Kerajaan Aru atau Haru merupakan sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatera Utara sekarang. Nama kerajaan ini disebutkan dalam Pararaton (1336) dalam teks Jawa Pertengahan (terkenal dengan Sumpah Palapa) yang berbunyi sebagai berikut “Sira Gajah Mada
pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun
huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring
Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa” Bila dialih-bahasakan mempunyai arti : “Beliau,
Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa,
Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara,
saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram,
Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik,
demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa .
Sebaliknya tidak tercatat lagi dalam Kakawin Nagarakretagama (1365) sebagai negara bawahan sebagaimana tertulis dalam pupuh 13 paragraf 1 dan 2.
Sementara itu dalam Suma Oriental disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan yang kuat Penguasa Terbesar di Sumatera
yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang
ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing. Dalam laporannya, Tomé Pires
juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru yang
mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Melaka pada masa itu.
Dalam Sulalatus Salatin Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai. Peninggalan arkeologi yang dihubungkan dengan Kerajaan Haru telah ditemukan di Kota Cina dan Kota Rantang.
Lokasi Kerajaan Haru
Terdapat perdebatan tentang lokasi tepatnya dari pusat Kerajaan Haru. Winstedt meletakkannya di wilayah Deli
yang berdiri kemudian, namun ada pula yang berpendapat Haru berpusat di
muara Sungai Panai. Groeneveldt menegaskan lokasi Kerajaan Aru berada
kira-kira di muara Sungai Barumun (Padang Lawas) dan Gilles menyatakan
di dekat Belawan. Sementara ada juga yang menyatakan lokasi Kerajaan Aru
berada di muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat).
Sejarah
Dalam perjalanan Marco Polo
di tahun 1292 Kerajaan Aru tidak disebutkan, diindikasikan adanya 8
(delapan) kerajaan di Pulau Sumatera yang seluruh penduduknya penyembah
berhala. Kunjungan ini bertepatan dengan pembentukan negara-negara
pelabuhan Islam pertama. Beberapa kerajaan yang disebutkan Ferlec (Perlak), Fansur (Barus),Basman (Peusangan)-di daerah Bireuen sekarang- , Samudera (kemudian dikenal Pasai) dan Dagroian (Pidie). Tiga kerajaan lainnya tidak disebutkan. Sumber lain menambahkan Lambri (Lamuri) dan Battas (Batak).
Haru pertama kali muncul dalam kronik Cina masa Dinasti Yuan,
yang menyebutkan Kublai Khan menuntut tunduknya penguasa Haru pada Cina
pada 1282, yang ditanggapi dengan pengiriman upeti oleh saudara
penguasa Haru pada 1295.
Islam masuk ke kerajaan Haru paling tidak pada abad ke-13. Kemungkinan Haru lebih dulu memeluk agama Islam daripada Pasai, seperti yang disebutkan Sulalatus Salatin dan dikonfirmasi oleh Tome Pires. Sementara peduduknya masih belum semua memeluk Islam, sebagaimana dalam catatan d'Albuquerque (Afonso de Albuquerque) (Commentarios,
1511, BabXVIII) dinyatakan bahwa penguasa kerajaan-kerajaan kecil di
Sumatera bagian Utara dan Sultan Malaka biasa memiliki orang kanibal
sebagai algojo dari sebuah negeri yang bernama Aru. Juga dalam catatan Mendes Pinto
(1539), dinyatakan adanya masyarakat 'Aaru' di pesisir Timur Laut
Sumatera dan mengunjungi rajanya yang muslim, sekitar dua puluh tahun
sebelumnya, Duarte Barbosa sudah mencatat tentang kerajaan Aru yang ketika itu dikuasai oleh orang-orang kanibal penganut paganisme. Namun tidak ditemukan pernyataan kanibalisme dalam sumber-sumber Tionghoa zaman itu.
Terdapat indikasi bahwa penduduk asli Haru berasal dari suku Karo,
seperti nama-nama pembesar Haru dalam Sulalatus Salatin yang mengandung
nama dan marga Karo.
Pada abad ke-15 Sejarah Dinasti Ming menyebutkan bahwa
"Su-lu-tang Husin", penguasa Haru, mengirimkan upeti pada Cina tahun
1411. Setahun kemudian Haru dikunjungi oleh armada Laksamana Cheng Ho.
Pada 1431 Cheng Ho kembali mengirimkan hadiah pada raja Haru, namun
saat itu Haru tidak lagi membayar upeti pada Cina. Pada masa ini Haru
menjadi saingan Kesultanan Malaka sebagai kekuatan maritim di Selat Malaka. Konflik kedua kerajaan ini dideskripsikan baik oleh Tome Pires dalam Suma Oriental maupun dalam Sejarah Melayu.
Pada abad ke-16 Haru merupakan salah satu kekuatan penting di Selat Malaka, selain Pasai, Portugal yang pada 1511 menguasai Malaka, serta bekas Kesultanan Malaka yang memindahkan ibukotanya ke Bintan.
