Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1450, di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut "Raja Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi.
Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah
terbentuknya Wajo. yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap
sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya
beliau bertemu dengan putra Arumpone Bone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo
Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeran
Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi. Wajo
mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah pada pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.
Wajo memeluk Islam secara resmi di tahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru
patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi
pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah
yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato
Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di
sana. Wajo terlibat Perang Makassar
(1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah
Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To
Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bungaya,
sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu
Lamuru yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan
Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan
membangun komunitas sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang
Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima
kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.
Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30, ia
membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk
koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan
penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi
Arung Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada zamannya ia memajukan
posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-kerajaan di sulsel.
La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan
membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral), Koronele (Kolonel),
Manynyoro (Mayor), dan Kapiteng (Kapten). Beliau juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian Bungaya.
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan Wajo dengan Bone membuat
keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa'na Wajo. Kekalahan
Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh Wajo sehingga Wajo harus
membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring.
Wajo dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara Indonesia Timur, berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konferensi Meja Bundar,
Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957.
Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal
disebabkan gejolak pemberontahan DI/TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.
0 komentar:
Posting Komentar