginda Sultan Tengah ini kemudian
disambut dengan baik oleh Ratu Sapudak dan Sultan Tengah dan
rombongannya dipersilahkan untuk menetap di sebuah tempat yang kemudian
disebut dengan nama "Kembayat Sri Negara". Tidak lama setelah menetapnya
Sultan Tengah dan rombongannya di Panembahan Sambas ini, Ratu Sapudak
pun kemudian wafat secara mendadak. Kemudian yang menggantikan Almarhum
Ratu Sapudak adalah keponakannya bernama Raden Kencono yaitu anak
dari Abang Ratu Sapudak yaitu Ratu Timbang Paseban. Setelah menaiki
Tahta Panembahan Sambas, Raden Kencono ini kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda.
Raden Kencono ini sekaligus juga menantu dari Ratu Sapudak karena pada
saat Ratu Sapudak masih hidup, ia menikah dengan anak perempuan Ratu
Sapudak yang bernama Mas Ayu Anom.
Beberapa lama setelah Ratu Anom Kesumayuda menaiki Tahta Kesultanan
Sambas yaitu ketika Sultan Tengah telah menetap di wilayah Panembahan
Sambas ini sekitar 10 tahun, anak Baginda Sultan Tengah yang sulung
yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa hingga kemudian Sulaiman di
jodohkan dan kemudian menikah dengan anak perempuan bungsu dari Almarhum
Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu. Karena pernikahan inilah kemudian Sulaiman diangurahi gelaran Raden menjadi Raden Sulaiman.
Tak lama setelah itu Raden Sulaiman diangkat menjadi salah satu Menteri
Besar dari Panembahan Sambas yang mengurusi urusan hubungan dengan
negara luar dan pertahanan negeri dan kemudian Mas Ayu Bungsu pun hamil
hingga kemudian Raden Sulaiman memperoleh seorang anak laki-laki yang
diberi nama Raden Bima.
Tidak berapa lama setelah Raden Bima lahir, dan setelah melihat
situasi di sekitar Selat Malaka sudah mulai aman, ditambah lagi telah
melihat anaknya yang sulung yaitu Raden Sulaiman sudah mapan yaitu sudah
menikah dan telah menjadi seorang Menteri Besar Panembahan Sambas, maka
Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan sudah saatnya untuk kembali
pulang ke Kerajaannya yaitu Kesultanan Sarawak. Maka kemudian Baginda
Sultan Tengah beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat
anaknya yang lain (Adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin,
Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi berangkat meninggalkan
Panembahan Sambas, negeri yang telah didiaminya selama belasan tahun,
yaitu kembali pulang menuju Kesultanan Sarawak.
Dalam perjalanan pulang menuju Kesultanan Sarawak ini, yaitu ketika
hampir sampai yaitu di suatu tempat yang bernama Batu Buaya, Baginda
Sultan Tengah secara tidak diduga ditikam oleh pengawalnya sendiri namun
pengawal yang menikamnya itu kemudian ditikam balas oleh Baginda Sultan
Tengah hingga tewas. Namun demikian luka yang dialami Baginda Sultan
Tengah terlalu parah hingga kemudian membawa kepada kewafatan Baginda
Sultan Tengah bin Sultan Muhammad Hasan. Jenazah Baginda Sultan Tengah
kemudian dimakamkan di suatu tempat dilereng Gunung Santubong (dekat
Kota Kuching) yang hingga sekarang masih dapat ditemui. Sepeninggal
suaminya, Putri Surya Kesuma kemudian memutuskan untuk kembali ke
Sukadana (tempat dimana ia berasal) bersama dengan keempat orang anaknya
(Adik-adik dari Raden Sulaiman).
