Wilayah Kesultanan Berau, Kalimantan Timur
Kesultanan Berau adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Kabupaten Berau sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-14 dengan raja pertama yang memerintah bernama Baddit Dipattung dengan gelar Aji Raden Suryanata Kesuma dan istrinya bernama Baddit Kurindan dengan gelar Aji Permaisuri. Pusat pemerintahannya berada di Sungai Lati, Kecamatan Gunung Tabur. Sejarahnya kemudian pada keturunan ke-13, Kesultanan Berau terpisah menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung.Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah ini termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8
Raja pertama
Aji Raden Suryanata Kesuma, dikenal sebagai seorang raja yang bijak dalam menjalankan pemerintahannya selama 32 tahun sekitar tahun 1400 hingga 1432 ada pula yang menyatakan dari 1377 sampai 1426
Dibawah pemerintahannya, Baddit Dipattung berhasil membawa rakyatnya
sejahtera serta menyatukan beberapa wilayah pemukiman yang dikenal oleh
masyarakat Berau dengan sebutan "Banua", di antaranya Banua Merancang, Banua Pantai, Banua Kuran, Banua Rantau Buyut dan Banua Rantau Sewakung.
Dalam catatan sejarah, Aji Suryanata Kesuma dikenal sangat berpengaruh
dan berwibawa, sehingga dia adalah figur raja yang disegani kawan dan
ditakuti lawan. Nama Raja Berau yang pertama ini, kemudian diabadikan
menjadi nama Korem 091/Aji Surya Natakesuma (ASN). Kesultanan Brunei menyebut Berau dengan nama Kuran.
Hubungan Kesultanan Berau dan Kesultanan Banjar
Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis oleh Empu Prapañca tahun 1365 tidak menyebutkan nama Berau sebagai salah satu negeri yang telah ditaklukan Kerajaan Majapahit oleh Gajah Mada,
kemungkinan Berau masih memakai nama kuno yang lainnya yaitu
Sawaku/Sawakung (sebuah negeri lama di Kabupaten Berau). Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis pada tahun 1663, menyebutkan hubungan Berau dengan Banjar pada masa Maharaja Suryanata, penguasa Banjar kuno abad ke-14 (waktu itu disebut Negara Dipa). Menurut Hikayat Banjar, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata,
pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (sebutan Banjar
kuno pada masa Hindu), orang besar (penguasa) Berau sudah menjadi
taklukannya, di sini hanya disebutkan orang besar, jadi bukan disebut
raja seperti sebutan Raja Sambas dan Raja Sukadana. Berau dalam Hikayat
Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah yang di atas angin (= kerajaan di sebelah timur atau utara) yang telah membayar upeti. Hubungan Berau dengan Kesultanan Banjar di masa Sultan Suryanullah/Sultan Suriansyah/Pangeran Samudera (1520-1546) disebutkan dalam Hikayat Banjar, waktu itu Berau
salah satu negeri yang turut mengirim pasukan membantu Pangeran
Samudera/Sultan Suriansyah dan juga salah satu negeri yang mengirim
upeti.
Menurut Hikayat Banjar, pada pertengahan abad ke-17 Sultan Makassar
(Gowa-Tallo) meminjam Pasir serta Kutai, Berau dan Karasikan (Kaltara)
sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum
Panembahan pada waktu Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan
perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang
yaitu Sultan Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja
Gowa tahun 1638-1654. Maka sejak itu Berau tidak lagi mengirim upeti
kepada Kesultanan Banjar.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel (1750-1761) dibuat perjanjian antara Sultan Sepuh/Tamjidullah I (1734-1759) dari Banjar dengan Kompeni Belanda ditandatangani pada 20 Oktober 1756. Dalam perjanjian tersebut Kompeni Belanda akan membantu Sultan Tamjidullah I untuk menaklukkan kembali daerah Kesultanan Banjar yang telah memisahkan diri termasuk di antaranya Berau,
negeri-negeri tersebut yaitu Berau, Kutai, Pasir, Sanggau, Sintang dan
Lawai serta daerah taklukannya masing-masing. Kalau berhasil maka Seri
Sultan akan mengangkat Penghulu-Penghulu di daerah tersebut dan
selanjutnya Seri Sultan memerintahkan kepada Penghulu-Penghulu tersebut
untuk menyerahkan hasil dari daerah tersebut setiap tahun kepada Kompeni
Belanda dengan perincian sebagai berikut :
- Berau, 20 pikul sarang burung dan 20 pikul lilin.
- Kutai, 20 pikul sarang burung dan 40 pikul lilin.
- Pasir, 40 tahil emas halus dan 20 pikul sarang burung, serta 20 pikul lilin
- Sanggau, 40 tahil emas halus dan 40 pikul lilin
- Sintang, 60 tahil emas halus dan 40 pikul lilin
- Lawai, 200 tahil emas halus, dan 20 pikul sarang burung
- Sultan Adam
Pada masa Sultan Adam dari Banjar dibuat perjanjian dengan Belanda
yang di antara pasalnya menyerahkan vazal-vazal Banjar termasuk negeri
Berau dan daerah-daerah lain di Kalimantan kepada Hindia Belanda.
Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826
atau 26 Ramadhan 1241 H. Perjanjian inilah yang menjadi dasar hubungan
politik dan ekonomi antara Kesultanan Banjar dengan pemerintah Hindia
Belanda di Batavia. Dalam perjanjian tersebut Kerajaan Banjar mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat, atau negeri pinjaman.
0 komentar:
Posting Komentar