Kesultanan Luwu (juga dieja Luwuq, Wareq, Luwok, Luwu') adalah kerajaan Bugis tertua, pada 1889, Gubernur Hindia-Belanda di Makassar menyatakan bahwa masa kejayaan Luwu antara abad ke-10 sampai 14, tetapi tidak ada bukti lebih lanjut. Luwu bersama-sama dengan Wewang Nriwuk dan Tompotikka adalah tiga kerajaan Bugis pertama yang tertera dalam epik I La Galigo,
sebuah karya orang Bugis. Namun begitu, I La Galigo tidak dapat
diterima sepenuhnya sebagai teks sejarah karena dipenuhi dengan mitos,
maka keberadaan kerajaan-kerajaan ini dipertanyakan. Pusat kerajaan ini
terletak di Malangke yang kini menjadi wilayah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Istana Luwu
Istana Luwu berlokasi di tengah Kota Palopo, Pusat Kerajaan Luwu (sekarang salah satu kota kelas menengah di Provinsi Sulawesi Selatan). Dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda sekitar tahun 1920-an
di atas tanah bekas "Saoraja" (Istana sebelumnya terbuat dari kayu,
konon bertiang 88 buah) yang diratakan dengan tanah oleh Pemerintah
Belanda.
Bangunan permanen ini dibangun dengan arsitektur Eropa, oleh
Pemerintah Kolonial Belanda dimaksudkan untuk mengambil hati Penguasa
Kerajaan Luwu tetapi oleh kebanyakan bangsawan Luwu dianggap sebagai
cara untuk menghilangkan jejak sejarah Kerajaan Luwu sebagai Kerajaan
yang dihormati dan disegani kerajaan-kerajaan lain di jazirah Sulawesi
secara khusus dan Nusantara secara umum.
Istana Luwu menjadi pusat pengendalian wilayah Kesultanan Luwu yang luas oleh Penguasa Kerajaan yang bergelar Datu dan atau Pajung
(Di Kerajaan Luwu terdapat 2 strata Penguasa/Raja yaitu Datu kemudian
di tingkat lebih tinggi Pajung). di dekat istana luwu terdapat pula
Masjid Jami yang usianya sangat tua dan keseluruhan dindingnya terbuat
oleh batu yang disusun.
Tanah Luwu
Kawasan ini membentang dari arah selatan ke utara sampai ujung Teluk Bone, membelok ke timur, terletak di Sulawesi bagian selatan, melintang dari selatan perbatasan Kabupaten Wajo ke utara sampai perbatasan Kabupaten Poso Sulawesi Tengah dan ke jurusan tenggara Sulawesi, sampai perbatasan Kolaka Utara Sulawesi Tenggara.
Tana-Luwu adalah daerah yang subur tanahnya, membujur antara Teluk
Bone sebelah Timur dengan Pegunungan Latimojong sebelah barat,
membentang ke utara sampai dengan Pegunungan Verbeck.
Tana-Luwu sekarang ini luasnya sekitar 17.791 km², dengan penduduk
lebih dari 700.000 jiwa. Tana Luwu merupakan tanah subur penghasil
cokelat, kopi, cengkeh, udang, rumput laut dan biji nikel.
Dalam perkembangannya, daerah Luwu terbagi atas beberapa wilayah
setelah adanya pemekaran sebagai dampaknya adanya rencana pembentukan
provinsi Luwu Raya
Sawerigading
Sawerigading, adalah nama seorang putera raja Luwu, dari Kerajaan Luwu Purba. Nama ini dikenal melalui cerita dan kisah dari sastra La Galigo.
Nama Sawerigading ini dikenal sebagai seorang laki-laki perkasa, yang
kekuatannya luar biasa. Sawerigading melalui epik La Galigo dikisahkan
dua bersaudara kembar yakni Sawerigading dan We Tenriabeng. Kedua
bersaudara kembar ini adalah anak dari raja Luwu Batara Lattu.
Sawerigading dan We Teriabeng masa kecilnya dibesar diberbeda tempat,
setelah dewasa baru mereka bertemu dan jatuh cinta pada adik kandungnya,
tetapi hukum tidak membolehkan menyunting saudaranya. Gusar dan
kesedihan hati Sawerigading, menyebabkan ia memutuskan meniggalkan tanah
Luwu dan bersumpah tidak akan kembali selama hidupnya. Ia pergi
berlayar, mengembara berkeliling dikepulauan Bahari sampai ke Negeri
Tiongkok.