Sepeninggal Ayahnya yaitu Sultan Tengah, Raden Sulaiman yang menjadi
Menteri Besar di Panembahan Sambas, mandapat tentangan yang keras dari
Adik Ratu Anom Kesumayuda bernama Raden Aryo Mangkurat yang juga
menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas bersama Raden Sulaiman. Raden
Aryo Mangkurat bertugas untuk urusan dalam negeri. Raden Aryo Mangkurat
yang sangat fanatik hindu ini memang sudah sejak lama membenci Raden
Sulaiman yang kemudian dilampiaskannya setelah Ayah Raden Sulaiman yaitu
Baginda Sultan Tengah meninggalkan Panembahan Sambas. Kebencian Raden
Aryo Mangkurat kepada Raden Sulaiman ini disebabkan karena disamping
menjadi Menteri Besar yang handal, Raden Sulaiman juga sangat giat
menyebarkan Syiar Islam di Panembahan Sambas ini sehingga penganut Islam
di Panembahan Sambas menjadi semakin banyak. Disamping itu karena Raden
Sulaiman yang cakap dan handal dalam bertugas mengurus masalah luar
negeri dan pertahanan sehingga Ratu Anom Kesumayuda semakin bersimpati
kepada Raden Sulaiman yang menimbulkan kedengkian yang sangat dari Raden
Ayo Mangkurat terhadap Raden Sulaiman.
Untuk menyingkirkan Raden Sulaiman ini Raden Aryo Mangkurat kemudian
melakukan taktik fitnah, namun tidak berhasil sehingga kemudian
menimbulkan kemarahan Raden Aryo Mangkurat dengan membunuh orang
kepercayaan Raden Sulaiman yang setia bernama Kyai Setia Bakti.
Raden Sulaiman kemudian mengadukan pembunuhan ini kepada Ratu Anom
Kesumayuda namun tanggapan Ratu Anom Kesumayuda tidak melakukan tindakan
yang berarti yang cenderung untuk mendiamkannya (karena Raden Aryo
Mangkurat adalah Adiknya). Hal ini membuat Raden Aryo Mangkurat semakin
merajalela hingga kemudian Raden Sulaiman semakin terdesak dan sampai
kepada mengancam keselamatan jiwa Raden Sulaiman dan keluarganya.
Melihat kondisi yang demikian maka Raden Sulaiman beserta keluarga dan
orang-orangnya kemudian memutuskan untuk hijrah dari Panembahan Sambas.
Maka kemudian Raden Sulaiman beserta keluarga dan pengikutnya yang
terdiri dari sisa orang-orang Brunei yang ditinggalkan oleh Ayahnya
(Baginda Sultan Tengah) sebelum meninggalkan Panembahan Sambas dan
sebagian besar terdiri dari orang-orang Jawa Panembahan Sambas yang
telah masuk Islam.
Raja Sambas
Daftar Ratu (Pangeran Adipati) dan Panembahan yang memerintah Kerajaan Sambas:
- Saboa Tangan Pangeran Adipati Sambas (1609)
- Ratu Timbang Paseban bin Saboa Tangan
- Ratu Sapudak bin Saboa Tangan (1650-1652)
- Ratu Anom Kesumayuda (Pangeran Prabu Kencana) bin Ratu Timbang Paseban
- Panembahan di Kota Balai (Raden Bekut)
- Raden Mas Dungun
Hubungan Kerajaan Sambas dan Kesultanan Banjar sampai abad ke-17
Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebutkan Sambas sebagai salah satu negeri di propinsi Tanjungnagara (beribukota di Tanjungpura) yang telah ditaklukan Kerajaan Majapahit oleh Gajah Mada. Sedangkan menurut Hikayat Banjar, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata/Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa, pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (Banjar Hindu), Sambas merupakan salah satu tanah yang di bawah angin (= negeri di sebelah barat) yang menyerahkan upeti. Dalam Hikayat Banjar, penguasa Sambas disebut Raja Sambas demikian juga penguasa Sukadana disebut Raja Sukadana sementara daerah Kota Waringin, Pasir dan Berau penguasanya disebut orang besar. Jika berada di pusat keraton Banjar maka Raja Sambas disebut Dipati Sambas/Pangeran Adipati Sambas dan Raja Sukadana disebut Dipati Sukadana/Pangeran Adipati Sukadana yang dianggap sebagai raja bawahanan dari Sultan Banjar yang bertindak sebagai pemerintah pusat. Saat itu raja di Kalbar masih setaraf Panembahan dan belum ada yang bergelar Sultan. Pada masa pemerintahan Sultan Banjar ke-4 Marhum Panembahan/Sultan Mustainbillah yang berkuasa tahun 1595-1642,
setelah mengutus Kiai Martasura ke Makassar untuk bertemu Karaeng
Patinggaloang, maka kira-kira antara tahun 1638-1640, seorang raja
Sambas (Saboa Tangan Pangeran Adipati Sambas) telah datang ke Kesultanan Banjar untuk mempersembahkan upeti berupa dua biji intan dan barang-barang lainnya. Intan yang satu ada sedikit bercak kotor ukurannya sebesar buah tanjung dinamakan Si Giwang, sedangkan yang sebuah lagi berukuran sebesar telur burung dara dinamakan Si Misim.
