Kerajaan Tayan
SEJARAH KERAJAAN TAYAN
Pendiri kerajaan Tayan adalah putra Brawijaya dari kerajaan Majapahit yang bernama Gusti Likar/Lekar. Bersama dengan saudara-saudaranya, Gusti Likar meninggalkan kerajaan Tanjungpura yang sering terlibat peperangan.
Pemerintahan
kerajaan Tayan kemudian
dipegang oleh Gusti Ramal bergelar Pangeran Marta Jaya
Yuda Kesuma, putra Pangeran Mancar pendiri kerajaan
Meliau yang adalah kemenakan Gusti Likar. Mula-mula
ibukota kerajaan berlokasi di Teluk Kemilun.
Setelah Pangeran
Marta Jaya Yuda Kesuma wafat, putranya yang tertua, Suma
Yuda, naik tahta dengan gelar Panembahan Tua. Panembahan
berikutnya adalah putra Panembahan Tua, bernama Gusti
Mekah dengan gelar Panembahan Nata Kesuma yang disebut
juga Panembahan Muda. Pada waktu pemerintahan Nata
Kesuma itulah kerajaan Tayan mula-mula menandatangani
kontrak (korte verklaring) dengan pemerintahan Hindia
Belanda pada 12 November 1822.
Pangeran Nata
Kesuma mangkat pada 1825 dengan tidak meninggalkan
keturunan. Tahta kerajaan kemudian diduduki oleh
saudaranya yang bernama Gusti Repa dengan gelar Pangeran
Ratu Kesuma. Beliau hanya memerintah selama 3 tahun
hingga 1828 karena wafat. Penggantinya adalah saudara
Panembahan Tua, Utin Belondo dengan gelar Ratu Utin
Belondo yang juga digelar Ratu Tua. Pemerintahan
dilaksanakan oleh suaminya, Gusti Hassan Pangeran Ratu
Kesuma dengan gelar Panembahan Mangku Negara Surya
Kesuma.
Tahun 1855
Panembahan Mangku Negara Surya Kesuma digantikan oleh
putranya yang bernama Gusti Inding dengan gelar sama
dengan ayahnya. Tahun 1858, Belanda mengganti gelar
Mangku dengan Anum Paku, sehingga Gusti Inding kemudian
bergelar Panembahan Anum Paku Negara Surya Kesuma.
Karena Panembahan Anum Paku Negara Surya Kesuma tidak mampu
memimpin pemerintahan dan tidak berputra, pemerintahan
kemudian diserahkan kepada saudaranya, Gusti Kerma
Pangeran Ratu Paku Negara dengan gelar Panembahan
Adiningrat Kesuma Negara. Panembahan Anum Paku Negara
Surya Kesuma mangkat pada 23 November 1873 di Batang
Tarang.
Panembahan
Adiningrat Kesuma Negara memerintah sampai tahun 1880
dan digantikan oleh putra tertuanya, Gusti Mohamad Ali
alias Gusti Inding dengan gelar Panembahan Paku Negara
Surya Kesuma. Ibukota kerajaan kemudian dipindahkan dari
Rayang ke Tayan. Pada
26 Februari 1890,
kerajaan Meliau digabungkan ke dalam kerajaan
Tayan.
Paku Negara
Surya Kesuma, mangkat pada tahun 1905 dan dimakamkan di
Tayan. Beliau diganti oleh Gusti Tamzid Pangeran Ratu
bergelar Panembahan Anum Paku Negara. Pada masa
pemerintahan Panembahan Anum Paku Negara, Meliau kembali
diserahkan kembali atas permintaan Belanda sendiri
menjadi Gouvernement Gebied.
Mangkatnya
Panembahan Anum Paku Negara, putra mahkota yang tertua,
Gusti Jafar dinobatkan naik tahta kerajaan dengan gelar
Panembahan Anum Adi Negara. Pada tahun 1944, Gusti Jafar
dan Gusti Makhmud sebagai ahli waris kerajaan jatuh
menjadi korban Jepang.
Setelah Jepang
kalah pada Perang Dunia II, Gusti Ismail dinobatkan
menjadi Panembahan kerajaan Tayan dengan gelar
Panembahan Paku Negara. Tahun 1960, beliau masih
memerintah dan pemerintahan swaparja berakhir. Gusti
Ismail kemudian menjabat Wedana di Tayan. Ibukota
kewedanaan kemudian dipindahkan ke Sanggau, sedangkan
bekas kerajaan Tayan menjadi ibu kota kecamatan
Tayan Hilir.
