Sekala Brak (Baca: Sekala Bekhak) adalah sebuah kerajaan yang bercirikan Hindu dan dikenal dengan Kerajaan Sekala Brak Hindu yang setelah kedatangan Empat Umpu dari Pagaruyung yang menyebarkan agama Islam kemudian berubah menjadi Kepaksian Sekala Brak, terletak di kaki Gunung Pesagi (gunung tertinggi di Lampung) Yang menjadi cikal-bakal suku bangsa etnis Lampung saat ini.
Sekala Brak, Etimologi dan Sejarah Etnis Lampung
Asal usul bangsa Lampung adalah dari Sekala Brak yaitu sebuah
Kerajaan yang letaknya di dataran Belalau, sebelah selatan Danau Ranau
yang secara administratif kini berada di Kabupaten Lampung Barat. Dari
dataran Sekala Brak inilah bangsa Lampung menyebar ke setiap penjuru
dengan mengikuti aliran Way atau sungai-sungai yaitu way komering, way
kanan, way semangka, way seputih, way sekampung dan way tulang bawang
beserta anak sungainya, sehingga meliputi dataran Lampung dan Palembang
serta Pantai Banten.
Sekala Brak memiliki makna yang dalam dan sangat penting bagi bangsa
Lampung. Ia melambangkan peradaban, kebudayaan dan eksistensi Lampung
itu sendiri. Bukti tentang kemasyuran kerajaan Sekala Brak didapat dari
cerita turun temurun yang disebut warahan, warisan kebudayaan, adat
istiadat, keahlian serta benda dan situs seperti tambo dan dalung
seperti yang terdapat di Kenali, Batu Brak dan Sukau. Kata LAMPUNG sendiri berawal dari kata "Anjak Lambung" yang berarti berasal dari ketinggian (Diandra Natakembahang:2005)
ini karena para puyang Bangsa Lampung pertama kali bermukim menempati
dataran tinggi Sekala Brak di lereng Gunung Pesagi. Sebagaimana I Tshing
yang pernah mengunjungi Sekala Brak setelah kunjungannya dari Sriwijaya
dan beliau menyebut To-Langpohwang bagi penghuni negeri ini. Dalam bahasa hokkian, dialek yang dipertuturkan I Tshing, To-Langpohwang berarti Orang Atas dan seperti diketahui Pesagi dan dataran tinggi Sekala Brak adalah puncak tertinggi di Tanoh Lampung.
Ada beberapa teori tentang etimologi Sekala Brak (Diandra Natakembahang:2005), yaitu:
- Sakala Bhra yang berarti titisan dewa (terkait dengan Kerajaan Sekala Brak Hindu)
- Segara Brak yang berarti genangan air yang luas (diketahui sebagai Danau Ranau)
- Sekala Brak yang berarti tumbuhan sekala dalam jumlah yang banyak dan luas (tumbuhan ini banyak terdapat di Pesagi dan dataran tingginya)
Pendapat Sejarawan dan Catatan Tentang Sekala Brak
Tafsiran para ahli purbakala seperti Groenevelt, L.C.Westernenk dan Hellfich
di dalam menghubungkan bukti bukti memiliki pendapat yang berbeda beda
namun secara garis besar didapat benang merah kesamaan dan acuan yang
tidak diragukan di dalam menganalisa bahwa Sekala Brak merupakan cikal
bakal bangsa Lampung.
Dalam buku The History of Sumatra karya The Secretary to the President and the Council of Port Marlborough Bengkulu, William Marsdn, 1779,
diketahui asal-usul Penduduk Asli Lampung. Didalam bukunya William
Marsdn mengungkapkan "If you ask the Lampoon people of these part, where
originally comme from they answere, from the hills, and point out an
island place near the great lake whence, the oey, their forefather
emigrated…". "Apabila tuan-tuan menanyakan kepada Masyarakat Lampung
tentang dari mana mereka berasal, mereka akan menjawab dari dataran
tinggi dan menunjuk ke arah Gunung yang tinggi dan sebuah Danau yang
luas.."
Dari tulisan ini bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud danau tersebut
ialah Danau Ranau. Sedangkan Gunung yang berada dekat Danau adalah
Gunung Pesagi, Sebagaimana juga ditulis Zawawi Kamil (Menggali Babad & Sedjarah Lampung) disebutkan dalam sajak dialek Komering/Minanga: "Adat
lembaga sai ti pakaisa buasal jak Belasa Kapampang, Sajaman rik tanoh
pagaruyung pemerintah bunda kandung, Cakak di Gunung Pesagi rogoh di
Sekala Berak, Sangon kok turun temurun jak ninik puyang paija, Cambai
urai ti usung dilom adat pusako" Terjemahannya berarti "Adat Lembaga
yang digunakan ini berasal dari Belasa Kepampang (Nangka Bercabang),
Sezaman dengan ranah pagaruyung pemerintah bundo kandung, Naik di Gunung
Pesagi turun di Sekala Berak, Memang sudah turun temurun dari nenek
moyang dahulu, Sirih pinang dibawa di dalam adat pusaka, Kalau tidak
pandai tata tertib tanda tidak berbangsa".
Dalam catatan Kitab Tiongkok kuno yang disalin oleh Groenevelt
kedalam bahasa Inggris bahwa antara tahun 454 dan 464 Masehi disebutkan
kisah sebuah Kerajaan Kendali yang terletak di antara pulau Jawa dan
Kamboja. Prof. Wang Gungwu dalam majalah ilmiah Journal of Malayan Branch of the Royal Asiatic Society
dengan lebih spesifik menyebutkan bahwa pada tahun tahun 441, 455, 502,
518, 520, 560 dan 563 yang mulia Sapanalanlinda dari Negeri Kendali
mengirimkan utusannya ke Negeri Cina. Menurut L.C. Westenenk nama
Kendali ini dapat kita hubungkan dengan Kenali Ibukota Kecamatan Belalau
sekarang. Nama Sapalananlinda itu menurut kupasan dari beberapa ahli
sejarah, dikarenakan berhubung lidah bangsa Tiongkok tidak fasih
melafaskan kata Sribaginda, ini berarti Sapanalanlinda bukanlah suatu
nama.
