Mesjid Siguntur
Kalau diperhatikan dari raja-raja yang pernah memerintah, kerajaan ini juga bernaung dibawah kerajaan Pagaruyung dibawah pemerintahan Adityawarman.
Bahasa yang dipergunakan di kerajaan Siguntur adalah bahasa Minang dialek Siguntur, yang mirip dengan dialek Payakumbuh.
Peninggalan
Kerajaan ini menyisakan sebuah jenis tarian yang disebut Tari Toga (Tari Larangan), sebuah tarian yang mirip dengan tarian Melayu dan tarian Minang. Tari Toga menjadi tari resmi kerajaan dan ditampilkan pada upacara penobatan raja (batagak gala), pesta perkawinan keluarga raja, upacara turun mandi anak raja, perayaan kemenangan pertempuran, dan gelanggang mencari jodoh putri raja.Ketika Belanda berhasil masuk ke Siguntur pada 1908 dan raja-raja di Siguntur dan sekitarnya terpaksa mengakui kedaulatan Pemerintahan Kolonial Belanda, raja kehilangan kedaulatannya. Banyak benda kerajaan yang diambil, termasuk tambo (riwayat kerajaan yang tertulis) dan aktivitas kesenian kerajaan, termasuk Tari Toga, pun vakum sudah.
"Tari Toga nyaris hilang, tari itu sudah lama tidak dimainkan dan hanya diingat dengan cerita turun-temurun, saya mengumpulkan informasi lagi dan menghidupkan kembali pada 1989," kata Tuan Putri Marhasnida, salah seorang pewaris Kerajaan Siguntur kepada PadangKini.com. Marhasnida adalah adik sepupu raja sekarang, Sultan Hendri Tuanku Bagindo Ratu.
Ketika dirintis Marhasnida pada 1980-an, para penari dan pendendang sudah banyak yang meninggal. Untunglah ada seorang kakek yang usianya sudah lebih 80 tahun. Ia bekas pendendang yang masih hidup. Sang kakek masih hafal semua dendang Tari Toga karena sejak tidak lagi berdendang, ia sering melantunkan dendangnya ketika Batobo.
Batobo adalah membersihkan kebun atau menyabit di sawah bersama-sama, 30 sampai 60 orang. Si pendendang selalu Batobo agar orang-orang tak bosan bekerja seharian, ia disuruh berdendang sambil bekerja.
"Itulah sebabnya syair tetap diingat, sedangkan tarinya masih ada seorang nenek yang sudah bungkuk mengingatnya, dari ingatan itulah saya susun kembali dan melatih remaja di keluarga Kerajaan Siguntur untuk menarikan Tari Toga," kata sarjana pendidikan seni Institut Kejuruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Padang (kini Universitas Negeri Padang) yang kini menjadi guru kesenian di SMP Negeri II Pulau Punjung, Dharmasraya itu.
Tari Toga modifikasi Marhasnida ini kemudian ditampilkan di Radio Republik Indonesia (RRI) Padang pada 1990 dan dimainkan dalam berbagai acara Kerajaan Siguntur, termasuk menyambut peserta "Arung Sejarah Bahari Ekspedisi Pamalayu" yang diselenggarakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, akhir Desember tahun lalu.
Raja-Raja Siguntur
Berikut raja-raja Siguntur:-
- Periode Hindu-Buddha
- Sri Tribuwana Mauliwarmadewa (1250-1290),
- Sora (Lembu Sora) (1290-1300),
- Pramesora (Pramesywara) (1300-1343),
- Adityawarman (kanakamedinindra) (1343-1347), --bersamaan dalam memerintah Dharmasraya dan Pagaruyung.
- Adikerma (putra Paramesora) (1347-1397),
- Guci Rajo Angek Garang (1397-1425), dan
- Tiang Panjang (1425-1560).
