Bendera
Lambang Negara |
Lokasi
Brunei Darussalam adalah sebuah negara kecil yang terletak di Asia Tenggara. Letaknya di bagian utara Pulau Borneo/Kalimantan dan berbatasan dengan Malaysia.
Brunei terdiri dari dua bagian yang dipisahkan di daratan oleh
Malaysia. Negara ini terkenal dengan kemakmurannya dan ketegasan dalam
melaksanakan syariat Islam, baik dalam bidang pemerintahan maupun
kehidupan bermasyarakat.
Nama Borneo diberikan oleh orang-orang Inggris berdasarkan
nama wilayah ini karena pada masa lalu orang Eropa berdagang melalui
bandar di Brunei sebagai bandar perniagaan terbesar di pulau ini.
Asal-usul Brunei
Silsilah kerajaan Brunei didapatkan pada Batu Tarsilah yang menuliskan Silsilah Raja-Raja Brunei yang dimulai dari Awang Alak Betatar, raja yang mula-mula memeluk agama Islam (1368) sampai kepada Sultan Muhammad Tajuddin (Sultan Brunei ke-19, memerintah antara 1795-1804 dan 1804-1807).
Brunei adalah sebuah negara tua di antara kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Keberadaan Brunei Tua ini diperoleh berdasarkan kepada catatan Arab, Cina dan tradisi lisan. Dalam catatan Sejarah Cina dikenal dengan nama Po-li, Po-lo, Poni atau Puni dan Bunlai. Dalam catatan Arab dikenali dengan Dzabaj atau Randj.
Catatan tradisi lisan diperoleh dari Syair Awang Semaun yang menyebutkan Brunei berasal dari perkataan baru nah yaitu setelah rombongan klan atau suku Sakai yang dipimpin Pateh Berbai
pergi ke Sungai Brunei mencari tempat untuk mendirikan negeri baru.
Setelah mendapatkan kawasan tersebut yang memiliki kedudukan sangat
strategis yaitu diapit oleh bukit, air, mudah untuk dikenali serta untuk
transportasi dan kaya ikan sebagai sumber pangan yang banyak di sungai,
maka mereka pun mengucapkan perkataan baru nah yang berarti
tempat itu sangat baik, berkenan dan sesuai di hati mereka untuk
mendirikan negeri seperti yang mereka inginkan. Kemudian perkataan baru nah itu lama kelamaan berubah menjadi Brunei.
Replika stupa yang dapat ditemukan di Pusat Sejarah Brunei menjelaskan bahwa agama Hindu-Buddha
pada suatu masa dahulu pernah dianut oleh penduduk Brunei. Sebab telah
menjadi kebiasaan dari para musafir agama tersebut, apabila mereka
sampai di suatu tempat, mereka akan mendirikan stupa sebagai tanda serta
pemberitahuan mengenai kedatangan mereka untuk mengembangkan agama
tersebut di tempat itu. Replika batu nisan P'u Kung Chih Mu, batu
nisan Rokayah binti Sultan Abdul Majid ibni Hasan ibni Muhammad Shah
Al-Sultan, dan batu nisan Sayid Alwi Ba-Faqih (Mufaqih) pula
menggambarkan mengenai kedatangan agama Islam
di Brunei yang dibawa oleh musafir, pedagang dan mubaligh-mubaliqh
Islam, sehingga agama Islam itu berpengaruh dan mendapat tempat baik
penduduk lokal maupun keluarga kerajaan Brunei.
Islam mulai berkembang dengan pesat di Kesultanan Brunei sejak Syarif
Ali diangkat menjadi Sultan Brunei ke-3 pada tahun 1425 M. Sultan
Syarif Ali adalah seorang Ahlul Bait dari keturunan / pancir dari Cucu
Rasulullah Shalallahualaihi Wassallam yaitu Amirul Mukminin Hasan /
Syaidina Hasan sebagaimana yang tercantum dalam Batu Tarsilah / prasasti
dari abad ke-18 M yang terdapat di Bandar Sri Begawan, Brunei.
Keturunan Sultan Syarif Ali ini kemudian juga berkembang menurunkan
Sultan-Sultan disekitar wilayah Kesultanan Brunei yaitu menurunkan
Sultan-Sultan Sambas dan Sultan-Sultan Sulu.
Sejarah Brunei
Para peneliti sejarah telah mempercayai terdapat sebuah kerajaan lain
sebelum berdirinya Kesultanan Brunei kini, yang disebut orang Tiongkok
sebagai Po-ni. Catatan orang Tiongkok dan orang Arab menunjukkan bahwa
kerajaan perdagangan kuno ini ada di muara Sungai Brunei awal abad ke-7 atau ke-8. Kerajaan itu memiliki wilayah yang cukup luas meliputi Sabah, Brunei dan Sarawak
yang berpusat di Brunei. Kesultanan Brunei juga merupakan pusat
perdagangan dengan China. Kerajaan awal ini pernah ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Sumatra pada awal abad ke-9 Masehi dan seterusnya menguasai Borneo utara dan gugusan kepulauan Filipina. Kerajaan ini juga pernah menjadi taklukan (vazal) Kerajaan Majapahit yang berpusat di pulau Jawa. Nama Brunai tercantum dalam Negarakertagama sebagai daerah bawahan Majapahit. Kekuasaan Majapahit tidaklah lama karena setelah Hayam Wuruk wafat Brunai membebaskan diri dan kembali sebagai sebuah negeri yang merdeka dan pusat perdagangan penting.
Pada awal abad ke-15, Kerajaan Malaka di bawah pemerintahan Parameswara
telah menyebarkan pengaruhnya dan kemudian mengambil alih perdagangan
Brunei. Perubahan ini menyebabkan agama Islam tersebar di wilayah Brunei
oleh pedagangnya pada akhir abad ke-15. Kejatuhan Melaka ke tangan Portugis
pada tahun 1511, telah menyebabkan Sultan Brunei mengambil alih
kepimpinan Islam dari Melaka, sehingga Kesultanan Brunei mencapai zaman
kegemilangannya dari abad ke-15
hinga abad ke-17 sewaktu memperluas kekuasaannya ke seluruh pulau
Borneo dan ke Filipina di sebelah utaranya. Semasa pemerintahan Sultan Bolkiah (1473-1521) yang terkenal disebabkan pengembaraan baginda di laut, malah pernah seketika menaklukkan Manila. kesultanan Brunei memperluas pengaruhnya ke utara hingga ke Luzon dan Sulu serta di sebelah selatan dan barat Kalimantan; dan pada zaman pemerintahan sultan yang kesembilan, Hassan (1605-1619), yang membangun susunan aturan adat istiadat kerajaan dan istana yang masih kekal hingga hari ini.
Pada tahun 1658 Sultan Brunei menghadiahkan kawasan timur laut Kalimantan kepada Sultan Sulu di Filipina
Selatan sebagai penghargaan terhadap Sultan Sulu dalam menyelesaikan
perang saudara di antara Sultan Abdul Mubin dengan Pengeran Mohidin.
Persengketaan dalam kerajaan Brunei merupakan satu faktor yang
menyebabkan kejatuhan kerajaan tersebut, yang bersumber dari pergolakan
dalam disebabkan perebutan kuasa antara ahli waris kerajaan, juga
disebabkan timbulnya pengaruh kuasa penjajah Eropa di rantau sebelah
sini, yang menggugat corak perdagangan tradisi, serta memusnahkan asas
ekonomi Brunei dan kesultanan Asia Tenggara yang lain.
Pada Tahun 1839, James Brooke
dari Inggris datang ke Serawak dan menjadi raja di sana serta menyerang
Brunei, sehingga Brunei kehilangan kekuasaannya atas Serawak. Sebagai
balasan, ia dilantik menjadi gubernur dan kemudian "Rajah" Sarawak di Barat Laut Borneo sebelum meluaskan kawasan di bawah pemerintahannya. Pada tanggal 19 Desember 1846, pulau Labuan
dan sekitarnya diserahkan kepada James Brooke. Sedikit demi sedikit
wilayah Brunei jatuh ke tangan Inggris melalui perusahaan-perusahaan
dagang dan pemerintahnya sampai wilayah Brunei kelak berdiri sendiri di
bawah protektorat Inggris sampai berdiri sendiri tahun 1984.
Pada masa yang sama, Persekutuan Borneo Utara Britania sedang meluaskan penguasaannya di Timur Laut Borneo. Pada tahun 1888,
Brunei menjadi sebuah negeri di bawah perlindungan kerajaan Britania
dengan mengekalkan kedaulatan dalam negerinya, tetapi dengan urusan luar
negara tetap diawasi Britania. Pada tahun 1906,
Brunei menerima suatu lagi langkah perluasan kekuasaan Britania saat
kekuasaan eksekutif dipindahkan kepada seorang residen Britania, yang
menasihati baginda Sultan dalam semua perkara, kecuali yang
bersangkut-paut dengan adat istiadat setempat dan agama.
Pada tahun 1959,
Brunei mendeklarasikan kerajaan baru yang berkuasa memerintah kecuali
dalam isu hubungan luar negeri, keamanan dan pertahanan di mana isu-isu
ini menjadi tanggung jawab Britania. Percobaan untuk membentuk sebuah
badan perundangan pada tahun 1962 terpaksa dilupakan karena terjadi pemberontakan oleh partai oposisi yaitu Partai Rakyat Brunei
dan dengan bantuan Britania, pemberontakan ini berhasil diberantas.
Pada akhir 1950 dan awal 1960, kerajaan Brunei ketika itu menolak
rencana (walaupun pada awalnya menunjukkan minat) untuk bergabung dengan
Singapura, Sabah, Sarawak, dan Tanah Melayu untuk membentuk Malaysia dan akhirnya Sultan Brunei ketika itu berkehendak untuk membentuk sebuah negara yang merdeka.
Pada 1967, Omar Ali Saifuddin III telah turun dari takhta dan melantik putra sulungnya Hassanal Bolkiah,
menjadi Sultan Brunei ke-29. Baginda juga berkenan menjadi Menteri
Pertahanan setelah Brunei mencapai kemmerdekaan penuh dan disandangkan
gelar Paduka Seri Begawan Sultan. Pada tahun 1970, pusat pemerintahan negeri Brunei Town, telah diubah namanya menjadi Bandar Seri Begawan untuk mengenang jasa baginda. Baginda mangkat pada tahun 1986.
Pada 4 Januari 1979, Brunei dan Britania Raya telah menandatangani Perjanjian Kerjasama dan Persahabatan. Pada 1 Januari 1984, Brunei Darussalam telah berhasil mencapai kemerdekaan sepenuhnya.
Saat ini Brunei memiliki wilayah yang lebih kecil daripada masa lalu,
dengan berbatasan dengan Serawak dari sebelah barat sampai timur
wilayah itu, serta sebelah utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan.
Politik
Kerajaan Brunei Darussalam adalah negara yang memiliki corak pemerintahan monarki absolut
dengan Sultan yang menjabat sebagai Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan, merangkap seagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan
dengan dibantu oleh Dewan Penasihat Kesultanan dan beberapa Menteri. Sultan Hassanal Bolkiah yang gelarnya diturunkan dalam wangsa yang sama sejak abad ke-15, ialah kepala negara serta pemerintahan Brunei. Baginda dinasihati oleh beberapa majelis dan sebuah kabinet menteri, walaupun baginda secara berkesan merupakan pemerintah tertinggi. Media amat memihak kerajaan, dan kerabat kerajaan melestarikan status yang dihormati di dalam negeri.
Brunei tidak memiliki dewan legislatif, namun pada bulan September 2000,
Sultan bersidang untuk menentukan Parlemen yang tidak pernah diadakan
lagi sejak tahun 1984. Parlemen ini tidak mempunyai kuasa selain
menasihati sultan. Disebabkan oleh pemerintahan mutlak Sultan, Brunei
menjadi salah satu negara yang paling stabil dari segi politik di Asia.
Pertahanan Keamanan Brunei mengandalkan perjanjian pertahanan dengan Inggris di mana terdapat pasukan Gurkha
yang terutama ditempatkan di Seria. Jumlah pertahanan keamanannya lebih
kecil bila dibandingkan dengan kekayaannya dan negara negara tetangga.
Secara teori, Brunei berada di bawah pemerintahan militer sejak pemberontakan yang terjadi pada awal dekad 1960-an. Pemberontakan itu dihancurkan oleh laskar-laskar Britania Raya dari Singapura.
Brunei memiliki dengan hubungan luar negeri terutama dengan negara negara ASEAN dan negara negara lain serta ikut serta sebagai anggota PBB. Kesultanan ini juga terlibat konflik Kepulauan Spratly yang melibatkan hampir semua negara ASEAN (kecuali Indonesia, Kamboja, Laos dan Myanmar), RRC dan Republik Cina. Selain itu terlibat konflik perbatasan laut dengan Malaysia terutama masalah daerah yang menghasilkan minyak dan gas bumi. Brunei menuntut wilayah di Sarawak, seperti Limbang. Banyak pulau kecil yang terletak di antara Brunei dan Labuan, termasuk Pulau Kuraman,
telah dipertikaikan oleh Brunei dan Malaysia. Bagaimanapun, pulau-pulau
ini diakui sebagai sebagian Malaysia di tingkat internasional.
Raja-raja Brunei
Raja-raja Brunai Darusalam yang memerintah sejak didirikannya kerajaan pada tahun 1363 M yakni:
- Sultan Muhammad Shah (1383 - 1402)
- Sultan Ahmad (1408 - 1425)
- sultan Syarif Ali (1425 - 1432)
- Sultan Sulaiman (1432 - 1485)
- Sultan Bolkiah (1485 - 1524)
- Sultan Abdul Kahar (1524 - 1530)
- Sultan Saiful Rizal (1533 - 1581)
- Sultan Shah Brunei (1581 - 1582)
- Sultan Muhammad Hasan (1582 - 1598)
- Sultan Abdul Jalilul Akbar (1598 - 1659)
- Sultan Abdul Jalilul Jabbar (1669 - 1660)
- Sultan Haji Muhammad Ali (1660 - 1661)
- Sultan Abdul Hakkul Mubin (1661 - 1673)
- Sultan Muhyiddin (1673 - 1690)
- Sultan Nasruddin (1690 - 1710)
- Sultan Husin Kamaluddin (1710 - 1730) (1737 - 1740)
- Sultan Muhammad Alauddin (1730 - 1737)
- Sultan Omar Ali Saifuddien I (1740-1795)
- Sultan Muhammad Tajuddin (1795-1804) (1804-1807)
- Sultan Muhammad Jamalul Alam I (1804)
- Sultan Muhammad Kanzul Alam (1807-1826)
- Sultan Muhammad Alam (1826-1828)
- Sultan Omar Ali Saifuddin II (1828-1852)
- Sultan Abdul Momin (1852-1885)
- Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin (1885-1906)
- Sultan Muhammad Jamalul Alam II (1906-1924)
- Sultan Ahmad Tajuddin (1924-1950)
- Sultan Omar 'Ali Saifuddien III (1950-1967)
- Sultan Haji Hassanal Bolkiah Mu'izzaddin Waddaulah (1967-kini)
Pembagian administratif
Distrik-distrik Brunei dibagi lagi menjadi 38 mukim.
Geografi
Brunei terdiri dari dua bagian yang tidak berkaitan; 97% dari jumlah
penduduknya tinggal di bagian barat yang lebih besar, dengan hanya
kira-kira 10.000 orang tinggal di daerah Temburong,
yaitu bagian timur yang bergunung-gunung. Jumlah penduduk Brunei
383.000 orang. Dari bilangan ini, lebih kurang 46.000 orang tinggal di
ibukota Bandar Seri Begawan. Sejumlah kota utama termasuk kota pelabuhan Muara, serta kota Seria yang menghasilkan minyak, dan Kuala Belait, kota tetangganya. Di daerah Belait, kawasan Panaga ialah kampung halaman sejumlah besar ekspatriat, disebabkan oleh fasilitas perumahan dan rekreasi Royal Dutch Shell dan British Army. Klub Panaga yang terkenal terletak di sini.
Iklim Brunei ialah tropis khatulistiwa, dengan suhu serta kelembapan
yang tinggi, dan sinar matahari serta hujan lebat sepanjang tahun.
Ekonomi
Ekonomi kecil yang kaya ini adalah suatu campuran kewirausahaan dalam negeri dan asing, pengawalan kerajaan, kebajikan, serta tradisi kampung. Pengeluran minyak mentah dan gas alam terdiri dari hampir setengah PDB.
Pendapatan yang cukup besar pekerjaan luar negeri menambah pendapatan
daripada pengeluaran dalam negeri. Kerajaan membekali semua layanan pengobatan dan memberikan subsidi beras
dan perumahan. Pemimpin-pemimpin Brunei merasa bimbang bahwa
keterpaduan dengan ekonomi dunia yang semakin bertambah akan
mempengaruhi perpaduan sosial dalam, walaupun Brunei telah memainkan peranan yang lebih kentara dengan menjadi ketua forum APEC pada tahun 2000. Rancangan-rancangan yang dinyatakan untuk masa hadapan termasuk peningkatan keterampilan tenaga buruh, pengurangan pengangguran, pengukuhan sektor-sektor perbankan dan pariwisata, serta secara umum, peluasan lagi asas ekonominya. Sistem Penerbangan Brunei Diraja,
sistem penerbangan negara, sedang mencoba menjadikan Brunei sebagai
pusat perjalanan internasional antara Eropa dan Australia/Selandia Baru.
Ia juga mempunyai layanan ke tujuan-tujuan Asia yang utama.
Ekonomi Brunei Darussalam bertumpu pada sektor minyak bumi dan gas dengan pendapatan nasional yang termasuk tinggi di dunia satuan mata uangnya adalah Brunei Dolar yang memiliki nilai sama dengan Dolar Singapura.
Selain bertumpu pada sektor minyak bumi dan gas, pemerintah Brunei
mencoba melakukan diversifikasi sumber-sumber ekonomi dalam bidang
perdagangan. Namun dalam waktu dekat usaha tersebut mengalami kebuntuan
karena masalah internal kerajaan yang menurut sumber sumber media
internasional dihabiskan untuk kepentingan pemborosan istana ketika
dipegang oleh Pangeran Jeffry. Keadaan tersebut dapat menimbulkan masalah bagi perekonomian Brunei di masa yang akan datang.
Demografi
Kira-kira dua pertiga jumlah penduduk Brunei adalah orang Melayu. Kelompok etnik minoritas yang paling penting dan yang menguasai ekonomi negara ialah orang Tionghoa (Han) yang menyusun lebih kurang 15% jumlah penduduknya. Etnis-etnis ini juga menggambarkan bahasa-bahasa yang paling penting: bahasa Melayu yang merupakan bahasa resmi, serta bahasa Tionghoa. Bahasa Inggris juga dituturkan secara meluas, dan terdapat sebuah komunitas ekspatriat yang agak besar dengan sejumlah besar warganegara Britania dan Australia.
Islam ialah agama resmi Brunei, dan Sultan Brunei merupakan kepala agama negara itu. Agama-agama lain yang dianut termasuk agama Buddha (terutamanya oleh orang Tiong Hoa), agama Kristen, serta agama-agama orang asli (dalam komunitas-komunitas yang amat kecil).
Budaya
Budaya Brunei seakan sama dengan budaya Melayu, dengan pengaruh kuat dari Hindu dan Islam, tetapi kelihatan lebih konservatif dibandingkan Malaysia.
Penjualan dan penggunaan alkohol diharamkan, dengan orang luar dan
non-Muslim dibenarkan membawa dalam 12 bir dan dua botol miras setiap
kali mereka masuk negara ini. Setelah pemberlakuan larangan pada awal
1990-an, semua pub dan kelab malam dipaksa tutup.
0 komentar:
Posting Komentar