Sejak saat itulah Sambas tidak lagi disuruh menyerahkan upeti tiap-tiap
tahun, tetapi hanya jika saat-saat Sultan Banjar menyuruh mengirimkan
barang yang dikehendakinya maka jangan tidak dicarikan barang tersebut.
Pada Tahun 1641 intan Si Misim dipersembahkan oleh Marhum Panembahan/Sultan Mustainbillah kepada raja Mataram Sultan Agung.
Tahun 1546 raja Demak Sultan Trenggono mangkat. Ia telah berjasa
menolong Sultan Suriansyah mendirikan Kesultanan Banjar. Sejak runtuhnya
Demak, Sultan Banjarmasin melepaskan diri dan tidak pernah lagi
mengirim upeti kepada pemerintahan Jawa berikutnya. Pada masa Sultan
Hidayatullah I (ayah Marhum Panembahan), Mataram menyerang Banjarmasin
dan menawan putra mahkota Ratu Bagus di Tuban. Sejak itu hubungan
Mataram dan Banjarmasin mengalami ketegangan. Namun sejak tahun 1637
hubungan Banjarmasin dan Mataram membaik dan Ratu Bagus dibebaskan dari
tawanan. Maka pada tahun 1641 Marhum Panembahan mengirim persembahan
(hadiah) berupa intan Si Misim (upeti raja Sambas dahulu) dan barang
lainnya seperti lada, rotan, tudung dan lilin. Sebagai utusan anandanya
sendiri yang dilahirkan dari selir seorang Jawa yaitu Pangeran Dipati Tapesana beserta mangkubumi Kiai Tumenggung Raksanagara dan seorang menteri Kiai Narangbaya disertai dua ratus pengiring.
Hikayat Banjar, menyebutkan :
- Hubungan Negara Dipa (Banjar Hindu) dengan Sambas di masa Maharaja Suryanata menyebutkan :
Hatta berapa lamanya maka raja perempuan itu hamil pula. Sudah
genap bulannya genap harinya maka beranak laki-laki pula. Maka tahta
kerajaan, beranak itu seperti demikian jua, dinamai Raden Suryawangsa.
Kemudian daripada itu, Raden Suryaganggawangsa itu sudah taruna, Raden
Suryawangsa itu baharu kepinggahan (= tanggal gigi) itu, maka seperti
raja Sukadana, seperti raja Sambas, seperti orang besar-besar Batang Lawai, seperti orang besar di Kota Waringin, seperti raja Pasir, seperti Kutai, seperti Karasikan, seperti orang besar di Berau, sekaliannya itu sama takluk pada Maharaja Suryanata di Negara-Dipa itu. Majapahit
pun, sungguh negeri besar serta menaklukkan segala negeri jua itu,
adalah raja Majapahit itu takut pada Maharaja Suryanata itu. Karena
bukannya raja seperti raja negeri lain-lain itu asalnya kedua
laki-isteri itu maka raja Majapahit hebat itu; lagi pula Lambu Mangkurat
itu yang ditakutinya oleh raja Majapahit dan segala menteri Majapahit
itu sama hebatnya pada Lambu Mangkurat itu. Maka banyak tiada
tersebutkan.
- Hubungan Banjar dengan Sambas di masa Sultan Suriansyah menyebutkan :
Sudah itu maka orang Sebangau, orang Mendawai, orang Sampit, orang Pembuang, orang Kota Waringin, orang Sukadana, orang Lawai, orang Sambas
sekaliannya itu dipersalin sama disuruh kembali. Tiap-tiap musim barat
sekaliannya negeri itu datang mahanjurkan upetinya, musim timur kembali
itu. Dan orang Takisung, orang Tambangan Laut, orang Kintap, orang Asam-Asam, orang Laut-Pulau, orang Pamukan, orang Paser, orang Kutai, orang Berau, orang Karasikan,
sekaliannya itu dipersalin, sama disuruh kembali. Tiap-tiap musim timur
datang sekaliannya negeri itu mahanjurkan upetinya, musim barat
kembali..