Hal diatas membuktikan bahwa pada abad ke 3 telah berdiri Kerajaan
Sekala Brak Kuno yang belum diketahui secara pasti kapan mulai
berdirinya. Kerajaan Sekala Brak ini dihuni oleh Buay Tumi dengan Ibu Negeri Kenali dan Agama resminya adalah Hindu Bairawa.
Hal ini dibuktikan dengan adanya Batu Kepampang di Kenali yang
fungsinya adalah sebagai alat untuk mengeksekusi Pemuda dan Pemudi yang
tampan dan cantik sebagai tumbal dan persembahan untuk para Dewa.
Riwayat leluhur Bangsa Lampung/Sekala Brak dapatditelusuri melalui
warahan (cerita turun temurun),tambo (catatan pada kulit kayu),maupun
hahiwang (puisi/syair adat). Di lereng gunung Pesagi,dapat ditemukan
berbagai peninggalan lain,seperti bebatuan yang tersebar di gunung
Pesagi,tapak bekas kaki,altar/tempat eksekusi muda-mudi.
Kerajaan Sekala Brak menjalin kerjasama perdagangan antar pulau
dengan Kerajaan Kerajaan lain di Nusantara dan bahkan dengan India dan
Negeri Cina. Prof. Olivier W. Wolters dari Universitas Cornell, dalam bukunya Early Indonesian Commerce,
Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, hal. 160, mengatakan
bahwa ada dua kerajaan di Asia Tenggara yang mengembangkan perdagangan
dengan Cina pada abad 5 dan 6 yaitu Kendali di Andalas dan Ho-lo-tan di
Jawa. Dalam catatan Dinasti Liang
(502-556) disebutkan tentang letak Kerajaan Sekala Brak yang ada di
Selatan Andalas dan menghadap kearah Samudra India, Adat Istiadatnya
sama dengan Bangsa Kamboja dan Siam, Negeri ini menghasilkan pakaian yang berbunga, kapas, pinang, kapur barus dan damar.
Dari Prasasti Hujung Langit (Hara Kuning)
bertarikh 9 Margasira 919 Caka yang di temukan di Bunuk Tenuar Liwa
terpahat nama raja di daerah Lampung yang pertama kali ditemukan pada
prasasti. Prasasti ini terkait dengan Kerajaan Sekala Brak kuno yang
masih dikuasai oleh Buay Tumi. Prof. Dr. Louis-Charles Damais dalam buku Epigrafi dan Sejarah Nusantara yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional,
Jakarta, 1995, halaman 26-45, diketahui nama Raja yang mengeluarkan
prasasti ini tercantum pada baris ke-7, menurut pembacaan Prof. Damais
namanya adalah Baginda Sri Haridewa.
Lebih jauh lagi Sekala Brak Hindu adalah juga merupakan cikal bakal
Sriwijaya, dimana saat persebaran awal dimulai dari dataran tinggi
Pesagi dan Danau Ranau satu kelompok menuju keselatan menyusuri dataran
Lampung dan kelompok yang lain menuju kearah utara menuju dataran
palembang (Van Royen:1927). Bahkan seorang keturunan dari Sekala Brak Hindu adalah merupakan Pendiri dari Dinasti Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanaga yang memulai Dinasti Sriwijaya awal dengan ibu negeri Minanga Komering (Arlan Ismail:2003).
Berdasarkan Warahan dan Sejarah yang disusun di dalam Tambo, dataran
Sekala Brak yang pada awalnya dihuni oleh suku bangsa Tumi ini
mengagungkan sebuah pohon yang bernama Belasa Kepampang
atau nangka bercabang karena pohonnya memiliki dua cabang besar, yang
satunya nangka dan satunya lagi adalah sebukau yaitu sejenis kayu yang
bergetah. Keistimewaan Belasa Kepampang ini bila terkena cabang kayu
sebukau akan dapat menimbulkan penyakit koreng atau penyakit kulit
lainnya, namun jika terkena getah cabang nangka penyakit tersebut dapat
disembuhkan. Karena keanehan inilah maka Belasa Kepampang ini diagungkan
oleh suku bangsa Tumi.
Berdirinya Kepaksian Sekala Brak
Diriwayatkan di dalam Tambo empat orang Putera Raja Pagaruyung Maulana Umpu Ngegalang Paksi
tiba di Sekala Brak untuk menyebarkan agama Islam. Fase ini merupakan
bagian terpenting dari eksistensi masyarakat Lampung. Dengan kedatangan
Keempat Umpu ini maka merupakan kemunduran dari Kerajaan Sekala Brak
Kuno atau Buay Tumi yang merupakan penganut Hindu Bairawa/Animisme dan
sekaligus merupakan tonggak berdirinya Kepaksian Sekala Brak atau Paksi Pak Sekala Brak yang berasaskan Islam. Keempat Putera Maulana Umpu Ngegalang Paksi masing masing adalah:
- Umpu Bejalan Di Way Beliau adalah Pendiri Paksi Buay Bejalan Diway memerintah dan dimakamkan di Puncak, Sukarami Liwa
- Umpu Belunguh Beliau adalah Pendiri Paksi Buay Belunguh memerintah di Kenali
- Umpu Nyerupa. Beliau adalah Pendiri Paksi Buay Nyerupa memerintah di Tapak Siring
- Umpu Pernong. Beliau adalah Pendiri Paksi Buay Pernong memerintah di Batu Brak
Umpu berasal dari kata Ampu seperti yang tertulis pada batu tulis di
Pagaruyung yang bertarikh 1358 A.D. Ampu Tuan adalah sebutan Bagi anak
Raja Raja Pagaruyung Minangkabau. Setibanya di Sekala Brak keempat Umpu
bertemu dengan seorang Muli yang ikut menyertai para Umpu dia adalah Si
Bulan. Di Sekala Brak keempat Umpu tersebut mendirikan suatu
perserikatan yang dinamai Paksi Pak yang berarti Empat Serangkai atau
Empat Sepakat.