Sejarah Tanah Luwu
Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Tana Toraja (Makale, Rantepao) Sulawesi Selatan, Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula dengan nama Tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo dan Sawerigading.
Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang ditantang oleh hulubalang Kerajaan Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905.
Belanda selanjutnya mebangun sarana dan prasarana untuk memenuhi
keperluan pemerintah penjajah diseluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari
Selatan, Pitumpanua ke utara Poso, dan dari Tenggara Kolaka
(Mengkongga) ke Barat Tana Toraja. Pada Pemerintahan Hindia Belanda,
sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan pemerintahan,
yaitu:
- Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
- Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.
Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata
pemerintahan di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang
oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja
tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure
Pemerintahan Swapraja tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa
penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah
sesuai dengan kehendak dan kepentingan Belanda, yaitu:
- Poso (yang masuk Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan, dan dibentuk satu Afdeling.
- Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
- Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.
Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:
- Onder Afdeling Palopo, dengan ibukotanya Palopo.
- Onder Afdeling Makale, dengan ibukotanya Makale.
- Onder Afdeling Masamba, dengan ibukotanya Masamba.
- Onder Afdeling Malili, dengan ibukotanya Malili.
- Onder Afdeling Mekongga, dengan ibukotanya Kolaka.
Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Nippon, Pemerintah Jepang tidak mengubah sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di Luwu (Tahun 1942),
pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah
diterapkan oleh Belanda, hanya digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang.
Kedudukan Datu Luwu dalam sistem pemerintahan Sipil, sedangkan
pemerintahan Militer
dipegang oleh Pihak Jepang. Dalam menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu
Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat oleh
pemerintahan Militer Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat
sipil yang tidak menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi
pemerintahan sipil atau Datu Luwu pada masa itu ialah " Andi Kambo Opu
Tenrisompa" kemudian diganti oleh putranya "Andi Patiware" yang
kemuadian bergelar "Andi Jemma".
Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu/Pajung
Luwu dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling Luwu meliputi lima
onder Afdeling Palopo, Masamba, Malili, Tana Toraja atau Makale,
Rantepao dan Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma Datu Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada tahun 1957 hingga 1960.
Atas jasa-jasa beliau terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Jemma telah dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor 36.822 yang ditandatangani Presiden Soekarno.
Pada masa periode kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja atau Datu Luwu
terakhir, sekaligus menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi). Belasan tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada Andi Jemma sebelum beliau wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar. Presiden Soekarno memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan secara kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan’ Panaikang Makassar, yang dipimpin langsung oleh Panglima Kodam Hasanuddin.
Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi
Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan Luwu berintegrasi masuk
kedalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya
pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma yang antara lain
menyatakan "Kerajaan Luwu adalah bagian dari Wilayah Kesatuan Republik
Indonesia".
Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang
Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk
Daerah yang berstatus Kerajaan. Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang
Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan
tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah
swatantra. Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang
mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan
berada di Kota Palopo.
Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat, antara lain:
- Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar.
- Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja.
Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah meliputi:
- Kewedanaan Palopo
- Kewedanaan Masamba dan
- Kewedanaan Malili
Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pembentukan Propinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya adalah Daerah Tingkat II Luwu.
Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur Pemerintahan
Daerah, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961, dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu:
- Wara
- Larompong
- Suli
- Bajo
- Bupon
- Bastem
- Walenrang(Batusitanduk)
- Limbong
- Sabbang
- Malangke
- Masamba
- Bone-Bone
- Wotu
- Mangkutana
- Malili
- Nuha
Dengan 143 Desa gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status Distrik di Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi Kecamatan.
Dengan berpedoman pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah
Tingkat II Luwu berubah menjadi kecamatan dan nama-nama kecamatannya
tetap berpedoman pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi
Selatan Tenggara No. 1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas wilayah 25.149 km2.
Perkembangan dari segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu, selain pemekaran kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati II Luwu sebagai salah satu Kota Administratif (KOTIP) berdasarkan SK Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September 1986.
