Kerajaan Tanjung Pura
Wilayah kekuasaan Tanjungpura membentang dari Tanjung Dato sampai Tanjung Sambar. Pulau Kalimantan kuno terbagi menjadi 3 wilayah kerajaan besar: Borneo (Brunei), Sukadana (Tanjungpura) dan Banjarmasin. Tanjung Dato adalah perbatasan wilayah mandala Borneo (Brunei) dengan wilayah mandala Sukadana (Tanjungpura), sedangkan Tanjung Sambar batas wilayah mandala Sukadana/Tanjungpura dengan wilayah mandala Banjarmasin (daerah Kotawaringin). Daerah aliran Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah kekuasaan Banjarmasin, sedangkan sungai Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana. Perbatasan di pedalaman, perhuluan daerah aliran sungai Pinoh (Lawai) termasuk dalam wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan Banjarmasin)
Pada masa mahapatih Gajah Mada dan Hayam Wuruk seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama, negeri Tanjungpura menjadi ibukota bagi daerah-daerah yang diklaim sebagai taklukan Majapahit di nusa Tanjungnagara (Kalimantan). Majapahit mengklaim bekas daerah-daerah taklukan Sriwijaya di pulau Kalimantan dan sekitarnya. Nama Tanjungpura seringkali dipakai untuk sebutan pulau Kalimantan di masa itu. Pendapat lain beranggapan Tanjungpura berada di Kalimantan Selatan sebagai pangkalan yang lebih strategis untuk menguasai wilayah yang lebih luas lagi. Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura adalah anak Bhre Tumapel II (abangnya Suhita). Bhre Tanjungpura bernama Manggalawardhani Dyah Suragharini yang berkuasa 1429-1464, dia menantu Bhre Tumapel III Kertawijaya. Kemudian dalam Prasasti Trailokyapuri disebutkan Manggalawardhani Dyah Suragharini menjabat Bhre Daha VI (1464-1474). Di dalam mandala Majapahit, Ratu Majapahit merupakan prasada, sedangkan Mahapatih Gajahmada sebagai pranala, sedangkan Madura dan Tanjungpura sebagai ansa-nya.
Perpindahan ibukota kerajaan
Ibukota Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya. Beberapa penyebab Kerajaan Tanjungpura berpindah ibukota adalah terutama karena serangan dari kawanan perompak (bajak laut) atau dikenal sebagai Lanon. Konon, di masa itu sepak-terjang gerombolan Lanon sangat kejam dan meresahkan penduduk. Kerajaan Tanjungpura sering beralih pusat pemerintahan adalah demi mempertahankan diri karena sering mendapat serangan dari kerajaan lain. Kerap berpindah-pindahnya ibukota Kerajaan Tanjungpura dibuktikan dengan adanya situs sejarah yang ditemukan di bekas ibukota-ibukota kerajaan tersebut. Negeri Baru di Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura. Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665–1724), pusat istana bergeser lagi, kali ini ditempatkan di daerah Sungai Matan (Ansar Rahman, tt:110). Dari sinilah riwayat Kerajaan Matan dimulai. Seorang penulis Belanda menyebut wilayah itu sebagai Kerajaan Matan, kendati sesungguhnya nama kerajaan tersebut pada waktu itu masih bernama Kerajaan Tanjungpura (Mulia [ed.], 2007:5). Pusat pemerintahan kerajaan ini kemudian berpindah lagi yakni pada 1637 di wilayah Indra Laya. Indra Laya adalah nama dari suatu tempat di tepian Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kerajaan Tanjungpura kembali beringsut ke Kartapura, kemudian ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah lagi ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri.Perpindahan ibukota Kerajaan Sukadana
Menurut Catatan Gusti Iswadi, S.sos dalam buku Pesona Tanah Kayong, Kerajaan Tanjungpura dalam perspektif sejarah disebutkan, bahwa, dari negeri baru kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana sehingga disebut Kerajaan Sukadana, kemudian pindah lagi Ke Sungai Matan (sekarang Kec. Simpang Hilir). Dan semasa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin sekitar tahun 1637 pindah lagi ke Indra Laya sehingga disebut Kerajaan Indralaya. Indra Laya adalah nama dari satu tempat di Sungai Puye anak Sungai Pawan Kecamatan Sandai. Kemudian disebut Kerajaan Kartapura karena pindah lagi ke Karta Pura di desa Tanah Merah, Kec. Nanga Tayap, kemudian baru ke Desa Tanjungpura sekarang (Kecamatan Muara Pawan) dan terakhir pindah lagi ke Muliakarta di Keraton Muhammad Saunan yang ada sekarang yang terakhir sebagai pusat pemerintahan swapraja.Bukti adanya sisa kerajaan ini dapat dilihat dengan adanya makam tua di kota-kota tersebut, yang merupakan saksi bisu sisa kerajaan Tanjungpura dahulu. Untuk memelihara peninggalan ini pemerintah Kabupaten Ketapang telah mengadakan pemugaran dan pemeliharaan di tempat peninggalan kerajaan tersebut. Tujuannya agar genarasi muda dapat mempelajari kejayaan kerajaan tanjungpura di masa lampau.