- Hubungan Banjar dengan Sambas di masa Sultan Mustain Billah alias Marhum Panembahan menyebutkan :
Kemudian daripada itu datang raja Sambas maaturkan intan dua biji, serta ada barang lain-lain yang ada di Sambas
itu diaturkannya tetapi yang tersebutkan intan dua biji. Yang satu
rigat (= kotor) sedikit, besarnya seperti buah tanjung, dinamai Si Giwang. Satu besarnya seperti telur burung dara, itu dinamai Si Misim. Pangandika (= perkataan) Marhum Panambahan pada raja Sambas:”Dipati Sambas,
nyawa (= kamu) sudah jangan lagi mahanjurkan upati seperti zaman dahulu
kala. Hanya lamun ada aku menyuruh barang yang kukehendaki itu jangan
tiada carikan. Maka lamun ada kehendak nyawa barang sesuatu menyuruh ke
mari.” Sembah raja Sambas:” Nugraha sampian (= anda) itu kaula (= saya) junjung kaula suhun atas batu kepala kaula.” Demikianlah mulanya maka Sambas tiada lagi tiap-tiap tahun maaturkan upati ke Martapura itu. Banyak tiada tersuratkan.
Semua data yang dijelaskan diatas adalah untuk masa Kerajaan Sambas hindu sedangkan setelah masa Kerajaan Sambas hindu ini dilanjutkan dengan masa Panembahan Sambas hindu yang berbeda keturunan (Dinasti / Nasab) dengan Kerajaan Sambas hindu itu, setelah masa Panembahan Sambas hindu itu dilanjutkan lagi masa pemerintahan Kesultanan Sambas
dimana Kesultanan Sambas ini berbeda keturunan (Dinasti / Nasab) dengan
Kerajaan Sambas hindu maupun Panembahan Sambas hindu. Masa Pemerintahan
Kesultanan Sambas inilah yang datanya jauh lebih jelas dan lengkap dibandingkan dengan masa-masa Kerajaan-Kerajaan Sambas sebelumnya. Keturunan
dari Raja-Raja Kerajaan Sambas hindu dan Panembahan Sambas hindu telah
hilang jejaknya, yang ada sekarang sebagai keturunan Kerajaan Sambas
adalah dari Raja-Raja Kesultanan Sambas yang berkembang luas hingga
sekarang ini. Jadi Kerajaan Sambas yang dimaksudkan masyarakat saat
ini adalah Kesultanan Sambas, bukan Kerajaan Sambas hindu atau
Panembahan Sambas hindu dimana data-data yang disebutkan diatas alinea
ini adalah untuk masa Kerajaan Sambas hindu dan Panembahan Sambas hindu, bukan untuk Kesultanan Sambas yang ada sekarang.
Sedangkan pada masa pemerintahannya, Kesultanan Sambas yang
berdiri sejak tahun sekitar tahunn 1675 M, tidak pernah tunduk /
bernaung kepada pihak-pihak kekuasaan manapun baik itu Kerajaan lainnya
di Nusantara ini ataupun pihak Kolonoal Eropa hingga kemudian pada masa
Sultan Sambas ke-10 yaitu Sultan Umar Akamaddin III (tahun 1831 M), kekuasaan Kolonial Hindia Belanda mulai memengaruhi pemerintahan Kesultanan Sambas hingga masa kemerdekaan RI.
Bahkan Kesultanan Sambas sempat menjadi Kerajaan terbesar di wilayah Kalimantan Barat selama sekitar 100 tahun
yaitu dari awal abad ke-18 (tahun 17-an) hingga awal abad ke-19 (tahun
18-an), baru kemudian setelah Hindia Belanda mulai berkuasa di wilayah
Kalimantan Barat, Kejayaan Kesultanan Sambas mulai meredup dan kemudian kebesaran Kesultanan Sambas itu digantikan oleh Kesultanan Pontianak.
Peta wilayah yang ditunjukkan diatas juga tidak mewakili wilayah masa Kesultanan Sambas seutuhnya kerana batas wilayah yang ditunjukkan diatas adalah batas wilayah Kabupaten Sambas setelah pemekaran sekitar tahun 2000 lalu, sedangkan batas wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas adalah meliputi, Kabupaten Sambas sekarang, Kota Singkawang, dan Kabupaten Bengkayang sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar