Lambang Praja Mangkunegaran
Wilayah Mangkunegaran 1830 (warna merah muda berada sebelah tenggara)
Praja atau Kadipaten Mangkunagaran (atau Mangkunegaran) adalah Kadipaten yang pernah berkuasa di wilayah Karesidenan Surakarta dan sekitarnya sejak 1757 sampai dengan 1946. Penguasanya adalah cabang dari wangsa Mataram, disebut wangsa Mangkunegaran, yang dimulai dari Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said).
Pendirian dan wilayah
Satuan politik ini dibentuk berdasarkan Perjanjian Salatiga yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga sebagai solusi atas perlawanan yang dilakukan Raden Mas Said terhadap Sunan Pakubuwana III, penguasa Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang telah terpecah akibat Perjanjian Giyanti, dua tahun sebelumnya.
Berdasarkan Perjanjian Salatiga, Raden Mas Said diberi hak untuk
menguasai wilayah timur dan selatan sisa wilayah Mataram sebelah timur.
Jumlah wilayah ini secara relatif adalah 49% wilayah Kasunanan Surakarta
setelah tahun 1830, yaitu pada saatberakhirnya Perang Diponegoro atau Perang Jawa. Wilayah itu kini mencakup bagian utara Kota Surakarta (Kecamatan Banjarsari, Surakarta), seluruh wilayah Kabupaten Karanganyar, seluruh wilayah Kabupaten Wonogiri, dan sebagian dari wilayah Kecamatan Ngawen dan Semin di Kabupaten Gunung Kidul.
Kekuasaan politik
Secara tradisional penguasanya disebut Mangkunagara (baca: 'Mangkunagoro'). Raden Mas Said merupakan Mangkunagara I. Penguasa Mangkunegaran berkedudukan di Pura Mangkunegaran,
yang terletak di Kota Surakarta. Penguasa Mangkunegaran, berdasarkan
perjanjian pembentukannya, berhak menyandang gelar Pangeran (secara
formal disebut Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara Senopati Ing Ayudha Sudibyaningprang)
tetapi tidak berhak menyandang gelar Sunan atau pun Sultan.
Mangkunegaran merupakan Kadipaten, sehingga posisinya lebih rendah
daripada Kasunanan. Status yang berbeda ini tercermin dalam beberapa
tradisi yang masih berlaku hingga sekarang, seperti jumlah penari bedaya yang tujuh, bukan sembilan seperti pada Kasunanan Surakarta.
Namun demikian, berbeda dari Kadipaten pada masa-masa sebelumnya,
Mangkunegaran memiliki otonomi yang sangat luas karena berhak memiliki
tentara sendiri yang independen dari Kasunanan.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Mangkunegara VIII (penguasa pada waktu
itu) menyatakan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada
tahun 1946, setelah terjadi Revolusi sosial di Surakarta
(1945-1946). Sejak saat itu Mangkunegaran kehilangan kedaulatannya
sebagai satuan politik. Walaupun demikian Pura Mangkunegaran dan
Mangkunegara masih tetap menjalankan fungsinya sebagai penjaga budaya.
Saat ini yang memegang kekuasaan adalah Mangkunagara IX, putra kedua
dari Mangkunegara VIII.
Para penguasa Mangkunegaran tidak dimakamkan di Astana Imogiri melainkan di Astana Mangadeg dan Astana Girilayu, yang terletak di lereng Gunung Lawu. Perkecualian adalah lokasi makam dari Mangkunegara VI, yang dimakamkan di tempat tersendiri.
Warna resmi Mangkunagaran adalah hijau dan kuning emas serta dijuluki
"pareanom" ('padi muda'), yang dapat dilihat pada lambang, bendera,
pataka, serta samir yang dikenakan abdi dalem atau kerabat istana.
Administrasi pemerintahan
Pada awal pendiriannya, struktur pemerintahan masih sederhana, mengingat lahan yang dikuasai berstatus "tanah lungguh" (apanage) dari Kasunanan Surakarta.
Ada dua jabatan Pepatih Dalem, masing-masing bertanggung jawab untuk
urusan istana dan pemerintahan wilayah. Selain itu, Mangkunagara (MN) I
sebagai Adipati Anom membawahi sejumlah Tumenggung (komandan satuan
prajurit).
Di masa pemerintahan MN II, situasi politik berubah. Status kepemilikan tanah beralih dari tanah lungguh menjadi tanah vazal yang bersifat diwariskan turun-temurun. Hal ini memungkinkan otonomi yang lebih tinggi dalam pengelolaan wilayah. Perluasan wilayah juga terjadi sebanyak 1500 karya.
Perubahan ini membuat diubahnya struktur jabatan langsung di bawah
Adipati Anom dari dua menjadi tiga, dengan sebutan masing-masing adalah
Patih Jero (Menteri utama urusan domestik istana), Patih Jaba (Menteri
Utama urusan wilayah), dan Kapiten Ajudan (Menteri urusan kemiliteran).
Semenjak pemerintah MN III, struktur pemerintahan menjadi tetap dan
relatif lebih kompleks. Raja (Adipati Anom) semakin mandiri dalam
hubungan dengan Kasunanan. Wilayah praja dibagi menjadi tiga Kabupaten
Anom (Karanganyar, Wanagiri, dan Malangjiwan) yang masing-masing
dipimpin oleh seorang Wedana Gunung.
Ketiga Wedana Gunung merupakan bawahan seorang Patih. Patih bertanggung
jawab kepada Adipati Anom. Di bawah setiap Kabupaten Anom terdapat
sejumlah Panewuh.
Penyatuan administrasi bulan Agustus 1873 membuat pemerintahan otonom
Mangkunegaran harus terintegrasi dengan pemerintahan residensial dari
pemerintah Hindia-Belanda. Wilayah Mangkunegaran dibagi menjadi empat
Kabupaten Anom (Kota Mangkunegaran, Karanganyar, Wonogiri, dan
Baturetno) yang masing-masing membawahi desa/kampung
0 komentar:
Posting Komentar