Setelah perserikatan ini cukup kuat maka suku bangsa Tumi dapat
ditaklukkan dan sejak itu berkembanglah agama Islam di Sekala Brak.
Pemimpin Buay Tumi dari Kerajaan Sekala Brak saat itu adalah seorang
wanita yang bernama Ratu Sekeghumong yang pada akhirnya dapat
ditaklukkan oleh Perserikatan Paksi Pak. Sedangkan penduduk yang belum
memeluk agama Islam melarikan diri ke Pesisir Krui dan terus menyeberang
ke pulau Jawa dan sebagian lagi ke daerah Palembang. Raja terakhir dari
Buay Tumi Sekala Brak adalah Kekuk Suik sebagai anak laki-laki dari
Ratu Sekeghumong dengan wilayah kekuasaannya yang terakhir di Pesisir
Selatan Krui -Tanjung Cina.
Dataran Sekala Brak akhirnya dikuasai oleh keempat Umpu yang disertai
Si Bulan, Maka Sekala Brak kemudian diperintah oleh keempat Umpu dengan
menggunakan nama Paksi Pak Sekala Brak. Inilah cikal bakal
Kepaksian Sekala Brak yang merupakan puyang bangsa Lampung. Kepaksian
Sekala Brak mereka bagi menjadi empat Marga atau Kebuayan yaitu:
- Umpu Bejalan Di Way memerintah daerah Kembahang dan Balik Bukit dengan Ibu Negeri Puncak, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Bejalan Di Way.
- Umpu Belunguh memerintah daerah Belalau dengan Ibu Negerinya Kenali, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Belunguh.
- Umpu Nyerupa memerintah daerah Sukau dengan Ibu Negeri Tapak Siring, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Nyerupa.
- Umpu Pernong memerintah daerah Batu Brak dengan Ibu Negeri Hanibung, daerah ini disebut dengan Paksi Buay Pernong
Sedangkan Si Bulan mendapatkan daerah Cenggiring namun kemudian Si
Bulan berangkat dari Sekala Brak menuju kearah matahari hidup. Dan
daerah pembagiannya digabungkan ke daerah Paksi Buay Pernong karena
letaknya yang berdekatan.
Suku bangsa Tumi yang lari kedaerah Pesisir Krui menempati marga marga Punggawa Lima yaitu Marga Pidada, Marga Bandar, Marga Laai dan Marga Way Sindi namun kemudian dapat ditaklukkan oleh Lemia Ralang Pantang yang datang dari daerah Danau Ranau
dengan bantuan lima orang punggawa dari Paksi Pak Sekala Brak. Dari
kelima orang punggawa inilah nama daerah ini disebut dengan Punggawa
Lima karena kelima punggawa ini hidup menetap pada daerah yang telah
ditaklukkannya.
Agar syiar agama Islam tidak mendapatkan hambatan maka pohon Belasa Kepampang itu akhirnya ditebang untuk kemudian dibuat PEPADUN. Pepadun adalah singgasana yang hanya dapat digunakan atau diduduki pada saat penobatan SAIBATIN
Raja Raja dari Paksi Pak Sekala Brak serta keturunan keturunannya.
Dengan ditebangnya pohon Belasa Kepampang ini merupakan pertanda
jatuhnya kekuasaan suku bangsa Tumi sekaligus hilangnya faham animisme
di kerajaan Sekala Brak. Sekitar awal abad ke 9 Masehi para Saibatin di
Sekala Brak menciptakan aksara dan angka tersendiri sebagai Aksara
Lampung yang dikenal dengan Had Lampung.
Ada dua makna di dalam mengartikan kata Pepadun, yaitu:
- Dimaknakan sebagai PAPADUN yang maksudnya untuk memadukan pengesahan atau pengakuan untuk mentahbiskan bahwa yang duduk diatasnya adalah Raja.
- Dimaknakan sebagai PAADUAN yang berarti tempat mengadukan suatu hal ihwal. Maka jelaslah bahwa mereka yang duduk diatasnya adalah tempat orang mengadukan suatu hal atau yang berhak memberikan keputusan.
Ini jelas bahwa fungsi Pepadun hanya diperuntukkan bagi Raja Raja
yang memerintah di Sekala Brak. Atas mufakat dari keempat Paksi maka
Pepadun tersebut dipercayakan kepada seseorang yang bernama Benyata
untuk menyimpan, serta ditunjuk sebagai bendahara Pekon Luas, Paksi Buay
Belunguh dan kepadanya diberikan gelar Raja secara turun temurun.
Manakala salah seorang dari keempat Umpu dan keturunannya memerlukan
Pepadun tersebut untuk menobatkan salah satu keturunannya maka Pepadun
itu dapat diambil atau dipinjam yang setelah digunakan harus
dikembalikan. Adanya bendahara yang dipercayakan kepada Benyata semata
mata untuk menghindari perebutan atau perselisihan di antara keturunan
keturunan Paksi Pak Sekala Brak dikemudian hari.
Pada Tahun 1939 terjadi perselisihan di antara keturunan Benyata
memperebutkan keturunan yang tertua atau yang berhak menyimpan Pepadun.
Maka atas keputusan kerapatan adat dengan persetujuan Paksi Pak Sekala
Brak dan Keresidenan, Pepadun tersebut disimpan dirumah keturunan yang lurus dari Umpu Belunguh hingga sekarang.
Perpindahan Warga Negeri Sekala Brak
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya semua suku bangsa Lampung,
baik yang berada di daerah Lampung, Palembang, dan Pantai Banten
berpengakuan berasal dari Sekala Brak. Perpindahan Warga Negeri Sekala
Brak ini bukannya sekaligus melainkan bertahap dari waktu ke waktu yang
dipengaruhi oleh beberapa peristiwa penting di dalam sejarah seperti:
- Ketika suku bangsa Tumi yang mendiami Sekala Brak terusir dan Skala Brak jatuh ketangan Paksi Pak Sekala Brak, hingga mereka menyebar kedaerah lain.
- Perselisihan dan silang sengketa dikalangan keluarga yang mengakibatkan satu fihak meninggalkan Sekala Brak untuk mencari penghidupan ditempat lain.
- Adanya bencana alam berupa gempa bumi yang memaksa sebagian Warga Negeri Sekala Brak untuk berpindah dan mencari penghidupan yang baru.
- Adanya hubungan yang erat antara Kesultanan Banten dan Kebuayan Belunguh -Kenali, dimana dengan sengaja ditinggalkan disepanjang jalan beberapa orang suami istri untuk meluaskan daerah dan memudahkan perjalanan pulang pergi ke Banten. Sehingga berabad kemudian ditempat itu berdiri Pekon Pekon bahkan banyak yang sudah menjadi Marga. Hubungan inilah yang merupakan asal dari Cikoneng Pak Pekon di Pantai Banten.
- Perpindahan juga terjadi disebabkan peraturan adat yang mengikat yang menetapkan semua hak hak adat jatuh atau diwarisi oleh Putera Tertua, sehingga anak anak yang muda dipastikan tidak sepenuhnya memiliki hak apalagi kedudukan tertentu di dalam adat. Dengan cara memilih untuk pindah kedaerah yang baru maka dapat dipastikan mereka memiliki kedudukan dan tingkatan di dalam adat yang mereka bentuk sendiri ditempat yang baru.
Perpindahan penduduk dari Sekala Brak ini sebagian mengikuti aliran
Way Komring yang dikepalai oleh Pangeran Tongkok Podang, untuk
seterusnya beranak pinak dan mendirikan Pekon atau Negeri. Kesatuan dari
Pekon Pekon ini kemudian menjadi Marga Atau Buay yang diperintah oleh
seorang Raja atau Saibatin di daerah Komring –Palembang. Sebagian
kelompok lagi pergi kearah Muara Dua, kemudian menuju keselatan
menyusuri aliran Way Umpu hingga sampai di Bumi Agung. Kelompok ini
terus berkembang dan kemudian dikenal dengan Lampung Daya atau Lampung
Komring yang menempati daerah Marta Pura dan Muara Dua di Komring Ulu,
serta daerah Kayu Agung dan Tanjung Raja atau Komring Ilir.
Kelompok yang lain yang dipimpin oleh Puyang Rakian dan Puyang Nayan
Sakti menuju ke Pesisir Krui dan menempati Pesisir Krui mulai dari
Bandar Agung di selatan pesisir hingga Pugung Tampak dan Pulau Pisang di
utara. Kelompok yang dipimpin oleh Puyang Naga Berisang dan Ratu
Piekulun Siba menyusuri Way Kanan menuju ke Pakuan Ratu, Blambangan Umpu
dan Sungkai Bunga Mayang di barat laut Lampung untuk meneruskan jurai
dan keturunannya hingga meliputi sebagian utara dataran Lampung.
Adipati Raja Ngandum memimpin kelompok yang menuju ke Pesisir Selatan
Lampung Mengikuti aliran Way Semangka hingga kehilirnnya di Kubang
Brak. Dari Kubang Brak sebagian rombongan ini terus menuju kearah Kota
Agung, Talang Padang, Way Lima hingga ke selatan Lampung di Teluk
Betung, Kalianda dan Labuhan Maringgai. Daerah Pantai Banten yang
merupakan daerah Cikoneng Pak Pekon adalah wilayah yang diberikan
sebagai hadiah kepada Umpu Junjungan Sakti dari Kenali -Buay Belunguh
setelah menumpas kerusuhan yang diakibatkan oleh Si Buyuh.
Sebagian lagi yang dikepalai oleh Menang Pemuka yang bergelar Ratu Di
Puncak menyusuri sepanjang Way Rarem, Way Tulang Bawang dan Way
Sekampung. Menang Pemuka atau Ratu Di Puncak memiliki tiga orang istri,
istri yang pertama. berputera Nunyai, dari istri kedua memiliki dua
orang anak yaitu seorang putera yang diberi nama Unyi dan seorang puteri
yang bernama Nuban, sedangkan dari istri ketiga yang berasal dari
Minangkabau memiliki seorang putera yang bernama Bettan Subing. Jurai
Ratu Di Puncak inilah yang menurunkan orang Abung. Sedangkan Tulang
Bawang adalah keturunan dari Indarwati yang Bergelar Putri Si Buay Bulan
yang pada awalnya bertahta di Cenggiring Sekala Brak.
Ketetapan Adat Tentang Pepadun dan Hirarki Adat dalam Kepaksian
Seperti telah diterangkan terdahulu Pepadun dibuat dari Belasa
Kepampang yang dibuat sedemikian rupa menjadi singgasana tempat
bertahtanya Raja yang dinobatkan di Paksi Pak Sekala Brak. Ketetapan
adat bahwa hanya keturunan yang lurus dan tersulung dari Paksi Pak
Sekala Brak yang berhak untuk dapat duduk diatas Pepadun itu dalam gawi
penobatan Raja sebagai Saibatin. Dengan demikian adat Pepadun seperti
yang terdapat di daerah Lampung lainnya tidak seperti daerah asalnya di
Sekala Brak.
Pertimbangan untuk menaikkan atau menurunkan pangkat adat seseorang
dilakukan dalam permufakatan sidang adat dengan memperhatikan kesetiaan
seseorang kepada garis dan aturan adat dinilai telah memenuhi syarat dan
mematuhi garis, ketentuan dan aturan adat, untuk seterusnya
keturunannya dapat dipertimbangkan untuk dinaikkan setingkat pangkat
adatnya. Namun jika yang terjadi sebaliknya kemungkinan untuk
keturunannya pangkat adat itu tetap atau bahkan diturunkan.
Pertimbangan yang kedua untuk menaikkan pangkat adat seseorang adalah
dengan melihat jumlah bawahan dari seseorang yang akan dinaikkan
pangkat adatnya. Seseorang yang yang menyandang pangkat adat atau
Gelaran yang disebut ADOK harus memiliki bawahan yang berbanding dengan
kedudukan pangkat adatnya.
Tingkatan tertinggi dalam adat adalah Saibatin Suntan. Untuk dapat
mencapai Gelaran atau Adok dan kedudukan atau pangkat adat ditentukan
oleh berapa banyak bawahan atau pengikut dari seseorang. Hirarki Adat
dalam Kepaksian Sekala Brak dari yang tertinggi sampai yang terendah
adalah:
- Suntan
- Raja
- Batin
- Radin
- Minak
- Kemas
- Mas
Petutughan atau panggilan dalam Masyarakat Adat Lampung adalah
berdasarkan hirarki seseorang di dalam adat. Untuk panggilan kakak
adalah Pun dan Ghatu untuk Suntan, Atin untuk Raja, Udo Dang dan Cik Wo
untuk Batin, Udo dan Wo untuk Radin, Udo Ngah dan Cik Ngah untuk Minak,
Abang dan Ngah untuk Mas serta kakak untuk Kemas. Sedangkan panggilan
untuk orang tua adalah Akan dan Ina Dalom untuk Suntan, Aki dan Ina
Batin untuk Raja, Ayah dan Ina Batin untuk Batin sedangkan untuk Radin,
Mas dan Kimas menggunakan panggilan Mak dan Bak. Panggilan kepada
setingkat panggilan orang tua seperti paman dan bibi adalah; Pak Dalom
dan Ina Dalom untuk Suntan, Pak Batin dan Ina Batin untuk Raja, Tuan
Tengah- dan Cik Tengah untuk Batin, Pak Balak dan Ina Balak untuk Radin,
Pak Ngah dan Mak Ngah untuk Minak, Pak Lunik dan Ina Lunik untuk Mas
serta Pak Cik dan Mak Cik untuk Kemas. Panggilan untuk kakek-nenek
adalah Tamong Dalom dan Kajong Dalom untuk setingkat Suntan, Tamong
Batin dan Kajong Batin untuk setingkat Raja dan Batin sedangkan untuk
Radin, Minak, Mas dan Kemas menggunakan panggilan Tamong dan Kajong
saja.
Gelaran atau Adok -DALOM, SUNTAN, RAJA, RATU, panggilan seperti PUN dan SAIBATIN serta nama LAMBAN GEDUNG
hanya diperuntukkan bagi Saibatin dan keluarganya dan dilarang dipakai
oleh orang lain. Dalam garis dan peraturan adat tidak terdapat
kemungkinan untuk membeli Pangkat Adat, baik dengan Cakak Pepadun atau
dengan cara cara lainnya terutama di dataran Skala Brak sebagai warisan
resmi dari kerajaan Paksi Pak Sekala Brak.
Tentang kepangkatan seseorang dalam adat tidaklah dapat dinilai dari
materi dan kekuatan yang dapat menaikkan kedudukan seseorang di dalam
lingkungan adat, melainkan ditentukan oleh asal, akhlak dan banyaknya
pengikut seseorang dalam lingkungan adat. Bilamana ketiganya terpenuhi
maka kedudukan seseorang di dalam adat tidak perlu dibeli dengan harta
benda atau diminta dan akan dianugerahkan dengan sendirinya.
Kesempatan untuk menaikkan kedudukan seseorang di dalam adat dapat
pula dilaksanakan pada acara Nayuh atau Pernikahan, Khitanan dan lain
lain. Pengumuman untuk Kenaikan Pangkat ini, dilaksanakan dengan upacara
yang lazim menurut adat di antara khalayak dengan penuh khidmat
diiringi alunan bunyi Canang disertai bahasa Perwatin yang halus dan
memiliki arti yang dalam.
Bahasa Perwatin adalah ragam bahasa yang teratur, tersusun
yang berkaitan dengan indah dan senantiasa memiliki makna yang anggun,
ragam bahasa ini lazim digunakan dilingkungan adat dan terhadap orang
yang dituakan atau dihormati. Sedangkan Bahasa Merwatin adalah
ragam bahasa pasaran yang biasa digunakan sehari hari yang dalam
perkembangannya banyak dipengaruhi oleh bahasa bahasa lain.
Prosesi kenaikan seseorang di dalam adat dihadiri oleh Saibatin
Suntan atau Perwakilan yang ditunjuk beserta para Saibatin dan Pembesar
lainnya. Dari rangkaian kata kata dalam bentuk syair dapat disimak
ungkapan “Canang Sai Pungguk Ghayu Ya Mibogh Di Dunia Sapa Ngeliak Ya Nigham Sapa Nengis Ya Hila”
Terjemahannya bebasnya bermakna “Bunyi Gong Laksana Suara Pungguk
Yang Syahdu Merayu, Gemanya Terdengar Keseluruh Dunia, Siapa Yang
Melihat Ia Terkesima Dan Rindu, Siapa Yang Mendengarnya Ia Akan
Terharu”. Ini bermakna bahwa pengumuman kenaikan kedudukan seseorang di
dalam adat telah diumumkan secara resmi.
Tentang adanya penggunaan Pepadun di daerah Lampung lainnya dimana
kedudukan di dalam adat itu dapat dibeli atau menaikkan kedudukan di
dalam adat dengan mengadakan Bimbang Besar. Cakak Pepadun di wilayah ini
dapat dianalisa awal pelaksanaannya sebagai berikut –Warga Negeri yang
memiliki hubungan genealogis dari salah satu Paksi Pak Sekala Brak dan
beberapa kelompok pendatang dari daerah lain yang menempati wilayah yang
baru ini tentu jauh dari pengaruh Saibatin serta Garis, Peraturan, dan
Ketentuan adat yang berlaku dan mengikat.
Ditempat yang baru ini tentu dengan sendirinya harus ada Pemimpin dan
Panutan yang ditaati oleh kelompok kelompok ditempat baru itu untuk
membentuk suatu komunitas baru dan orang yang dipilih sebagai Pimpinan
Komunitas ini dipastikan orang yang meiliki kekayaan dan kekuatan untuk
dapat melindungi komunitasnya. Karenanya pada daerah Lampung tertentu
dapat saja seseorang yang tidak memiliki trah bangsawan mengangkat
dirinya menjadi pemimpin atau kepala adat dengan kompensasi tertentu.
Cara cara pengangkatan diri ini mengambil contoh penobatan Saibatin
Raja dari daerah asalnya Paksi Pak Sekala Brak, pada masa berikutnya
peristiwa Cakak Pepadun telah menjadi kebiasaan dan diteruskan sampai
sekarang. Di wilayah baru ini rupanya tidak ada larangan tentang Pangkat
Adat dengan melihat kenyataan yang ada bahwa Gelaran Gelaran atau Adok
yang Sakral dan dipegang teguh di Paksi Pak Sekala Brak ternyata bahkan
menjadi suatu gelaran umum di daerah ini.
Setelah soal naik Pepadun dengan tidak ada dasar ini menjadi suatu
perlombaan yang hebat dikalangan khalayak, kesempatan ini digunakan oleh
pasa penyimbang untuk mencari kekayaan dan setelah itu meningkat
sedemikian rupa hingga mendatangkan kerugian yang besar bagi khalayak di
dalam mengadakan Bimbang Besar. Keadaan ini dimanfaatkan oleh
Pemerintah Belanda dengan memfasilitasi tindakan tindakan kearah ini.
Pada zaman imperialis hal ini dimanfaatkan oleh kaum imperialis
dengan memecah belah Bangsa Lampung sehingga perbedaan yang ada
digunakan sebagai umpan untuk memperuncing pertentangan di antara Bangsa
Lampung sendiri terutama di dalam Adat. Belanda menggantikan kedudukan
Raja dengan kedudukan sebagai Pesirah. Bentuk pemerintahan yang tadinya
dijalankan dalam tatanan kemurnian dan keluhuran Adat perlahan diarahkan
untuk mengikuti kepentingan Belanda.
Pembagian Wilayah Lampung Berdasarkan Way
Masyarakat Lampung hidup teratur dengan berpegang kepada norma dan
adat perniti baik yang tertulis dalam huruf Lampung Kuno maupun secara
lisan secara turun temurun. Kehidupan kemasyarakatan diatur dengan
sistem kekerabatan yang bersifat Genealogis Patrilineal dimana
pemerintahan dilakukan secara adat terutama yang mengatur sistem mata
pencaharian hidup, sistem kekerabatan, kehidupan sosial dan budaya.
Secara Harfiah Buway (Bu-Way) berarti pemilik air atau pemilik daerah kekuasaan berdasarkan daerah aliran air atau sungai (Diandra Natakembahang:2005).
Pembagian daerah dan wilayah berdasarkan sungai sungai atau way yang
ada di Lampung sehingga menjadi beberapa Marga Atau Buway, pembagian ini
dimaksudkan agar tidak terjadi perselisihan antar marga atau kebuayan.
Pembagian wilayah ini diatur oleh Umpu Bejalan Di Way.
A. Wilayah Kekuasaan Kepaksian inti Paksi Pak Sekala Brak:
- Way Selalau
- Way Belunguh
- Way Kenali
- Way Kamal
- Way Kandang Besi
- Way Semuong
- Way Sukau
- Way Ranau
- Way Liwa
- Way Krui
- Way Semaka
- Way Tutung
- Way Jelai
- Way Benawang
- Way Ngarip
- Way Wonosobo
- Way Ilahan
- Way Kawor Gading
- Way Haru
- Way Tanjung Kejang
- Way Tanjung Setia
B. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Melinting:
- Way Meringgai
- Way Kalianda
- Way Harong
- Way Palas
- Way Jabung
- Way Tulung Pasik
- Way Jepara
- Way Kambas
- Way Ketapang
- Way Limau
- Way Badak
- Way Pertiwi
- Way Putih Doh
- Way Kedondong
- Way Bandar Pasir
- Way Punduh
- Way Pidada
- Way Batu Regak
- Way Berak
- Way Kelumbayan
- Way Peniangan
C. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Pubiyan Telu Suku:
- Way Pubiyan
- Way Tebu
- Way Ratai
- Way Seputih
- Way Balau
- Way Penindingan
- Way Semah
- Way Salak Berak
- Way Kupang Teba
- Way Bulok
- Way Latayan
- Way Waya
- Way Samang
- Way Layap
- Way Pengubuan
- Way Sungi Sengok
- Way Peraduan
- Way Batu Betangkup
- Way Selom
- Way Heni.
- Way Naningan
D. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Sungkay Bunga Mayang:
- Way Sungkay
- Way Malinai
- Way Tapus
- Way Tapus
- Way Ulok Buntok
- Way Tapal Badak
- Way Kujau
- Way Surang
- Way Kistang
- Way Raman Gunung
- Way Rantau Tijang
- Way Tulung Selasih
- Way Tulung Biuk
- Way Tulung Maus
- Way Tulung Cercah
- Way Tulung Hinduk
- Way Tulung Mengundang
- Way Kubu Hitu
- Way Pengacaran
- Way Cercah
- Way Pematang Hening
E. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Buay Lima Way Kanan:
- Way Umpu
- Way Besay
- Way Jelabat
- Way Sunsang
- Way Putih Kanan
- Way Pengubuan Kanan
- Way Giham
- Way Petay
- Way Hitam
- Way Dingin
- Way Napalan
- Way Gilas
- Way Bujuk
- Way Tuba
- Way Baru
- Way Tenong
- Way Kistang
- Way Panting Kelikik
- Way Kabau
- Way Kelom
- Way Peti
F. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Abung Siwo Mego:
- Way Abung
- Way Melan
- Way Sesau
- Way Kunyaian
- Way Sabu
- Way Kulur
- Way Kumpa
- Way Bangik
- Way Babak
- Way Tulung Balak
- Way Galing
- Way Cepus
- Way Muara Toping
- Way Terusan Nunyai
- Way Pematang Hening
- Way Banyu Urip
- Way Candi Sungi
- Way Tulung Biuk
- Way Tulung Pius
- Way Umban
- Way Guring
G. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Mego Pak Tulang Bawang:
- Way Rarem
- Way Gedong Aji
- Way Penumangan
- Way Panaragan
- Way Kibang
- Way Ujung Gunung
- Way Nunyik
- Way Lebuh Dalom
- Way Gunung Tukang
- Way Pagar Dewa
- Way Rawa Panjang
- Way Rawa Cokor
- Way Tulung Belida
- Way Karta
- Way Gunung Katun
- Way Malai
- Way Krisi
H. Wilayah Kekuasaan Penyimbang Punggawa Komering:
- Way Komering
- Beserta anak sungainya
Aksara, Bahasa dan Dialek Lampung
Artikel Selengkap di Bahasa Lampung
Aksara Lampung yang disebut dengan Had Lampung adalah bentuk tulisan
yang memiliki hubungan dengan aksara Pallawa dari India Selatan. Had
Lampung diciptakan oleh Para Saibatin di Paksi Pak Sekala Brak pada awal
Abad Ke 9. Macam tulisannya fonetik berjenis suku kata yang merupakan
huruf hidup seperti dalam Huruf Arab dengan menggunakan tanda tanda
fathah di baris atas dan tanda tanda kasrah di baris bawah tapi tidak
menggunakan tanda dammah di baris depan melainkan menggunakan tanda di
belakang, masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri.
Artinya Had Lampung dipengaruhi dua unsur yaitu Aksara Pallawa dan
Huruf Arab. Had Lampung memiliki bentuk kekerabatan dengan Aksara
Rencong Aceh, Aksara Rejang Bengkulu dan Aksara Bugis. Had Lampung
terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan gugus
konsonan, juga terdapat lambing, angka dan tanda baca. Had Lampung
disebut dengan istilah KaGaNga ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan
dengan Huruf Induk berjumlah 20 buah.
Dr Van Royen mengklasifikasikan Bahasa Lampung dalam Dua Sub Dialek
yaitu Dialek Belalau atau Dialek Api, yang dipertuturkan oleh sebagian
besar Etnis Lampung yang masih memegang teguh Garis Adat dan Aturan
Saibatin dan Dialek Nyow, yang dipertuturkan oleh orang Abung dan Tulang
Bawang yang mengenal kenaikan Pangkat Adat dengan Kompensasi Tertentu
yang berkembang setelah Seba yang dilakukan oleh Orang Abung ke Banten.
A. Dialek Belalau (Dialek Api), terbagi menjadi:
- Bahasa Lampung Logat Belalau dengan tambahan spesifikasi Logat Kembahang dan Logat Sukau, Dipertuturkan oleh Etnis Lampung yang berdomisili di Kabupaten Lampung Barat yaitu Kecamatan Balik Bukit, Batu Brak, Belalau, Suoh, Sukau, Ranau, Sekincau, Gedung Surian, Way Tenong dan Sumber Jaya. Kabupaten Lampung Selatan di Kecamatan Kalianda, Penengahan, Palas, Pedada, Katibung, Way Lima, Padangcermin, Kedondong dan Gedongtataan. Kabupaten Tanggamus di Kecamatan Kotaagung, Semaka, Talangpadang, Pagelaran, Pardasuka, Hulu Semuong, Cukuhbalak dan Pulau Panggung. Kota Bandar Lampung di Teluk Betung Barat, Teluk Betung Selatan, Teluk Betung Utara, Panjang, Kemiling dan Raja Basa. Banten di Cikoneng, Bojong, Salatuhur dan Tegal dalam Kecamatan Anyer, Serang.
- Bahasa Lampung Logat Krui dipertuturkan oleh Etnis Lampung di Pesisir Barat Lampung Barat yaitu Kecamatan Pesisir Tengah, Pesisir Utara, Pesisir Selatan, Karya Penggawa, Lemong, Bengkunat dan Ngaras.
- Bahasa Lampung Logat Melinting dipertuturkan Masyarakat Etnis Lampung yang bertempat tinggal di Kabupaten Lampung Timur di Kecamatan Labuhan Maringgai, Kecamatan Jabung dan Kecamatan Way Jepara.
- Bahasa Lampung Logat Way Kanan dipertuturkan Masyarakat Etnis Lampung yang bertempat tinggal di Kabupaten Way Kanan yakni di Kecamatan Blambangan Umpu, Baradatu, Bahuga dan Pakuan Ratu.
- Bahasa Lampung Logat Pubian dipertuturkan oleh Etnis Lampung yang berdomosili di Kabupaten Lampung Selatan yaitu di Natar, Gedung Tataan dan Tegineneng. Lampung Tengah di Kecamatan Pubian dan Kecamatan Padangratu. Kota Bandar Lampung Kecamatan Kedaton, Sukarame dan Tanjung Karang Barat.
- Bahasa Lampung Logat Sungkay dipertuturkan Etnis Lampung yang Berdomisili di Kabupaten Lampung Utara meliputi Kecamatan Sungkay Selatan, Sungkai Utara dan Sungkay Jaya.
- Bahasa Lampung Logat Jelema Daya atau Logat Komring dipertuturkan oleh Masyarakat Etnis Lampung yang berada di Muara Dua, Martapura, Komring, Tanjung Raja dan Kayuagung di Propinsi Sumatera Selatan.
B. Dialek Abung (Dialek Nyow), terbagi menjadi:
- Bahasa Lampung Logat Abung Dipertuturkan Etnis Lampung yang yang berdomisili di Kabupaten Lampung Utara meliputi Kecamatan Kotabumi, Abung Barat, Abung Timur dan Abung Selatan. Lampung Tengah di Kecamatan Gunung Sugih, Punggur, Terbanggi Besar, Seputih Raman, Seputih Banyak, Seputih Mataram dan Rumbia. Lampung Timur di Kecamatan Sukadana, Metro Kibang, Batanghari, Sekampung dan Way Jepara. Kota Metro di Kecamatan Metro Raya dan Bantul. Kota Bandar Lampung di Gedongmeneng dan Labuhan Ratu.