Dalam melacak jejak raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Matan, patut diketahui pula silsilah raja-raja Kerajaan Tanjungpura karena kedua kerajaan ini sebenarnya masih dalam satu rangkaian riwayat panjang. Berhubung terdapat beberapa versi tentang sejarah dan silsilah raja-raja Tanjungpura beserta kerajaan-kerajaan lain yang masih satu rangkaian dengannya, maka berikut ini dipaparkan silsilahnya menurut salah satu versi, yaitu berdasarkan buku Sekilas Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura (2007) suntingan Drs. H. Gusti Mhd. Mulia:
Kerajaan Tanjungpura
- Brawijaya (1454–1472)
- Bapurung (1472–1487)
- Panembahan Karang Tanjung (1487–1504)
Kerajaan Sukadana
Peta yang dibuat oleh Oliver van Noord tahun 1600, menggambarkan lokasi Succadano, Tamanpure, Cota Matan, dan Loue
- Panembahan Karang Tanjung (1487–1504)
- Gusti Syamsudin atau Pundong Asap atau Panembahan Sang Ratu Agung (1504–1518)
- Gusti Abdul Wahab atau Panembahan Bendala (1518–1533)
- Panembahan Pangeran Anom (1526–1533)
- Panembahan Baroh (1533–1590)
- Gusti Aliuddin atau Giri Kesuma atau Panembahan Sorgi (1590–1604)
- Ratu Mas Jaintan (1604?1622)
- Gusti Kesuma Matan atau Giri Mustika atau Sultan Muhammad Syaifuddin (1622–1665)
Kerajaan Matan
- Gusti Jakar Kencana atau Sultan Muhammad Zainuddin (1665–1724)
- Gusti Kesuma Bandan atau Sultan Muhammad Muazzuddin (1724–1738)
- Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung atau Sultan Muhammad Tajuddin (1738–1749)
- Gusti Kencuran atau Sultan Ahmad Kamaluddin (1749–1762)
- Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762–1819)
Kerajaan (penambahanschap) Simpang-Matan
- Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762–1819). Anak Sultan Ahmad Kamaluddin
- Gusti Mahmud atau Panembahan Anom Suryaningrat (1819–1845). Menantu Sultan Ahmad Kamaluddin
- Gusti Muhammad Roem atau Panembahan Anom Kesumaningrat (1845–1889). Anak Panembahan Anom Suryaningrat
- Gusti Panji atau Panembahan Suryaningrat (1889–1920)
- Gusti Roem atau Panembahan Gusti Roem (1912–1942)
- Gusti Mesir atau Panembahan Gusti Mesir (1942–1943)
- Gusti Ibrahim (1945)
Kerajaan Kayong-Matan atau Kerajaan Tanjungpura II
- Gusti Irawan atau Sultan Mangkurat
- Pangeran Agung
- Sultan Mangkurat Berputra
- Panembahan Anom Kesuma Negara atau Muhammad Zainuddin Mursal (1829-1833)
- Pangeran Muhammad Sabran
- Gusti Muhammad Saunan
Kerajaan Tanjungpura
- Sang Maniaka atau Krysna Pandita (800 M–?)
- Hyang-Ta (900–977)
- Siak Bahulun (977–1025)
- Rangga Sentap (1290–?)
- Prabu Jaya/Brawijaya (1447-1461)
- Raja Baparung, Pangeran Prabu (1461–1481)
- Karang Tunjung, Panembahan Pudong Prasap (1481–1501)
- Panembahan Kalahirang (1501–1512)
- Panembahan Bandala (1512–1538); Anak Kalahirang
- Panembahan Anom (1538–1565); Saudara Panembahan Bandala
- Panembahan Dibarokh atau Sibiring Mambal (1565?1590)
- Giri Kusuma (1590–1608); Anak Panembahan Bandala
- Ratu Sukadana atau Putri Bunku/Ratu Mas Jaintan (1608–1622); Istri Giri Kusuma/Anak Ratu Prabu Landak
- Panembahan Ayer Mala (1622–1630); Anak Panembahan Bandala
- Sultan Muhammad Syafeiudin, Giri Mustaka, Panembahan Meliau atau Pangeran Iranata/Cakra (1630–1659); Anak/Menantu Giri Kusuma
- Sultan Muhammad Zainuddin/Pangeran Muda (1659–1725); Anak Sultan Muhammad Syaeiuddin
- Pangeran Agung (1710–1711); Perebutan kekuasaan
- pembagian kekuasaan, memimpin kerajaan di Tanah Merah
- Pangeran Agung Martadipura (1725–1730); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan memimpin kerajaan di Tanah Merah
- Pangeran Mangkurat/Sultan Aliuddin Dinlaga (1728–1749); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan di Sandai dan Tanah Merah
- pembagian kekuasaan, memimpin kerajaan di Simpang
- Pangeran Ratu Agung (1735–1740); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan, memimpin kerajaan di Simpang
- Sultan Muazzidin Girilaya (1749–1762); Anak Pangeran Ratu Agung, memimpin kerajaan di Simpang
- Sultan Akhmad Kamaluddin/Panembahan Tiang Tiga (1762–1792); Anak Sultan Aliuddin Dinlaga
- Sultan Muhammad Jamaluddin, sebelumnya: Pangeran Ratu, sebelumnya: Gusti Arma (1792–1830); Anak Sultan Akhmad Kalamuddin
- Pangeran Adi Mangkurat Iradilaga atau Panembahan Anom Kusuma Negara (1831–1843); Anak Pangeran Mangkurat
- Pangeran Cakra yang Tua atau Pangeran Jaya Anom (1843–1845); Sebagai pejabat perdana menteri, anak Pangeran Mangkurat
- Panembahan Gusti Muhammad Sabran (1845–1908); Anak Panembahan Anom Kusuma Negara
- Pangeran Laksamana Uti Muchsin (1908–1924); Anak Panembahan Gusti Muhammad Sabran
- Panembahan Gusti Muhammad Saunan atau Pangeran Mas (1924–1943); Anak Gusti Muhammad Busra
- Majelis Pemerintah Kerajaan Matan (1943–1948), terdiri dari Uti Halil (Pg. Mangku Negara), Uti Apilah (Pg. Adipati), Gusti Kencana (Pg. Anom Laksamana)
0 komentar:
Posting Komentar