-
- Periode Islam
- Abdul Jalil Sutan Syah (1575-1650),
- Sultan Abdul Qadir (1650-1727),
- Sultan Amiruddin (1727-1864),
- Sultan Ali Akbar (1864-1914),
- Sultan Abu Bakar (1914-1968),
- Sultan Hendri (1968-sekarang)—hanya sebagai penjabat saja, tanpa kekuasaan karena kerajaan Siguntur tinggal nama saja.
Sejarah
Dalam kompleks Masjid Siguntur terdapat makam Raja-raja Siguntur yang terdapat di sebelah utara bangunan masjid. Kompleks makam berdenah segi lima dengan ukuran panjang yang berbeda. Makam dibuat sangat sederhana, hanya ditandai dengan nisan dan jirat dari bata dan batu. Dari sekian banyak makam hanya enam makam yang diketahui, yaitu makam Sri Maharaja Diraja Ibnu bergelar Sultan Muhammad Syah bin Sora, Sultan Abdul Jalil bin Sultan Muhammad Syah Tuangku Bagindo Ratu II, Sultan Abdul Kadire Tuangku Bagindo Ratu III, Sultan Amirudin Tuangku Bagindo Ratu IV, Sultan Ali Akbar Tuangku Bagindo V, dan Sultan Abu Bakar Tuangku Bagindo Ratu VI.
Pada tahun 1957 telah dilakukan rehabilitasi lantai masjid dari papan menjadi plesteran semen oleh ahli waris dan masyarakat setempat. Kegiatan studi kelayakan terhadap Rumah Adat dan Masjid Siguntur dilaksanakan pada tahun 1991/1992 oleh Bagian Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Barat, Kanwil Depdikbud Provinsi Sumatera Barat Masjid Siguntur dipugar dengan kegiatan antara lain: pembongkaran atap beserta rangkanya, tiang, pondasi, dinding, dan lantai. Kemudian pemasangan kembali yang baru. Pekerjaan lainnya yaitu pembongkaran pintu dan jendela, pembuatan selasar, pagar beton, pagar kawat berduri, serta pintu besi. Terakhir pengecatan rangka atap dinding, pintu, jendela, dan pagar tembok.
Darmasraya dan kerajaan-kerajaan penerus
Kerajaan Siguntur, yang mengklaim masih turunan Kerajaaan Dharmasraya, mengusulkan kepada pemerintah untuk membuat duplikat Arca Bhairawa dan Arca Amoghapasa dan memindahkan semua penemuan di Dharmasraya yang kini tersimpan di Museum Adityawarman Padang dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, Batusangkar, ke Siguntur, Dharmasraya.Tuan Putri Marhasnida, salah seorang pewaris Kerajaan Siguntur, mengatakan pihaknya juga meminta didirikan museum mini di tepi Sungai Batanghari di Siguntur untuk tempat menyimpan benda-benda sisa Kerajaan Dharmasraya.
"Bila museum mini ini terwujud, sekaligus sebagai pusat informasi peninggalan Kerajaan Dharmasraya dan Kerajaan Siguntur." katanya.
Nurmatias, Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang yang membawahi Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatra Selatan, setuju dengan rencana pihak Kerajaan Siguntur.
"Dharmasraya tak hanya kekayaan arkeologis Sumatera Barat, tapi Indonesia. Pendirian museum di Kabupaten Dharmasraya ini bagus agar harta kerajaan yang tersimpan di masing-masing kerajaan tidak hilang, sebab dikhawatirkan kalau disimpan sendiri-sendiri lama-lama hilang," ujarnya.
Selain Kerajaan Siguntur, juga ada kerajaan kecil setelah Islam yang juga mengaku berhubungan dengan Kerajaan Dharmasraya pra-Islam. Kerajaan-kerajaan itu adalah Kerajaan Koto Besar, Kerajaan Pulau Punjung, Kerajaan Padang Laweh, dan Kerajaan Sungai Kambut yang masing-masing juga memiliki sejumlah peninggalan kuno.
0 komentar:
Posting Komentar