- Bahasa Lampung Logat Menggala Dipertuturkan Masyarakat Etnis Lampung yang bertempat tinggal di Kabupaten Tulang Bawang meliputi Kecamatan Menggala, Tulang Bawang Udik, Tulang Bawang Tengah, Gunung Terang dan Gedung Aji.
Falsafah dan Pedoman Hidup Ulun Lampung
Tandani Ulun Lampung
Wat Piil-Pusanggiri Mulia Hina Sehitung Wat Liom Rega Diri Juluk-Adok
Ram Pegung, Nemui-Nyimah Muari Nengah-Nyampur Mak Ngungkung,
Sakai-Sambayan Gawi.
Falsafah Hidup Ulun Lampung
tersebut diilustrasikan dengan lima bunga penghias Sigor pada lambang
Propinsi Lampung. Menurut kitab Kuntara Raja Niti, Ulun Lampung haruslah
memiliki Lima Falsafah Hidup:
- Piil-Pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri),
- Juluk-Adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya),
- Nemui-Nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi, selalu mempererat persaudaraan serta ramah menerima tamu),
- Nengah-Nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis),
- Sakai-Sambayan (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).
Tujuh Pedoman Hidup Ulun Lampung:
- Berani menghadapi tantangan: mak nyerai ki mak karai, mak nyedor ki mak bador.
- Teguh pendirian: ratong banjir mak kisir, ratong barak mak kirak.
- Tekun dalam meraih cita-cita: asal mak lesa tilah ya pegai, asal mak jera tilah ya kelai.
- Memahami anggota masyarakat yang kehendaknya tidak sama: pak huma pak sapu, pak jelma pak semapu, sepuluh pandai sebelas ngulih-ulih, sepuluh tawai sebelas milih-pilih.
- Hasil yang kita peroleh tergantung usaha yang kita lakukan: wat andah wat padah, repa ulah riya ulih.
- Mengutamakan persatuan dan kekompakan: dang langkang dang nyapang, mari pekon mak ranggang, dang pungah dang lucah, mari pekon mak belah.
- Arif dan bijaksana dalam memecahkan masalah: wayni dang rubok, iwani dapok.
Sekilas Tentang Seni Dan Tradisi
Bangsa Lampung memiliki ragam kesenian yang kaya akan keragaman, keindahan dan keanggunan budaya. Tarian yang dibawakan oleh Muli Meghanai
Lampung memiliki ciri khas gerak serta langgam tersendiri. Tarian
klasik yang diselenggarakan pada saat upacara kerajaan adalah suatu
bentuk tarian yang dikenal dengan nama Tarakot Kataki atau Lalayang Kasiwan
yang masing masing diperagakan oleh dua belas Meghanai secara bersama
sama sebagian memegang kipas dan sebagian lagi tidak memegang kipas.
Ragam tarian lain adalah Tari Tanggai yang ditampilkan oleh satu,
dua, atau empat orang Muli yang masing masing memegang kipas. Didalam
membawakan Tari Tanggai para Muli ini menggunakan aksesoris berupa kuku
kuku panjang yang terbuat dari perak yang dipasang diujung jari para
penari. Tari tersebut diiringi oleh irama Gamulan/Kulintang dengan ditingkahi para Meghanai yang membawakan bait tertentu yang dinamakan Ngadidang.
Dalam sepuluh hari di dalam bulan Syawal diadakan Sekuraan
yaitu Festival Topeng yang diselenggarakan sebagai ungkapan suka cita
setelah sebulan penuh berpuasa dan mendapatkan Hari Kemenangan. Sekuraan
ini diadakan dibeberapa Pekon di Sekala Brak dengan berbagai suguhan
Kesenian seperti Silek, Muwayak, Hadra, dan Nyambai oleh para Sekura.
Ada dua tipe Sekura yaitu Sekura Helau yang melambangkan kebajikan dan kebijaksanaan dan Sekura Kamak
yang melambangkan Ketamakan dan Keangkaramurkaan. Sekura Helau
mengenakan kostum yang indah dan bagus seperti bawahan yang mengenakan
kain yang bermotifkan Tapis dan atasan yang mengenakan Kain Panjang,
sedangkan Sekura Kamak mengenakan Topeng yang menyeramkan dan kostum
yang kebanyakan berwarna hitam hitam.
Setiap sehari sebelum Idul Fitri dan Idul Adha ada tradisi Ngelemang pada Paksi Paksi di Sekala Brak terutama di Paksi Buay Bejalan Di Way, ada beberapa jenis Lemang
seperti Lemang Siwok yang terbuat dari ketan, Lemang Bungking yang
terbuat dari ketan–pisang, dan Lemang Ceghughut yang terbuat dari
ketan–gula merah. Tradisi ini sebenarnya adalah tradisi lanjutan seperti
yang berlaku di daerah Minangkabau.
Bangsa Lampung dikenal memiliki kain tenun yang indah dan anggun yang dikenal dengan Kain Tapis.
Tapis adalah kain yang agung dan sakral yang pada mulanya hanya
dikenakan oleh Para Saibatin dan keluarganya saja terutama dikenakan
dalam Gawi dan Upacara adat. Namun dalam perkembangannya Kain Tapis
telah diproduksi secara massal sehingga setiap khalayak dapat
berkesempatan untuk memiliki dan mengenakannya.
Saat ini Kain Tapis telah dikomersialkan dan memiliki nilai ekonomi
yang tinggi dan telah melanglangbuana hingga ke mancanegara. Kini Kain
Tapis telah mengalami perkembangannya hingga semakin variatif dengan
berbagai macam bentuk dan telah merambah dunia fasion seperti pakaian
dan aksesoris aksesoris yang bermotifkan Tapis.
0 komentar:
Posting Komentar