Dengan demikian secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu
Kota Administratip, tiga Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13
Kecamatan Perwakilan, 408 Desa Definitif, 52 Desa Persiapan dan
Kelurahan dengan luas wilayah berdasarkan data dari Subdit Tata Guna
Tanah Direktorat Agraria Propinsi Sulawesi Selatan adalah 17.791,43 km2
dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi
Selatan Nomor 124/III/1983 tanggal 9 Maret 1983 tentang penetapan luas propinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam wilayah propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.
Luas Wilayah Propinsi Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan yang ada
sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan nyata dilapangan oleh
karena telah terjadi penyempurnaan batas wilayah antar propinsi di
Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sul-Sel dan Topografi
Kodam VII Wirabuana, Pemerintah Propinsi Tingkat I Sulawesi Selatan
telah berhasil menyusun data tentang luas wilayah propinsi, kabupaten/
kotamadya dan kecamatan di daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi
Selatan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel Nomor :
SK.164/IV/1994 tanggal 4 April 1994. Total luas wilayah Kabupaten Luwu adalah 17.695,23 km2 dengan 21 kecamatan definitif dan 13 Kecamatan Pembantu.
Pada tahun 1999,
saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia,
dimana telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di
Daerah, dan mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi
Daerah.
Tepatnya pada tanggal 10 Februari 1999,
oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor
03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah
Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan
selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat
Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Februari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun 1999.
Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas:
- Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan
batas Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tana Toraja, dari 16 kecamatan,
yaitu:
- Kecamatan Lamasi
- Kecamatan Walenrang
- Kecamatan Pembantu Telluwanua
- Kecamatan Warautara
- Kecamatan Wara
- Kecamatan Pembantu Wara Selatan
- Kecamatan Bua
- Kecamatan Pembantu Ponrang
- Kecamatan Bupon
- Kecamatan Bastem
- Kecamatan Pembantu Latimojong
- Kecamatan Bajo
- Kecamatan Belopa
- Kecamatan Suli
- Kecamatan Larompong
- Kecamatan Pembantu Larompong Selatan
- Kabupaten Luwu Utara
dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas Propinsi
Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu:
- Kecamatan Sabbang
- Kecamatan Pembantu Baebunta
- Kecamatan Limbong
- Kecamatan Pembantu Seko
- Kecamatan Malangke
- Kecamatan Malangke Barat
- Kecamatan Masamba
- Kecamatan Pembantu Mappedeceng
- Kecamatan Pembantu Rampi
- Kecamatan Sukamaju
- Kecamatan Bone-Bone
- Kecamatan Pembantu Burau
- Kecamatan Wotu
- Kecamatan Pembantu Tomoni
- Kecamatan Mangkutana
- Kecamatan Pembantu Angkona
- Kecamatan Malili
- Kecamatan Nuha
- Kecamatan Pembantu Towuti
- Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi
Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota
administratif yang berlaku sejak 1986 berubah menjadi kota otonom sesuai
dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April 2002. Kota ini memiliki luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748 jiwa dan dengan jumlah Kecamatan:
- Kecamatan Wara
- Kecamatan Wara Utara
- Kecamatan Wara Selatan
- Kecamatan Telluwanua
- Kecamatan Wara Timur
- Kecamatan Wara Barat
- Kecamatan Mungkajang
- Kecamatan Bara
- Kecamatan Sendana
- Kabupaten Luwu Timur
adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan,
Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara
yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:
- Kecamatan Angkona
- Kecamatan Burau
- Kecamatan Malili
- Kecamatan Mangkutana
- Kecamatan Nuha
- Kecamatan Sorowako
- Kecamatan Tomoni
- Kecamatan Tomoni Utara
- Kecamatan Towuti
- Kecamatan Wotu
Setelah pembagian Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi
tiga Kabupaten dan satu Kota, maka secara otomatis luas Wilayah
Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara,
Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan batas yang telah
ditetapkan, yaitu:
- Luas Wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.092,58 km2
- Luas Wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,48 km2
- Luas Wilayah Kota Palopo menjadi 155.19 km2.
- Luas Wilayah Kabupaten Luwu Timur menjadi 6.944,98 km2.
0 komentar:
Posting Komentar