Bermula dari Pengamanan Jalur Upeti pada Kerajaan Matan
PILAR
Kerajaan Tayan dimulai awal abad 15 atau sekitar tahun 1450. Gusti
Lekar, anak kedua Panembahan Dikiri, Raja Matan yang mendirikan Kerajaan
Tayan. Awalnya kedatangan Gusti Lekar ke wilayah Tayan untuk
mengamankan jalur upeti rakyat pada Kerajaan Matan.
Jalur
pengiriman upeti sebelumnya selalu mendapat gangguan dan perampasan.
Itu dilakukan oleh seseorang yang menyatakan diri sebagai raja di Kuala
Labai. Keberhasilan Gusti Lekar mengamankan upeti untuk kerajaan ayahnya
dibantu seorang suku Dayak bermana Kia Jaga dari Tebang.
Tak
berselang lama setelah berhasil mengusir penggangu jalur upeti dan
mendirikan Kerajaan Tayan, Gusti Lekar menikahi Enci’ Periuk, anak
tunggal Kia Jaga. Mereka dikarunia empat anak, masing-masing diberi
nama, Gusti Gagok, Gusti Manggar, Gusti Togok, dan Gusti Perua.
Gusti
Lekar mendirikan kerajaan baru, sementara anak pertama Penembahan
Dikiri, Duli Maulana Sultan Muhammad Syarifuddin, meneruskan
kedudukannya menjadi Raja Matan. Sultan Muhammad Syarifuddin menjadi
raja pertama yang memeluk agama Islam. Tuan Syech Syamsuddin lah yang
memperkenalkan agama Islam padanya. Selain memeluk agama Islam, ia juga
mendapat hadiah Al-quran kecil dan cincin bermata jamrud merah dari
Makkah.
Sejarah
Kerajaan Tayan diteruskan anak, cucu, dan cicit Gusti Lekar, setelah ia
wafat dan dimakamkan di bukit dekat Kota Meliau masih dalam wilayah
Kerajaan Tayan.
Terdapat
tiga versi asal usul nama Tayan di masyarakat. Ada yang menyatakan nama
Tayan diambil dari kondisi tanah Ujung Tanjung, tempat berdiri Kota
Tayan, sehingga Tayan diartikan tanah tajam. Tapi ada yang mengartikan
Tayan sebagai kota besar (tai: besar dan an: kota). Tempayan yang
ditenggelamkan di muara Sungai Tayan sebagai tanda mulai berdirinya Kota
Tayan juga dijadikan sumber nama Tayan.
Sejak
mangkatnya Gusti Lekar, ibukota Kerajaan Tayan dipindahkan ke Rayang.
Sampai sekarang di sana masih terdapat peninggalan makam raja-raja dan
meriam. Konon meriam itu tidak dapat dipindahkan ke tempat lain dan ada
saat-saat tertentu posisinya berubah sendiri.
Ibukota
kerajaan pindah kembali ketempat semula di muara Sungai Kemilun 700
meter dari muara Sungai Tayan. Pemindahan dilakukan cicit Gusti Lekar,
Gusti Kamarudin, setelah sakit kulitnya yang dideritanya sembuh oleh
ikan patin yang memakan kulit kaki raja ketika merendam kaki di sungai.
Wabah penyakit kulit itu melanda seluruh kerajaan.
Semasa
kekuasaannya, Kerajaan Tayan berperang dengan Kerajaan Pontianak dan
Sanggau. Pihak Gusti Kamarudin diserang pula oleh sentiam orang-orang
China yang membuat terowongan satu kilometer menuju istana dari balik
buki Hujan Emas.
Kerajaan
Tayan juga pernah mengikat kontrak dengan Belanda pada 12 November
1822, pada kekuasaan Gusti Mekah, anak Gusti Kamaruddin. Setelah wafat,
ia digantikan adiknya Gusti Repa. Tapi setelah Gusti Repa wafat,
kekuasaan beralih ke adik Gusti Kamaruddin, Utin Blondo.
Semasa
ia memerintah, Belanda ingin mengubah perjanjian dengan syarat yang
memberatkan rakyat. Utin Blondo jelas menolak keras dan marah.
Sepertinya hubungan itu baru membaik, pada kekuasaan cicitnya Gusti
Muhammad Ali. Waktu itu, 26 Februari 1890, Belanda mengembalikan
kekuasaan Kerajaan Meliau padanya. Itu dilakukan setelah Raja Meliau
Raden Abdul Salam melepaskan kekuasaannya pada Belanda. Gusti Muhammad
Ali juga memindahkan Keraton Tayan ke Kampung Pedalaman, lokasi keraton
sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar