Kawali adalah ibu kota baru Kerajaan Galuh yang muncul pada abad ke 14
di Parahyangan Timur, kota ini makin mendesak kedudukan Galuh dan
Saunggalah. Lokasinya berada di tengah segitiga Galunggung, Saunggalah,
dan Galuh.
Pusat Pemerintahan Berpindah-pindah
Telah dikemukakan bahwa keturunan Manarah yang laki-laki terputus sehingga pada tahun 852
tahta Galuh jatuh kepada keturunan Banga, yaitu Rakeyan Wuwus yang
beristrikan puteri keturunan Galuh. Sebaliknya adik perempuan Rakeyan
Wuwus menikah dengan putera Galuh yang kemudian menggantikan kedudukan
iparnya sebagai Raja Sunda IX dengan gelar Prabu Darmaraksa Buana.
Kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat
diterima secara umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan
sebagai orang Sunda di Galuh. Prabu Darmaraksa (891 - 895) dibunuh oleh seorang menteri Sunda yang fanatik.
Karena peristiwa itu, tiap Raja Sunda yang baru selalu
memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat
pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah
dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895 sampai tahun 1311 kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.
Ayah Sri Jayabupati berkedudukan di Galuh, Sri Jayabupati di Pakuan,
tetapi puteranya berkedudukan di Galuh lagi. Dua raja berikutnya (Raja
Sunda ke-22 dan ke-23) memerintah di Pakuan. Raja ke-24 memerintah di
Galuh dan raja ke-25, yaitu Prabu Guru Darmasiksa mula-mula berkedudukan
di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan. Puteranya, Prabu Ragasuci,
berkedudukan di Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis.
Dalam abad ke-14 sebutan SUNDA itu sudah meliputi seluruh Jawa Barat,
baik dalam pengertian wilayah maupun dalam pengertian etnik. Menurut
Pustaka Paratwan i Bhumi Jawadwipa, Parwa I sarga 1, nama Sunda mulai
digunakan oleh Purnawarman untuk Ibukota Tarumanagara yang baru
didirikannya, Sundapura. Idealisme kenegaraan memang terpaut di dalamnya
karena Sundapura mengandung arti kota suci atau kota murni, sedangkan
Galuh berarti permata atau batu mulia (secara kiasan berarti gadis).
Dampak Sosial yang Ditimbulkan
Proses kepindahan seperti ini memang merepotkan (menurut pandangan
kita) namun pengaruh positifnya jelas sekali dalam hal pemantapan etnik
di Jawa Barat. Antara Galuh dengan Sunda memang terdapat kelainan dalam
hal tradisi. Anwas Adiwijaya (1975)
mengungkapkan bahwa orang Galuh itu "orang air", sedang orang Sunda
"Orang Gunung". Yang satu memiliki "mitos buaya", yang lain "mitos
harimau".
Di daerah Ciamis dan Tasikmalaya masih ada beberapa tempat yang
bernama Panereban. Tempat yang bernama demikian pada masa silam
merupakan tempat melabuhkan (nerebkeun) mayat karena menurut tradisi
Galuh, mayat harus "dilarung" (dihanyutkan) di sungai. Sebaliknya orang
Kanekes yang masih menyimpan banyak sekali "sisa-sisa" tradisi Sunda,
mengubur mayat dalam tanah. Tradisi "nerebkeun" di sebelah timur dan
tradisi "ngurebkeun" di sebelah barat (membekas dalam istilah panereban
dan pasarean).
Peristiwa sejarah telah meleburkan kedua kelompok sub-etnik ini
menjadi satu "Orang Air" dengan "Orang Gunung" itu menjadi akrab dan
berbaur seperti dilambangkan oleh dongeng Sakadang Kuya jeung Sakadang
Monyet (kura-kura dan monyet). Dongeng yang khas Sunda ini sangat
mendalam dan meluas dalam segala lapisan masyarakat, padahal mereka
tahu, bahwa dalam kenyataan sehari-hari monyet dan kuya itu bertemu saja
mugkin tidak pernah (di kebun binatang pun tidak pernah diperkenalkan).
Peran bergeser ke timur
Pada abad ke 14
di timur muncul kota baru yang makin mendesak kedudukan Galuh dan
Saunggalah, yaitu Kawali (artinya kuali atau belanga). Lokasinya
strategis karena berada di tengah segitiga Galunggung, Saunggalah dan
Galuh. Sejak abad XIV ini Galuh selalu disangkutpautkan dengan Kawali.
Dua orang Raja Sunda dipusarakan di Winduraja (sekarang bertetangga desa
dengan Kawali).
Sebenarnya gejala pemerintahan yang condong ke timur sudah mulai nampak sejak masa pemerintahan Prabu Ragasuci (1297-1303).
Ketika naik tahta menggantikan ayahnya (Prabu Darmasiksa), ia tetap
memilih Saunggalah sebagai pusat pemerintahan karena ia sendiri
sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja di timur. Tetapi pada
masa pemerintahan puteranya Prabu Citraganda, sekali lagi Pakuan menjadi
pusat pemerintahan.
Ragasuci sebenarnya bukan putera mahkota karena kedudukanya itu
dijabat kakaknya Rakeyan Jayadarma. Menurut Pustaka Rajyatajya i Bhumi
Nusantara parwa II sarga 3, Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan Dyah Singamurti alias Dyah Lembu Tal. Mereka berputera Sang Nararya Sanggramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya, yang lahir di Pakuan.
Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia
tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke
Jawa Timur. Dalam Babad Tanah Jawi, Wijaya disebut pula Jaka Susuruh
dari Pajajaran yang kemudian menjadi Raja Majapahit yang pertama.
Sementara itu, kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera
mahkota karena Wijaya berada di Jawa Timur. Prabu Darmasiksa kemudian
menunjuk putera Prabu Ragasuci, Citraganda, sebagai calon ahli warisnya.
Permaisuri Ragasuci adalah Dara Puspa, puteri Kerajaan Melayu, adik
Dara Kencana isteri Kertanegara.
Citraganda tinggal di Pakuan bersama kakeknya. Ketika Prabu Darmasiksa
wafat, untuk sementara ia menjadi raja daerah selama enam tahun di
Pakuan. Ketika itu Raja Sunda dijabat ayahnya di Saunggalah. Dari 1303
sampai 1311, Citraganda menjadi Raja Sunda di Pakuan dan ketika wafat ia
dipusarakan di Tanjung.
Prabu Lingga Dewata, putera Citraganda, mungkin berkedudukan di Kawali. Yang pasti, menantunya, Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340 sudah berkedudukan di Kawali dan sampai tahun 1482 pusat pemerintahan tetap berada di sana. Bisa disebut bahwa tahun 1333-1482 adalah zaman Kawali dalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal lima orang raja.
Lain dengan Galuh, nama Kawali terabadikan dalam dua buah prasasti
batu peninggalan Prabu Raja Wastu yang tersimpan di Astana Gede, Kawali.
Dalam prasasti itu ditegaskan "mangadeg di kuta Kawali" (bertahta di
kota Kawali) dan keratonnya disebut Surawisesa yang dijelaskan sebagai
"Dalem sipawindu hurip" (keraton yang memberikan ketenangan hidup).
Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana adalah putera Prabu
Maharaja Lingga Buana yang gugur di medan Bubat dalam tahun 1357. Ketika
terjadi Pasunda Bubat, usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia adalah
satu-satunya ahli waris kerajaan yang hidup karena ketiga kakaknya
meninggal. Pemerintahan kemudian diwakili oleh pamannya Mangkubumi
Suradipati atau Prabu Bunisora (ada juga yang menyebut Prabu Kuda
Lalean, sedangkan dalam Babad Panjalu (Kerajaan Panjalu Ciamis) disebut Prabu Borosngora.
Selain itu ia pun dijuluki Batara Guru di Jampang karena ia menjadi
pertapa dan resi yang ulung). Mangkubumi Suradipati dimakamkan di Geger
Omas.
Setelah pemerintahan dijalankan pamannya yang sekaligus juga mertuanya, Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun. Permaisurinya yang pertama adalah Lara Sarkati puteri Lampung.
Dari perkawinan ini lahir Sang Haliwungan, yang setelah dinobatkan
menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri yang kedua
adalah Mayangsari puteri sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati.
Dari perkawinannya dengan Mayangsari lahir Ningrat Kancana, yang setelah
menjadi penguasa Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala.
Setelah Wastu Kancana wafat tahun 1475, kerajaan dipecah dua di
antara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat. Politik
kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu
Kencana. Jayadewata, putera Dewa Niskala, mula-mula memperistri
Ambetkasih, puteri Ki Gedeng Sindangkasih, kemudian memperistri
Subanglarang. Yang terakhir ini adalah puteri Ki Gedeng Tapa yang
menjadi Raja Singapura.
Subanglarang ini keluaran pesantren Pondok Quro di Pura, Karawang. Ia
seorang wanita muslim murid Syekh Hasanudin yang menganut Mazhab
Hanafi. Pesantren Qura di Karawang didirikan tahun 1416 dalam masa pemerintahan Wastu Kancana. Subanglarang belajar di situ selama dua tahun. Ia adalah nenek Syarif Hidayatullah.
Kemudian Jayadewata mempersitri Kentring Manik Mayang Sunda puteri
Prabu Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Galuh yang seayah
ini menjadi besan.
Didahului oleh Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh |
Kerajaan Pajajaran | Dilanjutkan: Pajajaran |
0 komentar:
Posting Komentar