Haru menjalin hubungan baik dengan Portugal, dan dengan bantuan mereka
Haru menyerbu Pasai pada 1526 dan membantai ribuan penduduknya. Hubungan
Haru dengan Bintan lebih baik daripada sebelumnya, dan Sultan Mahmud Syah
menikahkan putrinya dengan raja Haru, Sultan Husain. Setelah Portugal
mengusir Sultan Mahmud Syah dari Bintan pada 1526 Haru menjadi salah
satu negara terkuat di Selat Malaka. Namun ambisi Haru dihempang oleh
munculnya Aceh yang mulai menanjak. Catatan Portugal menyebutkan dua serangan Aceh pada 1539, dan sekitar masa itu raja Haru Sultan Ali Boncar terbunuh oleh pasukan Aceh. Istrinya, ratu Haru, kemudian meminta bantuan baik pada Portugal di Malaka maupun pada Johor (yang merupakan penerus Kesultanan Malaka dan Bintan). Armada Johor menghancurkan armada Aceh di Haru pada 1540.
Aceh kembali menaklukkan Haru pada 1564. Sekali lagi Haru berkat
bantuan Johor berhasil mendapatkan kemerdekaannya, seperti yang dicatat
oleh Hikayat Aceh dan sumber-sumber Eropa. Namun pada abad akhir
ke-16 kerajaan ini hanyalah menjadi bidak dalam perebutan pengaruh
antara Aceh dan Johor.
Kemerdekaan Haru baru benar-benar berakhir pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dari Aceh, yang naik tahta pada 1607. Dalam surat Iskandar Muda kepada Best bertanggal tahun 1613
dikatakan, bahwa Raja Aru telah ditangkap; 70 ekor gajah dan sejumlah
besar persenjataan yang diangkut melalui laut untuk melakukan
peperangan-peperangan di Aru. Dalam masa ini sebutan Haru atau Aru juga digantikan dengan nama Deli.
Wilayah Haru kemudian mendapatkan kemerdekaannya dari Aceh pada 1669, dengan nama Kesultanan Deli. Hingga terjadi sebuah pertentangan dalam pergantian kekuasaan pada tahun 1720 menyebabkan pecahnya Deli dan dibentuknya Kesultanan Serdang di tahun 1723.
Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Raja Haru dan penduduknya telah memeluk agama Islam, sebagaimana disebutkan dalam Yingyai Shenglan (1416), karya Ma Huan yang ikut mendampingi Laksamana Cheng Ho dalam pengembaraannya . Dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu disebutkan kerajaan tersebut diislamkan oleh Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja Samudera Pasai pada pertengahan abad ke-13.
Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa adat istiadat seperti
perkawinan, adat penguburan jenazah, bahasa, pertukangan, dan hasil bumi
Haru sama dengan Melaka, Samudera dan Jawa.
Mata pencaharian penduduknya adalah menangkap ikan di pantai dan
bercocok tanam. Tetapi karena tanah negeri itu tidak begitu sesuai untuk
penanaman padi, maka sebagian besar penduduknya berkebun menanam
kelapa, pisang dan mencari hasil hutan seperti kemenyan. Mereka juga
berternak unggas, bebek, kambing. Sebagian penduduknya juga sudah
mengonsumsi susu. Apabila pergi ke hutan mereka membawa panah beracun
untuk perlindungan diri. Wanita dan laki-laki menutupi sebagian tubuh
mereka dengan kain, sementara bagian atas terbuka. Hasil-hasil bumi
dibarter dengan barang-barang dari pedagang asing seperti keramik, kain
sutera, manik-manik dan lain-lain. (Groeneveldt, 1960: 94-96) .
Peninggalan arkeologi di Kota Cina menunjukkan wilayah Haru memiliki hubungan dagang dengan Cina dan India. Namun dalam catatan Ma Huan, tidak seperti Pasai atau Malaka, pada abad ke-15 Haru bukanlah pusat perdagangan yang besar.
Agaknya kerajaan ini kalah bersaing dengan Malaka dan Pasai dalam
menarik minat pedagang yang pada masa sebelumnya aktif mengunjungi Kota
Cina. Raja-raja Haru kemudian mengalihkan perhatian mereka ke
perompakan.
Haru memakai adat Melayu, dan dalam Sulalatus Salatin
para pembesarnya menggunakan gelar-gelar Melayu seperti "Raja Pahlawan"
dan "Sri Indera". Namun adopsi terhadap adat Melayu ini mungkin tidak
sepenuhnya, dan unsur-unsur adat non-Melayu (Batak/Karo) masih ada.
Daftar raja-raja
- Sultan Husin (...-...)
- Sultan Mansur Shah (1456-1477)
- Sultan Ali Boncar (...-...)
Berkaitan dengan penguasa Aru, tidak dapat dipisahkan dengan peran lembaga Raja Berempat, yang menurut Peret (2010) telah ada sebelum pengaruh Aceh. Raja Urung di pesisir ini meliputi Urung Sunggal. Urung XII Kuta, Urung Sukapiring dan Urung Senembah, yang masing-masing berkaitan dengan Raja Urung di dataran tinggi (Karo), yakni Urung Telu Kuru merga Karo-Karo), Urung XII Kuta (merga Karo-Karo), Urung Sukapiring (merga Karo-Karo) dan Urung VII Kuta (merga Barus).
Dalam kesempatan berikut, Raja Berempat ini berperan dalam penentuan
calon pengganti Sultan di Deli/Serdang, dengan menempakan Datuk Sunggal
sebagai Ulun Janji.
0 komentar:
Posting Komentar